Pernah gak sih kita ketemu dengan orang yang merasa lebih pintar dan merasa paling benar padahal dia bukan ahlinya? Misalnya ada pasien yang mendiagnosa dirinya sendiri dan menolak saran dokter spesialis. Atau ada orang yang baru belajar agama setahun, tapi sudah berani mendebat pendapat kiai yang mesantrennya aja belasan tahun. Atau seorang penjual suplemen diet yang berani menganulir pendapat seorang dokter gizi. Atau mungkin ada juga seorang tukang bangunan yang merasa lebih tahu soal konstruksi bangunan di hadapan seorang ahli teknik sipil?
Fenomena ini menjadi satu isu menarik yang dibahas seorang penulis Amerika yang bernama Tom Nichols, dalam bukunya yang berjudul The Death of Expertise, atau Matinya Kepakaran. Secara garis besar, buku ini membahas fenomena di mana masyarakat modern semakin menolak otoritas dan keahlian, meskipun keahlian itu berbasis ilmu pengetahuan dan pengalaman yang mendalam. Nichols menguraikan bagaimana tren ini muncul, dampaknya terhadap masyarakat, serta penyebab utamanya.
Di bagian pertama, penulis membahas tentang erosi kepercayaan pada kepakaran. Ia memaparkan fenomena di mana banyak orang saat ini lebih percaya orang abal-abal dibanding merujuk langsung kepada seorang pakar.
Misalnya ada banyak orang yang ketika jatuh sakit, langkah pertama yang dilakukan bukan membawanya ke dokter, tapi malah ke pengobatan alternatif, atau dukun yang keilmuannya sulit dibuktikan secara ilmiah dan empiris. Atau dalam contoh lain, ada banyak orang yang lebih percaya ucapan ustaz di kampung halamannya mengenai suatu hal, mulai dari soal fatwa agama, hukum vaksin, sampai pilihan politik, seolah-olah seseorang yang ahli di satu bidang otomatis ahli juga di bidang yang lain. Ada juga yang lebih percaya kualitas sebuah produk berdasarkan endorse selebritis terkenal, dibanding hasil uji yang dilakukan oleh ahli gizi, ahli kosmetik, atau ahli di bidang-bidang lain yang menguji suatu produk di pasaran.
Di lain sisi, Nichols juga menjelaskan bahwa saat ini banyak juga orang yang merasa bahwa mereka memiliki pengetahuan yang setara atau bahkan lebih baik dibanding para ahli. Dengan kemudahan akses internet, banyak orang percaya bahwa mereka dapat memahami hal-hal yang kompleks hanya dengan membaca artikel daring atau postingan media sosial. Hal ini menyebabkan kepercayaan kepada para ahli di berbagai bidang, seperti ilmu pengetahuan, kedokteran, politik, agama, atau lainnya mengalami penurunan drastis.
Makanya lucu juga ketika kita melihat ada orang yang merasa dirinya pakar hanya berdasarkan pengalaman belajar yang singkat dari institusi pendidikan yang asal-asalan, kursus singkat, atau berdasarkan pengalamannya mencari informasi di internet. Baru-baru ini kita lihat di berita ada seorang dokter kecantikan abal-abal berhasil mengelabui ratusan orang klien melalui klinik kecantikan yang ia dirikan, mengobati banyak pasien yang punya masalah kecantikan dengan aneka treatment, padahal notabene ia tidak punya latar belakang medis, hanya seorang sarjana peternakan. Ada juga orang-orang yang bekerja sebagai reseller obat diet, obat herbal, yang tidak hanya menjual produknya, tapi sudah berani mendiagnosa dan memberikan obat untuk penyakit-penyakit yang dialami orang lain hanya berdasarkan pengetahuannya atas profil produk yang mereka jual, atau berdasarkan informasi yang didapatkan di internet atau potongan-potongan video di sosial media.
