Menelusuri Perjalanan Psikologis Seorang "Pria yang Mencuci Piring"

Apa jadinya ketika seorang psikiater, yang notabene tukang ngobatin orang-orang sedih dan kehilangan, malah mengalami kesedihan dan kehilangan? Buku ini menawarkan perspektif menarik tentang proses berduka melalui pengalaman pribadi seorang psikiater, dr. Andreas Kurniawan, Sp.KJ., yang menghadapi kehilangan anaknya. Dengan gaya penulisan yang sederhana dan penuh makna, buku ini mengajak pembaca untuk menyelami dunia psikis seseorang yang berjuang untuk mengatasi kesedihan dan menemukan kembali kekuatan untuk melanjutkan hidup. Buku ini disusun dengan gaya yang mudah dipahami, menggunakan diksi sederhana yang cocok untuk kalangan luas. Meskipun penulis adalah seorang profesional medis yang akrab dengan istilah psikologi dan kedokteran, ia berhasil mengemas konsep-konsep tersebut dalam bahasa yang sangat mudah dipahami, sehingga pembaca dari berbagai latar belakang dapat menikmati dan mengambil manfaat dari pembacaannya. Secara struktur, buku ini terdiri dari 16 judul, yang secara berur...

Review Buku Merapi di Genggaman Hati

Judul Buku: Merapi di Genggaman Hati Penulis: Estu Susanto dan SM. Darmastuti Jumlah Halaman: 230 halaman Penerbit: Yayasan Kayoman, Yogyakarta 2011 ISBN 979-17839-6-5
Jika ingin tahu bagaimana gambaran kehidupan masyarakat Jogja pascaerupsi Merapi tahun 2010, buku ini adalah jawabannya. "Merapi di Genggaman Hati" adalah sebuah buku karya SM Darmastuti dan Estu yang menggabungkan catatan pengalaman pribadi dengan kajian budaya dan sejarah tentang Gunung Merapi. Buku ini menawarkan perspektif unik tentang bagaimana masyarakat lokal berinteraksi dengan salah satu gunung berapi paling aktif di dunia. Penulis buku ini keduanya membuat tulisan pengantar secara terpisah, dan menurut saya, cuma ini satu-satunya kesempatan bagi pembaca untuk tahu dan menilai secara akurat gaya penulisan dari masing-masing penulis. Karena dalam praktiknya secara keseluruhan, tulisan di dalamnya disajikan sebagai satu kesatuan, lantaran setiap judul tulisan tidak disertai nama salah satu penulisnya. Misalnya ketika dalam tulisan berjudul Capung Indrawan ada kalimat, “... saya baru yakin bahwa menggadaikan mobil hanyalah sisi kecil dari rasa kinasihnya pada masyarakat lereng Merapi.”, kata ganti ‘saya’ di kalimat itu entah Estu entah Darmastuti.

Satu-satunya kesamaan yang menjadi semangat dalam tulisan-tulisan ini adalah, buku ini ditulis karena termotivasi dari pengalaman kedua penulis melihat langsung kondisi Jogja pascaerupsi, sehingga tidak heran di bagian paling awal, terdapat pengantar yang cukup jelas bahwa buku ini dipersembahkan untuk para pengungsi erupsi Merapi, para relawan, dan filantropis yang merasakan langsung bagaimana kehidupan masyarakat Jogja pascaerupsi gunung Merapi.

Meskipun Merapi telat tercatat beberapa kali erupsi sepanjang hidupnya, nampaknya fokus buku ini hanya membahas erupsi Merapi yang terjadi pada 26 dan 29 Oktober 2010, di mana warga Kinahrejo menjadi salah satu wilayah terdampak paling parah dari bencana alam ini.

Secara garis besar, buku ini terdiri dari tiga bab besar: Bab pertama berisi tulisan-tulisan tentang Mbah Maridjan; Bab kedua tentang para pengungsi; Bab ketiga tentang para relawan. Pembagian kategori ini tentu saja akan mempermudah pembaca dalam memetakan isi buku, juga dalam memetakan isi tulisan dari kedua penulisnya. Secara isi, pembaca bisa menemukan suatu upaya penulis untuk mengait-ngaitkan cerita Merapi ini dengan catatan sejarah yang pernah terjadi di tanah Jawa. Misalnya sejak di halaman awal, SM. Darmastuti menuliskan, “Cerita-cerita heroik dan dramatis banyak mewarnai musibah kali ini, termasuk cerita yang akan mengingatkan lagi pada kita bagaimana kerajaan Mataram Hindu harus bedhol desa ke Jawa Timur karena kerajaannya porak poranda akibat letusan Merapi.” Kalimat-kalimat berikutnya pun melanjutkan cerita soal perpindahan Mataram ini.

