Review Novel Laut Bercerita karya Leila S. Chudori

Untuk pembaca yang belum tahu kengerian masa Orde Baru, novel ini bisa jadi intro yang baik. Laut Bercerita adalah novel fiksi sejarah yang epik dan mengharukan. Novel ini mengambil latar di Indonesia pada akhir 90-an, masa yang ditandai dengan represi politik, perlawanan, dan gejolak sosial. Ceritanya berfokus pada tokoh Biru Laut, seorang aktivis mahasiswa yang menentang rezim otoriter Soeharto, bersama kelompok teman-temannya yang terlibat dalam gerakan pro-demokrasi di Indonesia. Melalui pengalaman Laut, novel ini mengeksplorasi tema-tema pengorbanan, keluarga, ketangguhan, dan dampak traumatis dari penganiayaan politik. Di bagian awal, Chudori secara singkat sudah memberi klu tentang apa yang hendak diceritakan dalam novel ini. Tulisnya, kepada mereka yang dihilangkan dan tetap hidup selamanya . Kalimat singkat ini, buat saya pribadi, seperti sebuah aba-aba untuk bersiap-siap bahwa apa yang akan dibaca kemudian adalah kisah kengerian-kengerian yang dihadapi para tokohnya. Dan ke

Perbincangan Culture Shock di Amerika

 

Beberapa minggu lalu, saya ketemu Pak Marpu di pesantrennya. Pak Marpu adalah guru pertama yang ngajarin saya Fikih sewaktu kelas satu MTs dulu. Salah satu yang kita obrolin waktu ketemu itu adalah soal bagaimana saya melihat sekaligus menyikapi Amerika yang dulu saya ekspektasikan, dengan Amerika yang saat ini saya alami. Tentu saja ada gap di antara keduanya, sesiap apapun mental dan fisik kita menghadapi kehidupan Amerika yang sudah sedikit banyak bisa diketahui dari media.

Saya kaget bahwa di DC orang bisa ngeganja dengan bebas. Orang ngelinting di bis, di kereta, atau di taman adalah hal yang sering saya temui. Di New York, perempuan bisa bebas bertelanjang dada, juga berjemur di rerumputan Central Park hanya dengan two piece layaknya di pantai. Sajian wine di acara resmi, orang ke klub seks, orang tidak beragama, orang menikah sesama jenis, adalah list culture shock yang sebenarnya tidak perlu dikagetkan lagi kalo bicara Amerika, toh hal-hal itu sudah banyak ternarasikan di mana-mana. Tapi saya bilang ke Pak Marpu, culture shock terbesar saya adalah ketika melihat orang-orang Indonesia yang ketika mereka hidup di Amerika, mereka juga seperti orang Amerika. Sebagai tambahan, saya juga kaget ketika tahu ada yang dipercaya jadi khatib jumat tapi gak tau rukun khutbah, bahkan dianggap ustaz hanya karena pernah haji.

Saya punya tetangga yang ceritanya dia datang ke Amerika dengan modal menjual sawah di kampungnya. Ia bukan orang berpendidikan tinggi, bahasa Inggrisnya pas-pasan, bukan pula yang datang dengan skill mumpuni. Ia datang ke Amerika dengan niat mengubah nasib, kerja serabutan pun akan dilakoni. Awalnya dia kerja kuli bangunan, lalu sekarang dia kerja cuci piring di restoran. Poin saya bukan soal pekerjaan dan nasibnya, tapi soal bagaimana ia yang baru beberapa bulan mengenal Amerika, bisa menjadi "sangat Amerika" dengan cepatnya. Dari tampilan luar saja, ia mulai mengecat rambutnya. Lalu kemudian mulai berani ngobrol dengan saya sambil minum bir, sesekali pernah juga sambil bawa gelas minuman berwarna biru. Cocktail vodka, katanya. Jika weekend tiba, ia akan pergi ke Kasino dan mulai belajar trik-trik bermain aneka permainan di sana. Lalu kemudian ia bisa sangat kasual berbincang dengan teman-temannya yang lain soal klub malam mana yang cewek-ceweknya paling cantik. Terakhir ketemu beberapa hari lalu, ia sudah memasang beberapa anting di kedua daun telinganya. Sangat gaya dan necis, meskipun sejujurnya nampak sangat jamet di mata saya. Jika ini hanya berdasarkan apa yang nampak dan saya lihat, itu pun kami jarang bertemu, tentu ada hal lain yang jauh lebih mendasar yang berubah dalam hidupnya: cara berpikirnya, cara berpendapatnya, bahkan mungkin prinsip dan nilai-nilai yang ia anut. Mungkin kalau kita pakai istilah Sunda, banyak orang Indonesia yang curinghak ketika pertama kali bertemu budaya Amerika. Kawas kuda leupas tina gedogan, merasa bebas untuk menerjemahkan kebebasan ketika di tempat sebelumnya hidup dalam banyak keterbatasan dan aturan-aturan.