Contoh lain, ada juga pemandu wisata di tempat wisata sejarah atau muthowwif yang memandu ibadah umroh yang berbicara seperti pakar di hadapan para wisatawan, bahkan berani menjawab pertanyaan yang bisa jadi sebenarnya ia tidak tahu jawabannya, seolah-olah ia lebih tahu tentang suatu tempat dari pada ahli agama, ahli sejarah, atau arkeolog.
Penyebab dari fenomena ini, menurut Nichols, adalah adanya kondisi psikologis yang bernama Dunning Kruger Effect. Teori ini bilang bahwa seseorang yang baru mempelajari sesuatu, biasanya punya kepercayaan diri yang sangat tinggi. Namun seiring berjalannya waktu, seiring dengan semakin bertambahnya wawasan dan pengalamannya, kepercayaan diri itu akan menurun drastis, seiring dengan bertambahnya kebijaksanaan yang dimiliki. Baru kemudian, ia akan kembali memiliki kepercayaan diri yang naik secara eskalatif seiring bertambahnya pengalaman dan kematangan.
Kondisi munculnya orang-orang mudah merasa menjadi pakar dan munculnya orang-orang yang tidak percaya pada pakar, menurut Nichols, tak lepas dari peran teknologi dan media sosial. Internet dan media sosial mempermudah penyebaran informasi, tetapi juga mempermudah penyebaran informasi yang salah (misinformation) dan teori konspirasi. Banyak orang merasa berhak memiliki "pendapat sendiri," bahkan ketika pendapat itu tidak berbasis fakta atau pengetahuan yang valid. Nichols menyebutnya sebagai masalah bias konfirmasi, yaitu kecenderungan alami untuk hanya menerima bukti yang mendukung hal yang sudah kita percayai. Kita mencari informasi di internet bukan untuk mencari kebenaran, tapi mencari pembenaran.
Internet kemudian memberi ruang untuk bias konfirmasi itu tumbuh kian subur. Para pemrogram membuat algoritma yang memungkinkan kita hanya mendapat berita dan informasi yang sesuai minat dan apa yang kita percayai sebelumnya. Misalnya seseorang yang pro Prabowo akan terus pro Prabowo jika ia hanya membaca berita dari media-media yang selalu pro Prabowo. Begitu pun orang-orang yang kontra Prabowo akan tetap kontra Prabowo jika selalu mencari informasi dari media-media yang selalu oposisi dengan Prabowo.
Di buku ini, Nichols juga menyoroti bagaimana sistem pendidikan sering kali gagal mengajarkan kemampuan berpikir kritis dan menghargai proses belajar dari sumber-sumber yang kredibel. Menurut Nichols, perguruan tinggi saat ini menempatkan dirinya sebagai barang jualan, suatu produk atau jasa yang harus dibeli dan diminati, sehingga mereka memperlakukan mahasiswanya sebagai customers. Misalnya, ada banyak kampus sekarang ini lebih sibuk menjual fasilitas kampus dibanding menjanjikan keilmuan yang akan diajarkan. Calon mahasiswa baru sejak awal sudah disodori berbagai strategi marketing untuk daftar ke kampus tertentu, dengan tawaran fasilitas asrama yang lengkap, sarana olah raga yang memadai, acara wisuda yang megah, bisa jalan-jalan berkedok pertukaran pelajar di negara lain, dan lain sebagainya. Pendekatan seperti ini, menurut Nichols, adalah upaya kampus memuaskan pelanggannya. Padahal idealnya, mahasiswa bukanlah customer, karena kepakaran dan keilmuan tidak akan didapatkan dengan proses yang demikian.
