Apa jadinya ketika seorang psikiater, yang notabene tukang ngobatin orang-orang sedih dan kehilangan, malah mengalami kesedihan dan kehilangan? Buku ini menawarkan perspektif menarik tentang proses berduka melalui pengalaman pribadi seorang psikiater, dr. Andreas Kurniawan, Sp.KJ., yang menghadapi kehilangan anaknya. Dengan gaya penulisan yang sederhana dan penuh makna, buku ini mengajak pembaca untuk menyelami dunia psikis seseorang yang berjuang untuk mengatasi kesedihan dan menemukan kembali kekuatan untuk melanjutkan hidup.
Buku ini disusun dengan gaya yang mudah dipahami, menggunakan diksi sederhana yang cocok untuk kalangan luas. Meskipun penulis adalah seorang profesional medis yang akrab dengan istilah psikologi dan kedokteran, ia berhasil mengemas konsep-konsep tersebut dalam bahasa yang sangat mudah dipahami, sehingga pembaca dari berbagai latar belakang dapat menikmati dan mengambil manfaat dari pembacaannya.
Secara struktur, buku ini terdiri dari 16 judul, yang secara berurutan dimulai dengan membahas duka, kehilangan, dan kesedihan sebagai sesuatu yang wajar dan pasti terjadi dalam dinamika hidup kita. Di bab-bab selanjutnya, dr. Andreas menuliskan pengalamannya menjalani proses duka ketika anak kesayangannya, Hiro, yang terlahir dengan kekurangan fisik, lalu jauh sakit, proses terapi berobat, dirawat di rumah sakit, sampai meninggal dunia. Sampai lah di bagian akhir, dr. Andreas bicara soal proses move on dan bagaimana ia melanjutkan hidupnya setelah mengalami momentum perjalanan tersebut.
Buku ini membawa pembaca melalui perjalanan emosional yang mendalam, seiring dr. Andreas menggambarkan proses berduka setelah kehilangan anaknya. Dalam hal ini, konsep berduka yang diangkat oleh penulis dierat-kaitkan dengan konsep Acceptance and Commitment Therapy (ACT). Jika kita melirik konsep berduka yang dikemukakan oleh Elisabeth Kübler-Ross, ia menyebutkan bahwa proses berduka biasanya melalui lima tahap: penolakan, kemarahan, tawar-menawar, depresi, dan penerimaan. Tapi dalam konsep ACT, justru penerimaan menjadi bagian pertama yang harus dilalui. Penerimaan ini menjadi kunci bagi proses penyembuhan dan penerapan konsep Acceptance and Commitment Therapy (ACT) yang ditekankan dalam buku, di mana menerima kenyataan adalah langkah pertama untuk berdamai dengan duka. Malahan jika kita mencoba menolak atau mengabaikan, hal itu hanya akan membuat semakin sulit untuk menghilangkan kesedihan tersebut. Dengan menggambarkan perjalanan berduka yang penuh perjuangan ini, dr. Andreas menawarkan pemahaman yang lebih mendalam tentang bagaimana seseorang dapat menjalani dan akhirnya menerima kesedihan.
Di halaman 61 ia menulis, “Kutukan menjadi seorang tenaga medis yang mengerti istilah medis dan angka-angka laboratorium adalah kamu bisa lebih cepat mengerti seberapa buruk suatu situasi, ketika kamu atau anggota keluargamu sakit.”
Judul buku yang unik merupakan sihir tersendiri yang menarik minat orang untuk membacanya. Tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa strategi pemilihan judul yang unik ini mampu menggiring calon pembaca untuk membaca isinya. Tak heran juga jika ada calon pembaca yang sampai tersulut asumsi dari judul buku yang unik itu. dr. Andreas melihat sosok “Pria” dalam "Seorang Pria yang Melalui Duka dengan Mencuci Piring" sebagai dirinya sendiri yang dalam proses mengobati lukanya, ia menemukan bahwa salah satu proses mengobatinya bisa dilakukan sambil mencuci piring. Bahkan secara lebih rinci, ia menganalogikan kegiatan mencuci piring sebagai proses yang harus dilalui oleh seseorang yang sedang mengalami duka. Mulai dari membuang sisa makanan dari piring kotor, menyimpan piring kotor ke wastafel, mencucinya dengan sabun, membilasnya, mengeringkannya, sampai akhirnya piring itu siap untuk dipakai kembali.