Selain keterkaitan dengan sejarah, tulisan-tulisan dalam buku ini juga banyak dikaitkan dengan filosofi Jawa, bahkan Estu mengklaimnya dengan kalimat, “(Filosofi Jawa, red.) itulah konteks terkuat yang kami temui dalam setiap hari dan kebersamaan yang kami lalui bersama para pengungsi.” (Hal. xi)

Mengaitkan pembacaan atas kondisi masyarakat pascaerupsi ini dengan nilai historis dan filosofis adalah hal yang menarik, namun sayangnya penulis tidak benar-benar serius dalam penyajiannya. Saya merasa apa yang disajikan terasa setengah-setengah dan tidak totalitas. Bahkan narasi dan interpretasi yang dibuat berdasarkan dugaan dan prasangka semata. Padahal jika poin ini bisa diseriusi, pembaca seperti saya yang tidak tahu kultur dan filsafat orang Jawa, akan terjembatani dan banyak tercerahkan.

Meski begitu, buku ini tetap bisa dijadikan alternatif bacaan di waktu luang. Kedua penulis menuliskan banyak pengalaman personal yang sedikit banyak memberi gambaran bagaimana kehidupan orang-orang yang terkena musibah erupsi Merapi. Bahkan dari buku ini, saya baru tahu bahwa ketika Mbah Maridjan meninggal dunia dalam posisi sujud, ternyata sujudnya menghadap Selatan. Arah Selatan dalam filosofi masyarakat Jogja menunjukkan arah yang lazim bagi para kawula. Keraton Ngayogyakarta adalah satu dari sedikit tempat yang menghadap Utara, sementara rumah-rumah para kerabat dan sentana keraton jaman dulu semuanya menghadap Selatan. Arah ini mengisbatkan penghormatan kepada raja. (Hal. 189).

Selain itu, ada juga kutipan-kutipan yang menarik untuk dibaca, misalnya terdapat kutipan dari perkataan Mbah Maridjan, “Begja cilaka kuwi pada wae tumraping Gusti Allah, sing diukur Panjenengane kuwi Percayamu tumrap Panjenengane …” (Keberuntungan dan kesialan yang menimpamu itu sama menurut Allah, karena sebenarnya yang Beliau ukur adalah rasa percayamu pada-Nya.) (Hal. 22). Bahkan ada pula Puisi Terakhir  WS. Rendra yang ditulis secara utuh, yang menurut penulis punya kesamaan yang kuat dengan tutur Mbah Maridjan di akhir masa hidupnya.

Buku ini sebagaimana judulnya, nampak ditulis dengan genggaman hati yang penuh kekaguman dan ketakjuban. Dari awal sampai akhir, pembaca disuguhi narasi dan penceritaan yang banyak menunjukkan citraan emosi, dibanding pendekatan logis ala-ala akademisi. Karenanya, tak heran jika “genggaman hati” menjadi bagian dari judul buku ini, karena segala yang berkaitan dengan perasaan dan emosi menjadi ruh besar dalam tulisan-tulisan di buku ini. Ketakjuban dan keterlibatan emosi ini bisa dilihat dari bagaimana cara penulis menggunakan pilihan ungkapan dari kalimat-kalimatnya. Misalnya, penulis secara terang-terangan sering menggunakan diksi kekaguman seperti, 
  • “Suatu ekspresi yang cukup mengundang rasa takjub saya,” (Hal. 60)

  • “Saya tertegun menyaksikan…” (Hal. 62)

  • “Saya hanya bisa bersyukur telah dipertemukan dengan mereka semua yang telah memberi pelajaran terbaik dalam hidup saya dengan cara yang tidak saya duga.” (Hal. 72)

  • “Tenggorokan saya tercekat ketika mendengar penuturan mBak Sri.” (Hal. 136)

Istilah Asing

Penulis dalam buku ini seringkali memasukkan istilah-istilah bahasa daerah atau bahasa asing dalam sebuah kalimat, dengan asumsi bahwa pembaca akan dengan mudah memahaminya. Hal ini dilakukan entah sebagai upaya mewarnai stilistika kepenulisan agar lebih etnikal, atau gaya-gayaan semata. Misalnya terdapat kalimat, “Itulah mengapa kebanyakan mereka tidak pernah mengajak Tuhan untuk ‘Candhak Kulak Dol Tinuku’ (berdagang) guna mencapai kesepakatan win-win solution.” (Hal. xxi).