Ditambah lagi dengan kondisi pembelajaran di ruang kelas yang saat ini mengalami penurunan kualitas. Guru dan dosen saat ini lebih dermawan dalam memberikan nilai, mendapat nilai B+ atau A bukan lagi hal yang sulit, tidak ada remedial, materi dan tugas belajar yang ringan, termasuk mudahnya standar yang diterapkan untuk seorang mahasiswa lulus dari suatu program. Akibatnya, ada banyak lulusan perguruan tinggi yang sebenarnya tidak memiliki keilmuan yang ideal, tapi legitimasi dari universitas membuat mereka merasa sudah layak sebagai ahli di tengah-tengah masyarakat.
Konsekuensi dari penolakan terhadap kepakaran dapat membawa dampak serius. Misalnya ketika pemerintah tidak melibatkan pakar dalam kebijakan yang dibuat, pemerintah sangat berpotensi melakukan kebijakan yang salah. Hanya karena minyak sawit itu menjanjikan secara cuan, bukan berarti mengubah hutan menjadi ladang sawit adalah langkah yang bijak. Tanpa melibatkan pakar, pemerintah berpotensi melahirkan keputusan politik yang buruk karena didasarkan pada opini populer, bukan fakta ilmiah. Terutama untuk isu-isu yang kompleks, seperti penanganan pandemi, perubahan iklim global, human trafficking, dan lain-lain.
Dalam contoh politik, di tahun 1990-an ada sekelompok orang "penyangkal AIDS" yang menentang konsensus medis bahwa HIV adalah penyebab AIDS. Gerakan kecil ini mungkin tidak ada artinya sama sekali, dan selesai begitu saja. Tapi menjadi masalah ketika hal ini menarik perhatian Presiden Afrika Selatan, Thabo Mbeki, yang juga ikutan percaya bahwa HIV bukanlah penyebab AIDS. Padahal klaim ini tidak punya bukti ilmiah yang kuat, bahkan lebih sebagai sensasi sekelompok orang dan teori konspirasi yang dibuat-buat. Gara-gara kepercayaan ini, Thabo Mbeki membuat kebijakan menolak obat-obatan dan bantuan untuk memberantas penyebaran virus HIV di negerinya. Ia tidak percaya para ahli, dan tidak melibatkan mereka dalam pengambilan setiap kebijakan terkait epidemi ini di masa kepresidenannya. Akibatnya, sekitar 300 ribu orang meninggal dan sekitar 35 ribu lebih anak-anak di Afrika Selatan lahir dengan HIV positif yang infeksinya seharusnya bisa dihindari.
Tapi jangan salah. Fenomena besar ini, menurut Nichols, muncul tidak semata-mata karena kesalahan masyarakat umum saja, tapi juga ada peran dari pihak-pihak yang seharusnya memberikan pencerahan, justru malah memperburuknya. Misalnya peran jurnalis, pelaku media, civitas akademika, hingga kalangan pakar itu sendiri kadang justru memiliki andil dalam membunuh kepakaran. Contohnya ada jurnalis yang mengarang fakta supaya berita yang disampaikan menjadi lebih menarik di mata pembaca. Berapa banyak berita tentang Palestina yang ditulis dengan tujuan menggiring opini tertentu, bukan dengan tujuan menyampaikan kebenaran. Berapa banyak juga wartawan yang mengarang ucapan narasumber supaya beritanya tampak lebih kredibel dan meyakinkan. Di bidang lain, ada peneliti yang sembarang mengutip jurnal, ada ilmuwan yang sembarang melakukan riset, ada dokter yang sembarang memberikan obat, atau ahli agama yang sembarang membuat fatwa.
Bahkan di bagian akhir, Nichol juga mengakui bahwa ia pernah ada di masa ketika ia di posisinya sebagai profesor di universitas, punya ego untuk selalu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya ia tidak tahu pasti jawabannya. Ia mengakui keegoisan itu, dan buku ini, menurut saya, ditulis sebagai bentuk pertaubatannya ia sebagai seorang pakar yang pernah merasa pasti selalu benar, dan melalui buku ini, ia mengajak banyak orang, termasuk para pakar, untuk bisa memosisikan diri dengan baik.
