Menelusuri Perjalanan Psikologis Seorang "Pria yang Mencuci Piring"

Apa jadinya ketika seorang psikiater, yang notabene tukang ngobatin orang-orang sedih dan kehilangan, malah mengalami kesedihan dan kehilangan? Buku ini menawarkan perspektif menarik tentang proses berduka melalui pengalaman pribadi seorang psikiater, dr. Andreas Kurniawan, Sp.KJ., yang menghadapi kehilangan anaknya. Dengan gaya penulisan yang sederhana dan penuh makna, buku ini mengajak pembaca untuk menyelami dunia psikis seseorang yang berjuang untuk mengatasi kesedihan dan menemukan kembali kekuatan untuk melanjutkan hidup. Buku ini disusun dengan gaya yang mudah dipahami, menggunakan diksi sederhana yang cocok untuk kalangan luas. Meskipun penulis adalah seorang profesional medis yang akrab dengan istilah psikologi dan kedokteran, ia berhasil mengemas konsep-konsep tersebut dalam bahasa yang sangat mudah dipahami, sehingga pembaca dari berbagai latar belakang dapat menikmati dan mengambil manfaat dari pembacaannya. Secara struktur, buku ini terdiri dari 16 judul, yang secara berur...

Review Novel Cinta Tak Pernah Tepat Waktu by Puthut EA

Judul Buku:  Cinta Tak Pernah Tepat Waktu
Penulis:  Puthut EA
Penyunting: Eka Kurniawan
Tebal  Buku:  256 halaman
ISBN:  978-602-1318-55-3
Penerbit:  Orakel 2005, INSISTPress 2009, Manasuka 2013, EA Books 2015, Buku Mojok 2016, 2017, 2018

Novel melankolis ini adalah adalah novel dan buku pertama yang saya baca di 2024. Sepanjang perjalanan membaca novel ini, saya berkesimpulan bahwa yang istimewa dari novel ini adalah pengalaman membacanya. Sebab jika dilihat dari sajiannya, novel ini sangat sederhana. Bahasanya sederhana, ceritanya sederhana, plotnya sederhana, cuma tokohnya aja yang rumit.

Tokoh "aku" dalam novel ini adalah orang yang ragu, terlalu banyak pertimbangan, tidak sat-set, dan membuat pembaca sebal akan cara berpikirnya dalam memutuskan sesuatu. Singkatnya bisa dibilang, cinta dalam judul novel ini sebenarnya datang dalam kondisi yang tepat waktu, cuma "aku"nya aja yang selalu terlambat.

Novel Cinta Tak Pernah Tepat Waktu menceritakan seorang tokoh "aku" yang dari awal sampai akhir tidak disebut namanya. Ia adalah seorang pemuda di akhir kepala dua yang sedang sering-seringnya ditanya kapan menikah, oleh orang-orang di lingkarannya: kenalan, teman, kerabat, juga ibunya sendiri. Permasalahan utamanya adalah si "aku" ini masih punya urusan yang belum selesai dengan masa lalunya, sehingga bukan hal mudah baginya untuk jatuh cinta lagi, apalagi sampai ke jenjang pernikahan.

"Aku" digambarkan sebagai sosok laki-laki yang hidupnya serampangan. Ia beraktivitas di waktu orang-orang pada umumnya beristirahat, dan ia beristirahat di waktu orang-orang pada umumnya beraktivitas. Hal ini pernah suatu kali jadi masalah ketika ia mendekati seorang perempuan, dan berulang kali gagal ketemuan karena ia selalu melewatkan jam yang sudah ditentukan, sementara si perempuan memenuhi janji temu itu dan harus menunggu lama. Keteledoran dan kebiasaan buruk inilah yang menjadi salah satu faktor kenapa pembaca menjadi sebal dan gregetan dengan karakter si "aku".

Dalam kondisi lain, si "aku" dihadapkan pada kondisi dengan seorang perempuan yang sudah mau mengajaknya menikah dan meminta responnya. Alih-alih memberi jawaban yang pasti, ia malah memperumit dirinya sendiri dengan jawaban-jawaban yang menggiring perempuan itu pada kesimpulan bahwa laki-laki ini tidak bisa tegas pada dirinya sendiri. Di bagian bab ini, saya merasa aneh juga jika tiba-tiba ada seorang perempuan tiba-tiba datang dan langsung minta nikah, padahal belum kenal betul.

