Ketika para pakar sudah tidak didengarkan lagi

Pernah gak sih kita ketemu dengan orang yang merasa lebih pintar dan merasa paling benar padahal dia bukan ahlinya? Misalnya ada pasien yang mendiagnosa dirinya sendiri dan menolak saran dokter spesialis. Atau ada orang yang baru belajar agama setahun, tapi sudah berani mendebat pendapat kiai yang mesantrennya aja belasan tahun. Atau seorang penjual suplemen diet yang berani menganulir pendapat seorang dokter gizi. Atau mungkin ada juga seorang tukang bangunan yang merasa lebih tahu soal konstruksi bangunan di hadapan seorang ahli teknik sipil? Fenomena ini menjadi satu isu menarik yang dibahas seorang penulis Amerika yang bernama Tom Nichols, dalam bukunya yang berjudul The Death of Expertise, atau Matinya Kepakaran. Secara garis besar, buku ini membahas fenomena di mana masyarakat modern semakin menolak otoritas dan keahlian, meskipun keahlian itu berbasis ilmu pengetahuan dan pengalaman yang mendalam. Nichols menguraikan bagaimana tren ini muncul, dampaknya terhadap masyarakat, sert...

Kriteria Calon Ketua



Politik itu memang penuh intrik. Makanya kenapa saya lebih suka kamu dibanding politik. Kamu itu cantik tanpa intrik, manis tanpa sinis, menginspirasi tanpa banyak ambisi.
Menentukan kriteria yang pas untuk ketua sebuah lembaga itu memang gampang-gampang  gampang. Tidak sulit jika hanya menentukan. Yang agak sulit itu mencari dan menjadi. Padahal, kriteria untuk jadi Gubernur KPMJB misalnya, semuanya tersusun dan tinggal dibaca di lembar persyaratan yang dikasih panitia.

Di poin pertama, Cagub KPMJB harus beragama Islam. Haqqul yaqin semua warga KPMJB beragama Islam. Ya meskipun salat subuhnya mepet duha, atau maen PES-nya lebih sering dibanding baca Alqurannya, mereka tetep Islam kok. Kecuali jika di KPMJB ada Cagub nonisnya, pastilah politik KPMJB akan lebih seru dibanding  Pilkada DKI, sebab panitia SPA penunggu meja pendaftaran Cagub adalah gadis cantik asal Tambun, sementara penunggu meja pendaftaran Pilkada Jakarta hanyalah orang-orang berusia yang pernah cantik.  

Poin berikutnya sampai akhir adalah standar, sebagaimana yang tertera di hampir semua organisasi. Berakhlak baik, berwawasan luas, siap tidak pulang ke tanah air selama menjabat, siap tidak menikah selama menjabat (kalau pacaran masih boleh, kecuali untuk anak Syariah: Haram Muthlaq. Sebab dalam Syariah Islam tidak ada istilah pacaran), punya kemampuan manajemen organisasi yang baik, dsb. Yang khusus-khususnya hanya harus siap tinggal di Sekretariat dan harus tampan.

Teman-teman, jadi gubernur kalau tidak tampan itu sulit. Meskipun ada istilah tampan itu nasib dan mapan adalah pilihan, nyatanya istilah itu tidak relevan untuk dikaitkan dengan Calon Gubernur KPMJB. Yang tampan itu biasanya dihargai dan disegani sama warganya. Ya meskipun tampan-tampan bego, tapi tetep ada wibawanya. Minimal dia punya popularitas yang bisa dimanfaatkan. Kan semakin terkenal, semakin punya kesempatan untuk bisa mengenalkan Allah dan Rasulnya .... Bayangkan jika KPMJB dipimpin oleh seorang imam yang tidak hanya berperan sebagai imam ‘politik’, tapi juga imam ‘agama’. Imam yang tidak hanya memikirkan KPMJB jadi kekeluargaan terbaik, tapi juga memikirkan bagaimana warganya bisa menjadi kekasih dunia akhirat. 

Uniknya, roda organisasi yang makin dinamis nyatanya juga membuat pola pikir warganya dinamis. Kriteria dan syarat untuk nyalon ketua yang nyatanya sedikit, di zaman ini banyak aturan tambahan tidak tertulis. Sebut saja Fitrianto. Ukhti satu ini gak mau pilih Kang Ahan, karena dia suka dangdut. Dan lebih memilih Maul. Padahal, Maul adalah bandar dangdut. Bedanya, Ahan suka joget di depan umum dan Maul tidak suka di depan umum. Kang Ahan belum tentu punya kartu member Inul Vizta, sementera Maul ....
Intinya, janganlah terlalu selektif dalam memilih calon gubernur. Karena jika terus-terusan mengejar idealisme,  nampaknya sampai muqoror berbahasa Indonesia pun tidak akan ketemu-ketemu. Meskipun gak sempurna, minimal pilih yang kelebihannya mampu menutupi kekurangannya. 

Ada calon yang strateginya bagus, tapi badannya kaya binarangka. Taktak wadah sabun. Ada yang tampan berkarisma, tapi ke urinoir toilet aja gak nyampe. Ada juga yang badannya bagus, wajah oke, tapi cipleu. Jika kita memandang orang selalu dari kekurangannya, gak akan ada habisnya dan gak akan ada baiknya. Seperti lalat, yang indah di matanya hanyalah ta*. Iya kan, Lat? 

Februari, 2017


Komentar