Review Novel Laut Bercerita karya Leila S. Chudori

Untuk pembaca yang belum tahu kengerian masa Orde Baru, novel ini bisa jadi intro yang baik. Laut Bercerita adalah novel fiksi sejarah yang epik dan mengharukan. Novel ini mengambil latar di Indonesia pada akhir 90-an, masa yang ditandai dengan represi politik, perlawanan, dan gejolak sosial. Ceritanya berfokus pada tokoh Biru Laut, seorang aktivis mahasiswa yang menentang rezim otoriter Soeharto, bersama kelompok teman-temannya yang terlibat dalam gerakan pro-demokrasi di Indonesia. Melalui pengalaman Laut, novel ini mengeksplorasi tema-tema pengorbanan, keluarga, ketangguhan, dan dampak traumatis dari penganiayaan politik. Di bagian awal, Chudori secara singkat sudah memberi klu tentang apa yang hendak diceritakan dalam novel ini. Tulisnya, kepada mereka yang dihilangkan dan tetap hidup selamanya . Kalimat singkat ini, buat saya pribadi, seperti sebuah aba-aba untuk bersiap-siap bahwa apa yang akan dibaca kemudian adalah kisah kengerian-kengerian yang dihadapi para tokohnya. Dan ke

Guru-Guru Growth Mindset di Sekitar Saya


Beberapa minggu lalu, saya diminta oleh seorang teman untuk membuat testimoni sekolah saya sewaktu SMP dulu. Gara-gara ihwal testimoni itu, saya jadi putar balik mengingat-ingat lagi apa yang terjadi selama masa sekolah. Ada banyak ingatan tentang masa-masa sekolah, tapi yang menonjol sebagai bahan testimoni adalah bertemu dengan lingkungan guru-guru berpikiran besar dan suportif.

Masa-masa SMP adalah masa di mana saya pertama kalinya berani bermimpi besar dan jauh. Sejak kelas 7, saya sepertinya sudah tahu bahwa saya akan berkuliah di Mesir. Bukan hanya sekadar ingin, tapi seperti sudah yakin bahwa nanti setelah lulus SMA, saya pasti lanjut sekolah di sana. Pemicunya sebenarnya sederhana: saya ingin jauh dari rumah. Dan ketika tahu ada seorang senior di Pesantren yang bisa sekolah ke Mesir, saya pikir, oke, ini ada jalan yang nampaknya paling memungkinkan di depan mata.

Lalu mulailah saya rajin-rajin merapalkan doa-doa dan ikhtiar-ikhtiar ala anak SMP untuk mencapai tujuan besar itu. Mulai dari baca habis novel-novel Habiburrahman El Shirazy, khusyu berdoa di tiap momen antara dua khutbah jumat, nonton video-video tentang Mesir di warnet, ikut milis dan grup Facebook, sampai membawa topik Mesir itu ke obrolan cinta monyet dalam kisah asmara Maul versi SMP. "Nanti kita sekolah bareng, yuk, di Mesir!" Lucu betul bagian ini, betapa menggelitiknya monyet-monyet kasmaran ini.

Saking seriusnya dengan cita-cita ini, doa-doa soal Mesir sudah bukan lagi sesingkat "Ya Allah, pengen ke Mesir!", tapi jauh lebih rinci dari itu. Semisal permintaan supaya kalau di Mesir nanti, saya pengen tinggal di rumah yang nyaman. Kalau di Mesir nanti, saya pengen sering makan enak, punya temen yang sering traktir, gak ngalamin bokek akhir bulan, kalau di kelas gak ngalamin dimarahin guru, jalan-jalan ke tempat yang gak pernah dikunjungi orang umum, dan lain-lain. Kompleks, detail, dan itu dilakukan sejak kelas 7 SMP. Makanya ketika beneran sekolah di Mesir, saya merasa sedang menjemput doa saya satu per satu. Kisah yang mungkin terdengar klise tapi memang begitulah adanya.