Sepanjang saya membaca buku ini, saya ingat pada suatu ayat Al-Quran di surah An-Nahl ayat 43 yang bilang, “fas-aluu ahlaz zikri in kuntum laa ta’lamuun”, jika kamu tidak tahu, maka tanyakan pada ahlinya. Potongan ayat itu pendek, tapi maknanya bisa menjawab semua masalah dan fenomena yang dipaparkan oleh Toms Nichols dalam buku ini. Masalahnya kita dan banyak orang awam lainnya sering kali salah paham dalam menentukan siapa yang pakar dan siapa yang bukan. Ketika seseorang sakit perut, orang itu berasumsi bahwa ia merasa cukup dengan berkonsultasi ke dokter. Padahal dokter pun ada banyak jenis kepakarannya. Bisa jadi sakit perut itu perlu ditangani oleh spesialis penyakit dalam, atau mungkin syaraf, atau mungkin obgyn, atau mungkin bedah, atau mungkin psikiater karena ternyata sakit perutnya muncul akibat depresi atau stres. Contoh lain, banyak orang berasumsi bahwa semua urusan agama bisa dijawab oleh seorang ustaz. Padahal, studi agama pun ada banyak jenis kepakarannya. Bahkan di kampus seperti Al-Azhar Cairo, ilmu agama itu dipecah menjadi jurusan-jurusan yang lebih detail. Ada syariah, ada tafsir quran, ilmu hadis, tasawuf, perbandingan mazhab, ilmu fikih, bahkan ilmu fikih pun dibuat lebih rinci lagi berdasarkan mazhabnya yang berbeda-beda. Kita mengenal Quraish Syihab sebagai ulama tafsir di Indonesia. Ia ahli tafsir, dan kepakarannya di bidang tafsir. Sangat mungkin ia tahu tasawuf atau fikih, tapi bukan itu kepakarannya. BJ Habibie adalah pakar dalam urusan mesin pesawat, tapi tidak berarti ia pakar pula dalam mesin yang lain.
Hal kedua yang saya ingat ketika membaca buku ini adalah, ada satu kitab yang bernama ta’lim muta’allim karya Syeikh Az-Zarnuji. Kitab ini biasa dipelajari oleh para santri di pesantren, membahas tentang akhlak seorang pelajar. Bagaimana kita harus memperlakukan ilmu, menghargai keilmuan, menghargai guru, etika berbicara di depan guru, memilih guru dan teman, dan sebagainya. Kitab ini menjadi relevan ketika Nichols dalam bukunya membahas tentang hilangnya adab seorang pelajar terhadap guru. Nichols punya asumsi bahwa hilangnya penghargaan orang Amerika terhadap kepakaran, bisa jadi sebabnya karena banyak orang yang dalam proses belajarnya tidak begitu menghargai pakarnya. Ada banyak mahasiswa di kampus Amerika, menurut Nichols, yang merasa punya pendapat yang setara dengan seorang profesor, bisa seenaknya mendebat teori profesor, punya sinisme terhadap kepakaran gurunya, bisa seenaknya menghubungi di waktu yang tidak seharusnya, bahkan kadang merasa lebih benar dibanding seorang profesor. Guru atau profesor memang sangat mungkin salah dalam penelitiannya, kajiannya, teorinya, tapi kehilangan etika dari seorang murid di hadapan seorang guru adalah suatu kesalahan yang mungkin tidak disadari oleh banyak orang, terutama oleh orang-orang yang banyak digambarkan Nichols di buku ini.
Buku Matinya Kepakaran adalah buku yang bagus, bahkan saya mau merekomendasikannya ke semua orang. Melalui buku ini, penulis ingin mengajak kita untuk menghargai kepakaran, menjadi lebih kritis, dan untuk mau terus belajar. Dunia kita hari ini makin kompleks dan makin butuh kepakaran, apalagi di era yang yang sangat banjir informasi seperti sekarang.
Komentar
Posting Komentar