Ketika para pakar sudah tidak didengarkan lagi

Pernah gak sih kita ketemu dengan orang yang merasa lebih pintar dan merasa paling benar padahal dia bukan ahlinya? Misalnya ada pasien yang mendiagnosa dirinya sendiri dan menolak saran dokter spesialis. Atau ada orang yang baru belajar agama setahun, tapi sudah berani mendebat pendapat kiai yang mesantrennya aja belasan tahun. Atau seorang penjual suplemen diet yang berani menganulir pendapat seorang dokter gizi. Atau mungkin ada juga seorang tukang bangunan yang merasa lebih tahu soal konstruksi bangunan di hadapan seorang ahli teknik sipil? Fenomena ini menjadi satu isu menarik yang dibahas seorang penulis Amerika yang bernama Tom Nichols, dalam bukunya yang berjudul The Death of Expertise, atau Matinya Kepakaran. Secara garis besar, buku ini membahas fenomena di mana masyarakat modern semakin menolak otoritas dan keahlian, meskipun keahlian itu berbasis ilmu pengetahuan dan pengalaman yang mendalam. Nichols menguraikan bagaimana tren ini muncul, dampaknya terhadap masyarakat, sert...

Kalau bisa beda, kenapa harus sama?

Sumber gambar dari sini


Jumlah manusia di muka bumi ini sangatlah banyak, meskipun kuantitasnya bisa disebutkan dalam bentuk angka, besar kemungkinan angka tersebut akan keliru, terlalu banyak kemungkinan dan rumit. Lantas bagaimana caranya agar kita bisa dikenal manusia dalam jumlah yang banyak itu? Semisal Obama, atau Bill Gates, Steve Jobs, atau bahkan Nabi Muhammad saw. Itu gambaran secara makro. Dalam ruang yang lebih sempit, pertanyaannya adalah bagaimana caranya agar kita menjadi terkenal di kampus UIN? Jawabannya adalah be different! Kolif fa tu’rof!

Dalam satu ruangan kelas, jarang sekali ada dosen yang mengetahui semua mahasiswanya nama demi nama. Kecuali jika pertemuan berlangsung secara lama, dengan kuantitas yang banyak. Sudah lumrah kita tahu, bahwa yang dikenal selalu yang paling pintar, paling kurang pintar, paling cantik, paling ganteng, atau lawan dari cantik dan ganteng. Intinya, yang menonjol selalu mudah dikenal. Artinya, berbeda itu penting, dan perlu dicatat dalam hal apapun. Masalahnya, bagaimana nasib mereka yang biasa saja? Secara akademik, secara kadar kegantengan, mereka biasa saja. Bagaimana caranya supaya bisa dikenal? Jawabannya masih sama, be different!

Tentunya, perbedaan yang kita bentuk harus mengarah pada hal positif. Jangan terlalu melihat bagaimana IP anda “menertawakan” anda, karena nilai akademis itu kadang muncul sebagai ketidakadilan, bahkan kutukan. Yang pertama harus diperhatikan adalah hobi. Apa hobimu? Kembangkan lalu buat hal yang bisa bikin semua orang tahu. Misalnya, hobi bola. Jadilah pemain terbaik se-UIN. Kedua, masuk organisasi, jika jurusan kuliahmu bukanlah jawaban dari doa-doamu. Bukankah jadi aktivis organisasi itu biasanya menjadi lebih ganteng  di mata lawan jenis? Ketiga  penampilan. Meskipun ada istilah “Don’t judge a book just from it’s cover”, tapi penampilan itu penting. Kemeja, celana hitam, itu biasa. Bagaimana kalau pakaian itu dipakai setiap hari? Ini baru waw. Jadi, jadilah beda karena yang beda yang selalu dicari banyak orang. 

Komentar

  1. mengasah otak kanan, angka2 d selembar kertas hanya sebatas nilai2 sajaaa....msg2 org punya potensix sendiri :-)

    BalasHapus
    Balasan
    1. dan memang itu yang selama ini secara pribadi saya rasakan ;) terima kasih apresiasinya

      Hapus
  2. Kok banyak tulisan yang dihapus, Kang?
    Nyari tulisan terbaru eh ketemu tulisan2 lama, yg baru kagak ada, tulisan yg kemarin2 juga hilang semua

    BalasHapus
  3. Kak, tulisan yang nasehat buat para maba kok ga ada. Asik itu padahal.

    BalasHapus
  4. Cukup disayangkan tulisan2 terbaru dicari sudah tak ada, ada beberapa yang ingin dibaca ulang. Segera comeback dengan gagasan2nya yang asik ya Mang..

    BalasHapus

Posting Komentar