Review Novel Laut Bercerita karya Leila S. Chudori

Untuk pembaca yang belum tahu kengerian masa Orde Baru, novel ini bisa jadi intro yang baik. Laut Bercerita adalah novel fiksi sejarah yang epik dan mengharukan. Novel ini mengambil latar di Indonesia pada akhir 90-an, masa yang ditandai dengan represi politik, perlawanan, dan gejolak sosial. Ceritanya berfokus pada tokoh Biru Laut, seorang aktivis mahasiswa yang menentang rezim otoriter Soeharto, bersama kelompok teman-temannya yang terlibat dalam gerakan pro-demokrasi di Indonesia. Melalui pengalaman Laut, novel ini mengeksplorasi tema-tema pengorbanan, keluarga, ketangguhan, dan dampak traumatis dari penganiayaan politik.

Di bagian awal, Chudori secara singkat sudah memberi klu tentang apa yang hendak diceritakan dalam novel ini. Tulisnya, kepada mereka yang dihilangkan dan tetap hidup selamanya. Kalimat singkat ini, buat saya pribadi, seperti sebuah aba-aba untuk bersiap-siap bahwa apa yang akan dibaca kemudian adalah kisah kengerian-kengerian yang dihadapi para tokohnya. Dan ketika sampai pada bab-bab selanjutnya, klu itu memang benar adanya. Novel ini menyajikan potret kelam tentang kehidupan di bawah rezim otoriter, dipenuhi dengan peristiwa-peristiwa yang mengguncang hati dan menyadarkan kita akan kekejaman pemerintah saat itu.

Tokoh utama dalam novel ini bernama Biru Laut dan Asmara Jati. Keduanya dikisahkan dalam dua bagian yang berbeda. Bagian pertama menggunakan sudut pandang Laut pada rentang 1991-1998 saat ia dan teman-temannya menghadapi risiko perjuangan, dan bagian kedua pada periode 2000-2007 menggunakan sudut pandang Asmara yang harus menerima kenyataan setelah hilangnya Laut, termasuk kesedihan Ibu dan Bapaknya yang setiap waktu berharap kepulangan Laut. Dua sudut pandang ini memberi pembaca pemahaman yang lebih utuh tentang harapan dan idealisme yang mendorong para aktivis muda, juga tentang kesedihan yang dialami oleh keluarga mereka yang ditinggalkan. Hal ini menjadikan Laut Bercerita sebuah eksplorasi yang emosional mengenai “tahun-tahun kelam” dalam sejarah Indonesia.

Bagian pertama berlatar belakang Yogyakarta tahun 1991. Novel ini mengisahkan sebuah kelompok pecinta sastra yang secara clandestine membahas karya-karya Pramoedya yang kala itu dilarang beredar. Kegiatan subversif ini, yang dilakukan di tengah pengawasan ketat aparat keamanan, menjadi wadah bagi Laut dan teman-temannya untuk berdiskusi tentang ide-ide demokratis. Melalui forum inilah, sang protagonis diperkenalkan pada berbagai kelompok aktivis mahasiswa yang memiliki visi serupa, yakni mewujudkan tatanan sosial-politik yang lebih inklusif dan partisipatif.

Perjuangan mereka untuk melawan represi politik Orde Baru tidaklah mudah. Chudori tidak hanya menggambarkan para tokohnya dalam kalut ketegangan petak umpet dengan rezim, tapi juga ada banyak narasi yang menghantui tentang adegan penyiksaan yang cukup intens. Dengan gaya bahasa yang puitis dan penuh metafora, Chudori berhasil menyayat hati pembaca, menggambarkan kesedihan mendalam yang dirasakan para korban dan keluarga mereka akibat peristiwa penculikan dan penghilangan paksa. Puncak cerita terjadi pada Maret 1998 di mana ada banyak aktivis yang ditangkap dan disiksa secara brutal oleh aparat negara. Sebagian aktivis dilepaskan, tetapi sejumlah lainnya, termasuk Biru Laut, menghilang tanpa jejak.

Bagian kedua Laut Bercerita lebih banyak menyoroti rasa kehilangan, ketidakpastian, dan keputusasaan keluarga dan teman-teman aktivis yang ditinggalkan. Meski telah lama berlalu, misteri hilangnya Laut dan rekan-rekannya tetap menjadi beban emosional bagi orang-orang yang ditinggalkan, khususnya Asmara dan orang tuanya.

