Ketika para pakar sudah tidak didengarkan lagi

Pernah gak sih kita ketemu dengan orang yang merasa lebih pintar dan merasa paling benar padahal dia bukan ahlinya? Misalnya ada pasien yang mendiagnosa dirinya sendiri dan menolak saran dokter spesialis. Atau ada orang yang baru belajar agama setahun, tapi sudah berani mendebat pendapat kiai yang mesantrennya aja belasan tahun. Atau seorang penjual suplemen diet yang berani menganulir pendapat seorang dokter gizi. Atau mungkin ada juga seorang tukang bangunan yang merasa lebih tahu soal konstruksi bangunan di hadapan seorang ahli teknik sipil? Fenomena ini menjadi satu isu menarik yang dibahas seorang penulis Amerika yang bernama Tom Nichols, dalam bukunya yang berjudul The Death of Expertise, atau Matinya Kepakaran. Secara garis besar, buku ini membahas fenomena di mana masyarakat modern semakin menolak otoritas dan keahlian, meskipun keahlian itu berbasis ilmu pengetahuan dan pengalaman yang mendalam. Nichols menguraikan bagaimana tren ini muncul, dampaknya terhadap masyarakat, sert...

Yeay! Akhirnya Menang Kuntum Mekar!

 


.:: Ramadan 2011 ::.

Suatu pagi setelah ribuan hari. Tugas Antropologi mengantarkanku menuju ruang Kepala Sekolah, mencari tumpukan Koran beberapa hari yang lalu, kemudian mengemasnya untuk teman-teman yang sudah menunggu di ruang kelas. Koran edisi hari ini tergeletak masih perawan di atas meja tamu. Penasaran, lalu membukanya halaman demi halaman. Di halaman dalam, tepatnya kolom paling kiri sebelah bawah, ada Info Lomba Menulis Puisi Kuntum Mekar. Menarik, bahkan mampu menyeretku pada area yang sulit dilupakan, beberapa hari setelahnya.

Seminggu sebelumnya, Universitas Pendidikan Indonesia mengadakan Lomba Mading antarSMA tingkat Provinsi. Salah satu pesertanya adalah aku, dan dua teman lainnya yang membawa nama sekolahku. Di mading buatan kami, salah satu puisiku ada di sana. Judulnya ‘Menikahi Ramadan’. Tapi sayang, taka da gelar juara dalam ajang itu. Terbesit dalam pikiran, bukankah kekuatan mading kami ada pada puisiku? Sentiment memang pikiran semacam itu, tapi itulah perasaan yang kemudian bergelantungan dalam benakku, berhari-hari setelah mendengar kabar tak sedap itu. 

.:: Libur Ramadan 2011 ::.

Semua santri dipulangkan dari pesantren. Aktivitas dan segala rutinitas pesantren terhenti sampai satu minggu setelah lebaran. Aku pulang, membawa sebuah puisi yang (mungkin) menjadi penyebab kekalahan dalam Lomba Mading. Beranjak ke sebuah Warnet, tiba-tiba ingat Kuntum Mekar. Tanpa piker panjang, sobekan Koran waktu di kelas ku baca secara seksama, mengikuti alur perintah, syarat-syarat, dank u kirim lewat sur-el. Syaratnya harus tiga puisi, akhirnya dua puisi dibuat mendadak di depan computer warnet. Selesai.

Waktu itu hari selasa minggu ketiga di bulan September, kalau tidak salah. Pengumuman pemenang diumumkan via daring. Aku sempat titip pesan ke guru bahasa Indonesia agar dicek pengumuman tersebut, siapa tahu namaku ada di sana. Ketika mata pelajaran fiqh berlangsung, guru bahasa Indonesia mengetuk pintu dan mengumumkan di depan kelas, aku juara 1 lomba menulis puisi kuntum mekar 2011. Spontan, haru bercampur bahagia. Ada banyak hal yang kemudian tak bisa aku katakana, meskipun sebelumnya telah direncanakan sebelumnya.

Yes, menang!

Sebenarnya, keinginan kuat untuk menang lahir karena sebelumnya selalu gagal dalam lomba sejenis. Entah kenapa, tapi ternyata Allah memberi kejutan lewat ajang ini. Suatu hal yang tak terduga.

Satu bulan setelahnya, barulah acara penganugerahan dilaksanakan di Hotel Harris, kawasan Citylink Bandung. Bersama 170 orang lainnya, aku duduk di kursi tamu undangan sebagai penerima Beasiswa Pikiran Rakyat.  Dari acara inilah, aku kenal Fasha Rouf (Juara 2) yang juga pernah juara Kuntum Mekar di tahun sebelumnya serta Juara 1 Lomba Menulis Puisi FLS2N Tingkat Nasional, dan juga Syahrizal Sidiq (Juara 3) yang juga Juara Harapan 3 Lomba Menulis Puisi Madrasah Expo Tingkat Nasional. 

Komentar