Salah satu rukun yang wajib ada dalam tiap rakaat salat adalah bacaan surat Al-Fatihah. Surat ini tidak hanya sebagai bagian dari salat, bahkan disebut sebagai inti dari salat. Setidaknya dalam sehari semalam, seorang muslim bisa dipastikan akan membaca surat ini sebanyak 17 kali dalam salat fardu. Apalagi jika ditambah dengan salat sunah, atau momentum lain di luar salat, tentu intensitasnya akan makin banyak lagi. Namun pertanyaanya, sudah seintens apa pemahaman kita atas bacaan yang setiap hari dirapalkan tersebut? Apakah surat Al-Fatihah ini sudah benar-benar menjadi bagian dari cara kita berkomunikasi dengan Allah dalam setiap salat, atau jangan-jangan surat ini dibaca hanya sebatas pelengkap salat dan formalitas ibadah belaka?
Sudah seyogyanya seorang muslim menghayati dan meresapi rahasia agung yang terkandung di dalamnya; sebab ia tengah bermunajat kepada Rabbnya. Dengan demikian, hatinya akan lebih khusyuk, lebih tahu atas apa yang ia ucapkan, dan lebih mungkin untuk bisa membangun dialog rohani dengan Allah Swt.
Untuk itu, hadirin sekalian, khatib mengajak untuk sama-sama mempelajari dan memaknai surat Al-Fatihah ini, sebagai upaya kita membangun komunikasi yang baik dengan Allah Swt. Mengapa surat ini erat kaitannya dengan komunikasi? Hal ini tergambar dalam sebuah hadis qudsi yang diriwayatkan dari Abu Huraira ra., bahwa satu waktu Rasulullah saw. mengatakan bahwa Allah Swt. berfirman, “Aku telah membagi salat antara aku dan hamba-Ku menjadi dua bagian yang sama dan hamba-Ku akan mendapatkan apa yang dia minta di bagiannya."
Penggalan hadis ini menjadi menarik ketika Allah mengatakan “Aku membagi salat menjadi dua bagian”, padahal kata “salat” dalam kalimat ini Allah maksudkan untuk surat Al-Fatihah. Penggunaan diksi ini menunjukkan, Al-Fatihah adalah bagian yang penting dan inti dari sebuah salat.
Kembali ke hadis tadi, Allah Swt. berfirman,
فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ ( الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ ) قَالَ اللَّهُ تَعَالَى حَمِدَنِى عَبْدِى
Ketika seorang hamba dalam salatnya berkata, "al-ḥamdu lillāhi rabbil-‘ālamīn," Allah Swt. berkata, "Hamba-Ku memuji-Ku." Maka Allah merasa senang bahwa hamba-Nya telah memuji diri-Nya.
وَإِذَا قَالَ (الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ). قَالَ اللَّهُ تَعَالَى أَثْنَى عَلَىَّ عَبْدِى
Selanjutnya, ketika ada hamba-Nya mengatakan, "Ar-rahmanir Rahiim," maka Allah Swt. mengatakan, "Hamba-Ku mengulangi pujian untuk-Ku."
وَإِذَا قَالَ (مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ). قَالَ مَجَّدَنِى عَبْدِى – وَقَالَ مَرَّةً فَوَّضَ إِلَىَّ عَبْدِى
Kemudian, hamba ini berkata, “Maaliki yaumid diin.” Allah Swt. berfirman, “Hamba-Ku mengagungkan-Ku.”
Dalam bagian ini, Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah pernah berkata, sekiranya bukan karena kabut syahwat dan nafsu yang menggelayut di hati, tentu hati para hamba (yang sedang shalat itu) akan melonjak girang dan bahagia karena ucapan dari Rabbnya, Penciptanya dan Dzat yang diibadahinya. Kita menyanjung Allah, dan Allah menyambut baik sanjungan itu.
فَإِذَا قَالَ (إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ) قَالَ هَذَا بَيْنِى وَبَيْنَ عَبْدِى وَلِعَبْدِى مَا سَأَلَ.
Di ayat selanjutnya, ketika seseorang membaca "Iyyaka na’budu wa iyyaaka nasta’in", Allah Swt. meresponnya, "Ini adalah penghubung antara Aku dan hamba-Ku, dan untuk hamba-Ku akan diberikan sesuai apa yang dia minta."
Lalu kita masuk pada bagian yang kedua, di mana bagian kedua dari Surat Al-Fatihah ini secara garis besar berisi tentang kebutuhan kita sebagai makhluk. Bisa kita lihat dari kalimat per kalimatnya, jika di ayat-ayat sebelumnya berisi pujian dan sanjungan untuk Allah Swt., maka di ayat berikutnya sampai akhir, isinya permintaan semua.
فَإِذَا قَالَ (اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ). قَالَ هَذَا لِعَبْدِى وَلِعَبْدِى مَا سَأَلَ
Terakhir, ketika hamba Allah membaca "Ihdinas-Shirathal mustaqiim" dan seterusnya sampai akhir surat, maka Allah Swt. berfirman, “Ini milik hamba-Ku dan untuk hamba-Ku sesuai yang dia minta.”
Hadirin rahimakumullah.
Jika setiap bacaan surat Al-Fatihah ini adalah bentuk komunikasi kita sebagai hamba dengan Allah sebagai Tuhan, maka tentu kesadaran itu akan membuat kita lebih sadar, lebih serius, lebih hadir ketika setiap ayatnya dibacakan. Apalagi dengan penjabaran hadis tadi yang menerangkan bahwa Allah itu merespon bacaan kita ayat per ayat, tentu seharusnya kita tidak terburu-buru ketika membaca surat ini, tidak tergesa-gesa agar cepat selesai. Ibaratnya ketika kita berbicara dengan pimpinan atau orang terhormat saja, kita bisa sangat menjaga tempo, ritme, dan menjaga pilihan kata kita ketika bicara, maka mindset itu seharusnya hadir pula ketika kita berkomunikasi dengan Allah Swt.
Demikian khutbah jumat kali ini, semoga kita bisa menjadi lebih baik lagi dalam membangun komunikasi dengan Allah Swt., bisa lebih memahami dan memaknai Surat Al-Fatihah, lebih jauhnya bisa memahami Al-Qur’an sebagai panduan hidup kita.
(Materi ini disampaikan dalam khutbah Jumat, 5 Juli 2024 di KBRI Washington, D.C.)
Komentar
Posting Komentar