Itu baru satu contoh dari enam puluh ribuan orang Indonesia yang tinggal di Amerika. Untuk saya yang hampir seluruh hidupnya dihabiskan di lingkungan yang homogen, di mana selalu berada dalam lingkungan mayoritas muslim, orang-orang pesantren, juga orang-orang yang menganggap agama sebagai hal yang penting, menghadapi kehidupan Amerika yang demikian adalah suatu hal yang butuh adaptasi. Saya mulai beradaptasi dengan lingkungan yang menyadarkan saya bahwa tidak semua orang menganggap agama sebagai hal yang penting, tidak semua orang yang mengaku beragama akan menjalankan ajaran agama, dan bisa jadi, inilah yang selama ini tidak pernah saya sadari. Lalu Pak Marpu menimpali bahwa sadar atau tidak, pengalaman hidup di lingkungan yang homogen itu, dilihat dari kacamata Pak marpu sebagai seorang kiai dan akademisi, adalah suatu keistimewaan yang tidak bisa dimiliki semua orang. "Itu hal yang perlu disyukuri," katanya menggarisbawahi. Kita bersyukur pernah ngalamin hidup di lingkungan orang-orang yang beragama, beribadah bersama, memegang nilai dan prinsip yang sama. Di mana kondisi dan lingkungan itu, nyatanya baru disadari dan diinginkan oleh banyak orang ketika usia mereka sudah tidak muda, di mana ada banyak orang yang baru mempelajari agama ketika sudah beranjak setengah abad, ketika sudah pensiun, atau ketika hidupnya sudah banyak pantangan dari dokter.

Yang menarik untuk ditanyakan itu adalah, apakah orang yang lahir dan besar di Amerika yang dapat dakwah Islam cuma sekenanya, apakah mereka termasuk bulugh da'wah, alias boleh dihukumi hukum-hukum Islam padahal paparan informasi tentang Islamnya tidak lengkap? Atau malah bisa jadi mereka dapet info tentang agama Islamnya, udah mah cuma sedikit, itu pun banyak hoax-nyaHal ini yang muncul dalam obrolan dengan Pak Marpu ketika beliau tanya soal geliat ulama Islam di Amerika. Beneran ada, gak, sih, ulama Islam di Amerika yang ibaratnya kalau dia sudah meninggal, makamnya teh banyak diziarahi dan disebut namanya dalam ritual tahlilan? Di tanah yang jauh dari tempat lahirnya agama Islam ini, nampaknya jarang sekali terlacak cerita Islam di histori Amerika. Jika pun Islam di negara ini banyak dibawa oleh para imigran dari Timur Tengah pada awalnya, apakah di masa dulu, para imigran itu betulan ada ulama yang ikut hijrah, atau sebatas, ya kebetulan weh orang Arab bisaeun bahasa Arab, jadi dianggap ustaz weh lah.

Saya gak tahu akan bertemu dengan culture shock apa lagi di Amerika ini. Satu tahun tinggal di negeri ini dengan empat musimnya yang terlewati, nampaknya sedikit banyak sudah memberi saya gambaran lebih nyata bagaimana dunia ini bekerja di negara adidaya ini. Jika pun ada culture shock lain yang akan saya temui di tahun kedua ke depan, seharusnya saya sudah lebih siap dan lebih tau bagaimana cara menyikapinya. 

Obrolan dengan Pak Marpu kemarin ternyata menjadi momen yang mengingatkan saya bahwa seberbeda apapun dunia yang saat ini saya pijak, sekeren dan setinggi apapun langit yang saat ini saya junjung, saya tetap punya akar yang harus tetap dijaga tetap kuat, dan saya punya asal dan usul yang tidak akan hilang oleh pengaruh apapun. "Dakwah mah pelan-pelan, weh, jangan merasa pangbenerna," katanya menutup perbincangan. 

21 April 2024

Komentar

  1. Pas terakhir ke Amerika 2022 akhir ampe jan 2023, cuma 10 hari tapi ngalamin juga culture shock ganja itu 🤣🤣. Ga sukaa krn baunya tajam menyengat. Tokonya di mana2pula.Tapi gimana lagi, mereka memang melegalkan itu kan.

    Cuma yang aku salut, ada banyak kuliner halal di NYC. Pas ke DC, Philly dan boston aku agak susah nemuin.. Mungkin ada tp krn waktu terbatas jd ga bisa serius carinya. Terpaksa pakai prinsip yg penting bukan porky dan alkohol.

    Cuma aku suka krn di sana banyaaak sekali museum bagus. Walo mahal, tp menurutku worth it dengan isi yg bisa dilihat. Masih pengen kesana lagi, mumpung VISA juga masih valid ampe 2027.

    BalasHapus
  2. Yang memang bakal cukture syok ya secara budaya beda, agamaounbeda, kebiasaanjuga beda.

    BalasHapus

Posting Komentar