Dengan narasi yang menyayat hati, Chudori mendeskripsikan kondisi ayah Laut yang begitu kehilangan. Salah satunya adalah ketika ayahnya masih menata meja makan untuk empat orang, salah satunya piring kosong milik Laut yang tak kunjung pulang. Ayahnya juga masih sering memutar lagu-lagu klasik seperti The Beatles sebagai cara untuk mengenang kepergian Laut. Begitu pun dengan ibunya, kesedihan senantiasa menghantui hari-harinya tanpa henti. Setiap sore, ia masih memasak makanan kesukaan Laut, berharap anaknya akan pulang dan kembali mencicipi masakannya. Bukan perkara yang mudah untuk Asmara dan kedua orang tuanya menerima kehilangan Laut. Masa-masa menjalani kehidupan dalam penyangkalan adalah masa yang sulit, tapi mau tidak mau harus mereka hadapi.

Melalui novel ini, Chudori berhasil menggambarkan emosi yang kompleks dengan kata-kata yang tepat, membuat pembaca ikut merasakan kesedihan, kemarahan, dan harapan para tokohnya.Wajar jika novel ini mendapat banyak pujian dan rating yang tinggi dari para pembaca,  karena mampu menerangi babak kelam dalam sejarah Indonesia dan menjadi bagian penting dalam sastra kontemporer Indonesia, terutama bagi para pembaca yang menghargai kedalaman emosional dan signifikansi historis yang -dihadirkan dalam novel ini.

Meskipun cerita dalam novel ini adalah fiksi, namun kecerdasan Chudori dalam memadukannya dengan kisah nyata amatlah patut diacungi jempol. Unsur fiksi dalam novel ini tidak membuat pembaca salah paham soal fakta-fakta yang terjadi di tahun 90-an, justru menjadi satu media alternatif bagi pembaca untuk melihat lebih dekat bagaimana masa-masa kelam itu mengambil peran dalam sejarah bangsa kita. Sebagaimana kita tahu, peristiwa tahun 98 telah memakan banyak korban, tercatat sebagai isu HAM berat yang sampai sekarang belum ada titik terang tentang siapa pelakunya, atau pihak mana yang mesti diminta pertanggungjawabannya. Karenanya, novel ini nampaknya sedang berusaha untuk mengemas tragedi mengerikan itu dari sudut pandang karya sastra yang menarik, sehingga pembaca akan terpantik untuk terus mengingat, terus mempelajari, dan terus membicarakannya sebagai sesuatu yang penting dan tak boleh dilupakan.

Kekurangan yang barangkali bisa disoroti dari novel ini adalah alurnya yang maju mundur. Meskipun aspek alur ini tidak menjadi kendala yang krusial, namun untuk berbagai alasan, pembaca dituntut untuk lebih jeli dalam mengingat latar tempat dan waktu ketika suatu tragedi terjadi. Selain itu, beberapa dialog terkesan kurang natural dan terlalu formal untuk sebuah gambaran percakapan antarkawan. Penyajian dialog dengan gaya bahasa yang lebih santai barangkali bisa membuat novel ini terasa lebih natural dan meyakinkan. Sebab setiap kali menemukan dialog, saya sebagai pembaca selalu menerka-nerka, apakah gaya tutur yang demikian betulan terjadi di dunia fakta atau tidak.

Buku ini adalah buku penting yang perlu dibaca oleh banyak orang. Tidak hanya muatan ceritanya yang bagus, tapi isu yang diangkat dalam novel ini sangatlah penting, menarik, dan memantik emosi pembaca. Sebagaimana disinggung sebelumnya, tragedi 98 harus tetap diingat dan dibicarakan, dan membaca novel ini adalah salah satu caranya.

Senin, 4 November 2024.

___

Identitas Buku

Judul: Laut Bercerita
Penulis: Leila S. Chudori
Tahun Terbit: Cetakan Pertama, Oktober 2017
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Jumlah Halaman: 382 halaman (versi digital Google Play Books)
ISBN: 978-602-424-694-5


Komentar