Saya ingat ada seorang guru sewaktu saya SMP, namanya Pak Karya, ia mengajar pelajaran Fikih di kelas 8. Satu hari ketika pelajaran itu berlangsung, Pak Karya nyeletuk ke arah saya yang waktu itu duduk di baris kedua dari depan. "Misalkan, nanti Azis kuliahnya di Mesir, bakal geura ..." Kalimat pendek yang bahkan saya gak ingat dalam konteks apa ia mengutaran itu, terngiang dan terawat dengan baik di kepala saya. Terlalu ge-er kali, ya, merasa sedang bermimpi lalu menemukan validasi. Tapi kelakar itu pada akhirnya juga saya lakukan ketika saya jadi guru dan bertemu murid-murid. Celetak-celetuk bagus aja tentang sembarang mimpi, minimal untuk bikin murid seneng dan percaya diri. Sewaktu SMP itu, saya gak pernah mengutarakan ke siapapun bahwa saya ingin ke Mesir, termasuk ke Pak Karya. Tapi secara kebetulan mendengar Pak Karya bilang begitu, saya sebagai seorang murid jadi merasa terdukung.

Ada juga guru lain yang bernama Bu Eva Lathifah. Bisa dibilang, Bu Eva adalah guru pertama yang mengajarkan saya bahasa Inggris. Sewaktu kelas 8, Bu Eva meminta saya untuk ikut lomba pidato bahasa Inggris tingkat kabupaten, dan ajaibnya, saya masih hafal paragraf pertama pidato itu sampai sekarang. Begini pembuka pidatonya:

"As we know that education is the most important part of our life. It's intended to get a perfect human being. An educated man will differ from an uneducated man. And education isn't only the responsible of the governent, but also it's a responsibilty for parent, society, and religion."

Saya tidak menang di perlombaan itu. Tapi paragraf pertama itu, dan kepercayaan yang Bu Eva kasih untuk saya mewakili sekolah, adalah kemenangan yang jauh lebih berharga dari kemenangan di perlombaan itu sendiri. Bahkan hari-hari setelah perlombaan itu, setiap kali menemukan kalimat pembuka as we know..., saya menemukan jasa Bu Eva di sana yang telah mengenalkan saya pada kalimat pembuka itu.

Tapi ngomongin soal guru sewaktu saya sekolah, tidak semua guru ketika masa sekolah punya karakter yang, hmmm, cocok dengan murid yang punya mimpi besar. Misalnya begini. Ada seorang guru yang pernah bekerja sebagai wartawan sebelum akhirnya ia memutuskan jadi guru di sekolah. Beberapa kali sering ia ceritakan pengalamannya bekerja sebagai wartawan. Misalnya ia bilang hal-hal enak ketika ia jadi wartawan, karena bisa ketemu beberapa tokoh penting, bisa bekerja di area Jakarta yang banyak bulenya, dan bisa dapat giveaway/freebies parfum mahal ketika meliput acara-acara brand ternama. Saya pikir, profesi wartawan yang digambarkan itu adalah pekerjaan yang keren. Tapi sayangnya, guru itu tidak membuka opsi bahwa kita, sebagai siswa, juga bisa kok bermimpi tidak hanya jadi wartawan yang ketemu orang penting, tapi justru jadi orang penting itu. Tidak hanya jadi karyawan yang bekerja di lingkungan dengan banyak bule, tapi justru kita bisa jadi "bule" itu di negeri lain yang orang-orang di negara itu ingin bekerja dengan kita. Tidak hanya jadi wartawan yang mendapatkan giveaway di acara peluncuran produk, tapi justru jadi pemilik produk yang diluncurkan itu dan bagi-bagi giveaway ke wartawan. Atau kalaupun memang mau mendorong siswa untuk jadi wartawan, saya kira perlu dihadirkan sudut pandang lain yang bisa membuat persepsi siswa berani untuk bermimpi lebih lagi, tanpa batasan-batasan, "kan keren kalau nanti tulisanmu bisa dimuat di koran!".

