Meski hidup berpuluh-puluh tahun di Amerika, ternyata banyak pendatang yang gak mahir berbahasa Inggris. Semangat untuk sukses di perantauan memang besar di kalangan perantau, tapi semangat untuk belajar adalah hal yang lain. Ada kalanya saya heran ketika ngobrol dengan bapak-bapak atau ibu-ibu yang sudah puluhan tahun tinggal di Amerika, tapi kok bahasa Inggrisnya biasa saja. Padahal eksposur terhadap bahasa Inggris sangatlah tinggi. Dari sesederhana disapa orang di jalan, slogan dan petunjuk arah di tempat umum, sampai hal-hal yang kompleks seperti ketersediaan buku, media, tontonan, sampai komunitas-komunitas akademik, semuanya serba bahasa Inggris dan sangat mungkin untuk bisa diakses. Tapi kalau dipikir-pikir, orang Indo yang tinggal di Indo berpuluh-puluh tahun pun tidak ada garansi mereka bisa mahir berbahasa Indonesia. Entah bahasa lisannya atau tulisannya, gak jarang kita temui orang-orang Indonesia yang belibet dan sulit dimengerti ketika berkomunikasi dengan bahasanya sendiri.
Satu waktu tetangga saya, seorang ibu yang sudah lebih dari 30 tahun di Amerika, memanggil saya dan meminta tolong bagaimana cara balesin pesan Whatsapp. "Tolong balesin ini dari majikan saya, saya gak ngerti, maksudnya apa, ya?" katanya. Saya baca pesannya, isinya bukan pesan yang rumit atau sulit dimengerti. Tapi kenapa hal yang menurut kita sederhana, bisa dianggap rumit bagi sebagian lain? Kontras dengan kisah seorang bapak yang bercerita di sebuah acara kantor beberapa waktu lalu. Ia (juga) sudah lebih dari 30 tahun tinggal di Amerika, bahasa lisannya bagus, punya karier bagus, bahkan dua anaknya sudah jadi dokter spesialis dan sub-spesialis. Nasib orang memang beda-beda, tapi banyak hal sangat bisa diupayakan. Apalagi jika dilihat dalam sama-sama durasi 30 tahun, dua orang Indonesia berbeda ternyata bisa menjemput nasib yang berbeda.
Di luar urusan bahasa ini, saya juga menemukan keheranan lain soal orang-orang pendatang di Amerika. Meskipun orang Indonesia yang sudah lama tinggal di sini, ternyata tidak otomatis membuat mereka punya karakter dan sikap yang, apa ya disebutnya, ... beradab? Padahal idealnya, negara yang maju itu punya definisi negara yang penghuninya juga maju dan beradab baik. Tapi nyatanya, ada aja watak-watak tidak suka antri, tidak taat rambu lalu lintas, buang sampah sembarangan, tidak bayar ketika naik kendaraan umum, ngakal-ngakalin regulasi, atau sesimple nyebrang jalan sembarangan.
Saya jadi inget dulu di salah satu mata kuliah sejarah, dalam bahasa Arab padanan kata "budaya" dan "peradaban" adalah tsaqafah dan hadhoroh. Orang yang punya dua hal itu, atau termasuk kategori ahlu tsaqafah wal hadhoroh, adalah orang yang terdidik dengan baik, terekspos pada akhlak yang baik, sehingga seseorang punya kecil kemungkinan melakukan sesuatu atas dasar ketidaktahuan, karena ia terbuka akses pada banyak informasi dan pengetahuan.
Selama ini, tak jarang saya beranggapan bahwa mereka yang sudah pernah ngalamin tinggal di luar negeri, harusnya punya adab yang lebih maju dibanding mereka yang kurung batokeun, alias punya informasi yang terbatas karena gak pernah pergi ke mana-mana, gak membaca apa-apa. Bukan hanya soal adab menaati aturan yang ada, tapi juga dalam bagaimana suatu kondisi bisa dihadapi, masalah bisa diatasi, atau perbedaan bisa disikapi. Tapi nyatanya, luar negeri tidak menjamin keberadaban bagi seseorang. Pernah tinggal di luar negeri, barangkali, hanya sebatas indikator seseorang bisa menjadi lebih dekat pada kemungkinan beradab.
Dulu ketika tinggal di Mesir, saya hanya bertemu beberapa saja orang Indonesia yang sudah tinggal puluhan tahun di Mesir. Tapi sejak tinggal di Amerika, saya bertemu banyak sekali orang Indonesia yang sudah puluhan tahun di Amerika. Kehidupan mereka bukan lagi sekadar berkunjung atau bersinggah, tapi sudah merumah. Dari sekian banyak orang itu, ada yang memang karena keputusannya sendiri untuk menetap lama di Amerika, ada juga yang karena terpaksa dan kehabisan pilihan-pilihan. Alasan kedua inilah yang membuat kita, atau saya, menjadi semacam paranoid. Apa jadinya jika kita hidup makin lama, bukannya makin banyak peluang dan pilihan, malah makin sedikit kemungkinan dan kesempatan.
Di tempat kerja saya, misalnya, ada banyak staff teknis yang dari sisi usia sudah di atas usia pensiun. Namanya staf teknis, bukan PNS pula, tentu tidak ada jenjang kariernya. Sampai kapanpun akan tetap menjadi staf teknis dan tidak ada kemungkinan naik jabatan. Pertanyaan premisnya, apakah mereka bertahan dengan pekerjaan itu karena memang pilihan sadar mereka (yang mana itu bukan pilihan yang buruk juga), atau karena sebagaimana disinggung sebelumnya, tidak punya banyak pilihan dan kesempatan lain?
Pekerjaan staff ini menjadi tantangan besar bagi generasi di atas usia pensiun, karena pekerjaan perkantoran hari ini punya deskripsi "teknis" bukan cuma sekadar gadag-gidig fotokopi berkas saja, tapi juga banyak hal yang bersentuhan dengan teknologi, internet, aplikasi, dan sebagainya. Kondisi ini tentu bukan hal yang mudah ketika usia semakin tua, namun skill gak bisa catch up.
Tulisan ini refleksi besar buat saya, soal bagaimana nilai-nilai dan konsep-konsep negara maju dan orang maju berbenturan satu sama lain. Juga soal gimana caranya supaya saya tidak tumbuh tua tapi makin kehabisan opsi dan kesempatan.
Kalau boleh religius dikit, saya mau menutup tulisan ini dengan satu ayat Quran, Ar-Rad ayat 11: Allah tidak akan mengubah nasib seseorang, kecuali oracng itu sendiri punya kemauan dan upaya untuk mengubah nasibnya sendiri. Ayat ini membuat saya malu, sudah lebih dari setahun tinggal di Amerika, tapi kok bahasa Inggris saya terasa begini-begini saja. Fyuh.
23 Juli 2024.
Komentar
Posting Komentar