Padahal, penggunaan istilah Jawa dalam kalimat tersebut, pun penggunaan istilah “win-win solution” sangat bisa diganti dengan bahasa Indonesia, yang lebih mungkin untuk dipahami oleh pembaca yang tidak paham istilah Jawa, dan tidak memahami istilah bahasa Inggris. Bukan tidak boleh, tapi penggunaan istilah asing tersebut akan diperlukan hanya  jika konteksnya memang betul-betul tidak punya padanan yang sama dalam bahasa kita.

Di halaman lain, penulis lagi-lagi menggunakan gaya yang sama. Antara lain:

  • “Ada baiknya kita cermati potongan kisah para penduduk lereng Merapi, para relawan, tim SAR Gabungan dan para fasilitator yang ‘edan keturutan’ namun sarat dengan ‘local wisdom.’” (Hal. xxii)

  • “Suatu real action memang selalu menjadi barometer yang lebih akurat dari kesahihan sebuah teori atau pemikiran.” (Hal. 34)

  • “... maka dipastikan dunia akan tenteram, dan natural disaster tidak lagi ditanggapi sebagai kemarahan Tuhan.” (Hal. 53)

  • “... termasuk merambahnya iklan yang membuat desa itu semakin semarak, tetapi sekaligus juga menimbulkan polusi, setidaknya sight pollution yang mengganggu …” (Hal. 53)

  • “Begitu Merapi tenang, semua chaotic situation segera dapat mereka lupakan,...” (Hal. 119)

  • “Mbak Sri adalah total opposite dari apa yang saya lihat dalam kehidupan sehari-hari.” (Hal. 137)

  • “Saya merasakan kembali nuansa Islami yang njawani tanpa exclusivism …” (Hal. 196)

Satu hal lain yang menurut saya perlu dikritisi adalah kesalahpahaman penulis ketika ia (atau keduanya) mengaitkan kondisi korban erupsi dengan Teori Kebutuhan Maslow.  Penulis mengatakan, “intuisi mereka sekaligus mematahkan teori Maslow yang menyimpulkan bahwa kebutuhan akan ketuhanan (spiritual needs) baru muncul ketika lima kebutuhan manusia (pemenuhan jasmani kasar hingga aktualisasi diri atau kebutuhan jasmani halus) terpenuhi. Masyarakat Kinahrejo seakan membuktikan: pada level kebutuhan manapun, Gusti Allah tak pernah terpisahkan dari desah napas mereka.” (Hal. 89-90)Menurut saya, kebutuhan akan aktualisasi diri, atau dalam teks buku ini menggunakan istilah Spiritual Needs, bukan “baru” muncul di tahapan kelima, tapi justru orang yang sudah pada level kebutuhan Spiritual Needs, ia akan lebih matang, dewasa, dan punya kebijaksanaan spiritual meskipun kondisi fisiknya dalam kondisi kebutuhan level pertama atau kedua. Saya kira, gambaran ini tidak mematahkan Teori Maslow, tapi justru menjadi gambaran lebih lanjut bagaimana Teori Maslow diinterpretasi dalam kehidupan masyarakat korban erupsi.

Hal lain yang tak kalah penting untuk dilihat adalah, bahwa buku ini sepertinya diterbitkan tanpa proses penyuntingan yang layak. Pembaca bisa dengan mudah menemukan banyak sekali penulisan yang tidak sesuai kaidah kebahasaan, yang dibiarkan begitu saja. Seperti penulisan kata philanthropist, dimana, mBah, mBak, kraton, dan lain-lain, bisa kita temukan dengan mudah tersebar di mana-mana.

Buku ini memang bukan buku yang populer dan banyak dibahas orang, namun saya kira, kehadirannya tetap patut diapresiasi dengan baik, dan tetap bisa dijadikan bacaan di waktu luang yang bisa menambah wawasan kita soal kondisi masyarakat Jogja pascaerupsi Merapi 2010 lalu. Bahkan secara lebih umum, buku ini cocok bagi mereka yang tertarik dengan hubungan antara manusia dan alam, serta dinamika budaya di sekitar salah satu gunung berapi paling terkenal di Indonesia.

Senin, 8 Juli 2024.

Komentar