Sedikit meloncat ke masa lain, tapi mungkin masih berkaitan dengan cerita di atas. Sewaktu saya masih berkegiatan di Balai Bahasa Jawa Barat, saya pernah mengunjungi sebuah SMA di Purwakarta untuk sosialisasi program pemilihan Duta Bahasa Pelajar Jawa Barat, tahun 2013 lalu. Di sekolah itu ada seorang guru yang sejak pertama kali ketemu, saya sampaikan bahwa pemilihan ini diselenggarakan setiap tahun di tingkat provinsi, jadi ini peluang besar untuk siswa menambah pengalaman ekstra di luar sekolah, bisa belajar lebih jauh tentang bahasa daerah, bahasa Indonesia, dan bahasa asing, dan bisa memperluas jaringan pertemanan mereka. Tapi respon guru itu malah bilang, "Apa manfaatnya program ini untuk siswa? Asa kariweuh-riweuh kudu ka Bandung, kudu seleksi, mending di dieu weh di sakola diajar nu puguh (repot-repot harus ke Bandung, harus seleksi, mending di sini di sekolah aja belajar yang sudah pasti)." Saya membayangkan betapa sedihnya jika harus menjadi murid seorang guru yang peluang-peluang sekecil apapun untuk kemajuan kita sebagai siswa, harus terhalangi oleh pola pikir seorang guru yang setertutup itu. Hal serupa yang saya juga temui tahun lalu, ketika saya bilang ke seorang kepala sekolah bahwa Amerika punya program pertukaran budaya untuk pelajar SMA di Indonesia untuk bisa bersekolah di Amerika selama satu tahun. Saya jelaskan bahwa program ini sudah berjalan sangat lama, bahkan sejak Najwa Shihab masih gadis tingting (bahkan ia pun pernah mengikuti program yang sama). Tapi respon kepala sekolah itu adalah, "Nanaonan lah jauh-jauh ka Amerika, negara kafir, bisi dicuci otak!". Saya gak tahu konsep cuci otak yang ia maksud seperti apa, tapi sejauh ini saya bertemu dengan banyak peserta program ini, nampaknya baik-baik saja. Bahkan beberapa anak SMA yang selesai program ini punya peluang lebih besar untuk diterima di kampus farovitnya.

Poin besarnya adalah bahwa apa yang disampaikan Carol Dweck atau Renald Kasali soal growth mindset vs fixed mindset itu benar adanya. Ada guru-guru yang berpikiran terbuka dan visioner sehingga bisa membantu murid-muridnya bisa melesat lebih maju, sesederhana celetukan Pak Karya ketika ia mengajar Fikih itu. Tapi ada juga guru-guru dengan mindset tertutup, yang mungkin tidak disadarinya telah membatasi bahkan menutup peluang-peluang besar yang dimiliki murid-muridnya. Menemukan guru yang tepat memang hal yang sulit dan tidak bisa direncanakan. Saya punya minat untuk mengasah skill menulis, dan beruntung bisa bertemu guru yang tepat sejak sekolah. Guru yang tepat itulah yang membuat saya sampai sekarang masih ingin belajar menulis. Tapi momen bertemu guru yang tepat itu tidak saya temukan untuk bidang-bidang yang lain. Mungkin kalau dulu saya bertemu guru yang tepat di bidang kimia atau teknik, mungkin saya sudah jadi Maul yang lain yang saat ini sedang bekerja di perusahaan tambang dengan raja-raja minyak di Bahrain, atau Dubai, atau apalah itu. Atau mungkin kalau saya dulu ketemu pelatih pramuka atau paskibra yang tepat, mungkin saja saya saat ini sudah ada di posisi Mayor Teddy jadi Sekretaris Kabinet. Heuheu.

Jauh setelah lulus dari masa-masa sekolah, saya yang sekarang masih belum tahu akan menjadi manusia seperti apa di masa depan nanti, sebagai produk dari didikan guru-guru yang pernah saya temui selama ini. Tapi satu hal yang saya percaya bahwa guru dalam menjalaninya profesinya bukan hanya memberikan ilmu pengetahuan, tetapi juga membekali murid dengan keyakinan bahwa setiap tantangan adalah peluang untuk belajar dan berkembang. Dengan menanamkan keyakinan ini, para guru menginspirasi murid-muridnya untuk bermimpi besar, percaya pada kemampuan diri sendiri, dan terus berjuang meskipun menghadapi kesulitan. Seperti kata Carol Dweck, “No matter what your ability is, effort is what ignites that ability and turns it into accomplishment.” Dengan pendekatan ini, guru tidak hanya mencetak siswa yang cerdas, tetapi juga individu yang tangguh menghadapi masa depan yang penuh peluang.

22 Oktober 2024.

Komentar