“Duka itu seperti mencuci piring, tidak ada orang yang mau melakukannya, tapi pada akhirnya, seseorang harus melakukannya.” (Hal. 35)
Analogi ini memang menjadi daya tarik tersendiri yang mengokohkan konsep besar yang dibangun dalam buku ini sejak awal sampai akhir. Hanya saja, jika tidak lihai dalam mengemasnya dengan sisipan filosofi-filosofi yang pas, konsep ini akan terasa memaksakan diri. Saya tidak mengatakan bahwa buku ini punya konsep yang dipaksakan atau dicocok-cocokkan demi judul yang menarik semata, namun berdasarkan pengalaman pembacaan saya, saya merasa ada beberapa bagian yang terlalu dipaksakan. Misalnya, ada satu sub-bab yang berjudul, “Langkah Ketiga: Rendam alat makan di dalam air, tambahkan sabun bila ada noda yang lengket”. Penulis menganalogikan wajan kotor sebagai hati atau pikiran, noda membandel sebagai duka, dan sabun adalah doa, penerimaan, rasa syukur, penghiburan teman, atau “hal lain yang membuat hatimu terasa hangat.” Uraiannya nampak pas, namun pembahasannya terasa sangat lebar untuk menggambarkan satu buah nilai filosofi dari satu adegan mencuci piring.
Di sub-bab selanjutnya, di bawah judul, “Langkah Keenam: Rutin membersihkan spons dan area pencucian”, dr. Andreas mengibaratkan “Spons” dan “Area Pencucian” sebagai simbol kondisi fisik dan mental yang harus rutin diperhatikan. Bagi saya, agak sulit mencari korelasi yang mengikat sehingga “fisik” dan “mental” bisa dipadankan dengan dua kata benda tersebut.
Buku ini punya beberapa insight yang menarik untuk dikutip. Misalnya di halaman 7, dr. Andreas menuliskan sebuah perspektif tentang “sembuh”. “Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ‘sembuh’ didefinisikan sebagai ‘menjadi sehat kembali’. Bagi kami yang mendefinisikan sembuh sebagai ‘kondisi tidak sakit lagi’, apakah saat itu kami boleh menyebut bahwa Hiro sudah sembuh? Setidaknya itulah cara kami menghibur diri.”
Selain itu, insight lain juga bisa kita temukan di halaman 177. dr. Andreas menulis tentang teknik Kintsugi dari Jepang. Teknik ini merupakan sebuah metode memperbaiki pot, gelas, mangkuk, atau vas yang pecah dengan lem getah pohon dan melapisi bekas retakannya dengan emas. Teknik ini ia korelasikan dengan kehidupan seseorang yang mengalami duka dan menjalani kehidupan setelahnya. Duka, sakit, dan kesedihan bukanlah suatu kerusakan yang mesti dibuang dan ditinggalkan, tapi merupakan sesuatu yang bisa kembali direkatkan dan justru menjadi satu seni yang membuatkan diri kita menjadi lebih indah dan bernilai. “Kintsugi tidak berusaha menyembunyikan kerusakan dari mangkuk, melainkan justru menunjukkan itu kepada dunia.”
Secara keseluruhan, "Seorang Pria yang Melalui Duka dengan Mencuci Piring" adalah buku yang cukup punya kualitas untuk menarik perhatian pembaca. Buku ini tidak hanya menawarkan pemahaman tentang proses berduka, tetapi juga memberikan harapan bagi pembaca yang sedang mengalami masa sulit. Melalui pengalaman pribadi yang sangat jujur, dr. Andreas berhasil menunjukkan bahwa duka cita adalah bagian alami dari kehidupan dan bahwa kita tidak sendirian dalam menghadapi kehilangan. Buku ini cocok dibaca oleh mereka yang mencari pemahaman lebih dalam tentang bagaimana kita bisa mengatasi kehilangan dan menemukan makna dalam kesedihan.
Penulis: Andreas Kurniawan
Jumlah halaman: 212
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: 13 Desember 2023
ISBN: 978-602-06-7467-4
Komentar
Posting Komentar