Tapi secara keseluruhan konflik dan lika-liku yang ada, lagi-lagi asumsi saya bahwa yang salah bukan pada cintanya atau perempuan yang didekatinya, tapi lebih kepada kondisi si "aku" yang masih terjebak dengan kenangan masa lalu. Bahkan jika kenangan itu datang, seringkali ia terhanyut lama dan sulit untuk beranjak. Ia hanya punyasatu kepastian: rasa sedih yang menyesakkan (Hal. 167). Hal inilah yang membuat “aku” menjadi laki-laki yang tidak bersemangat dan pesimis menjalani hidup.

  • "Mengapa kalau perempuan itu yang mengingatkan aku untuk makan, aku menganggap itu adalah cara dia untuk menunjukkan rasa cinta, sedangkan jika perempuan lain yang memperingatkan aku untuk makan, kuanggap sebagai sikap yang berlebihan dan cerewet?" hal. 167.
  • "Kesedihan menautkan jarak yang begitu rumit." – hal. 170.
  • "Setiap orang punya pengalaman buruk. Tapi menurutku, tidak baik kalau seseorang menularkan emosi buruknya itu pada orang lain."  hal. 179.

Novel setebal 256 halaman ini dibagi menjadi 15 bab dengan rangkaian cerita yang acak. Awalnya saya mengira buku ini sebagai kumpulan cerpen, lantaran perubahan sudut pandang dan kata ganti orang yang berbeda di beberapa babnya. Tapi setelah membacanya di pertengahan menuju akhir, barulah saya paham bahwa buku ini adalah satu rangkaian cerita dengan tokoh dan masalah yang sama.

Penggunaan kata ganti dan sudut pandang "aku" dalam novel ini membuat pembaca lebih mudah terlibat dalam ceritanya. Cara tokohnya berpikir dan bertindak terasa menjadi bagian dari kita sebagai pembaca, sehingga tidak heran jika strategi penggunaan "aku" ini menjadi cukup efektif membuat pembaca ikutan sebal dan heran akan rumitnya kehidupan si "aku". Di lain bab, Puthut EA selaku penulis juga menggunakan kata ganti orang kedua, "kamu", yang ternyata isinya menggambarkan karakter dan perwatakan tokoh "aku", hanya saja dalam kemasan berbeda. Penggunaan kata ganti "kamu" ini digunakan seolah-olah tokoh "aku" sedang melakukan refleksi dan sedang berbicara dengan dirinya sendiri. Cara ini sangat unik ketika dilakukan dalam novel panjang, sehingga pengalaman membaca kita menjadi lebih bervariasi. Meskipun sejujurnya, cara ini membuat kita sebagai pembaca menjadi agak kebingungan pada mulanya.

Penggunaan kata ganti "kamu" dalam novel ini dapat ditemukan di salah satu bab berjudul Tentang Kamu. Dalam bab ini, penulis menggambarkan sosok "aku" panjang lebar, antara lain tentang ia dengan pekerjaannya, pandangannya soal Tuhan dan agama, cara ia mengelola stres, prinsip hidup yang ia anut, cara ia merespon isu sosial di lingkungannya, dll.

  • "Kamu masih muda, jangan banyak diskusi. Pergi dan angkat senjata!" – hal. 137.
  • "Pertama, kamu dan mereka merasa menjadi pahlawan, dan merasa paling benar! Kedua, yang akan semakin membuatmu sinting adalah karena kamu dan mereka tidak pernah tahu apa yang sesungguhnya terjadi di tingkat puak-puakmu. Kamu, siapa yang menggerakkan? Mengapa mereka menggerakan mu? Kamu dan mereka mungkin akan bilang: diri kami sendiri, sebab kami orang merdeka! Benarkah? Benarkah? Benarkah!" – hal. 154.

Dalam perjalanannya menyembuhkan luka masa lalu, "aku" berkegiatan dan menemukan oase-oase di berbagai tempat yang penulis sebut sebagai 'surga-surga kecil'. Di beberapa bagian babnya, surga kecil ini menceritakan pelajaran-pelajaran hidup yang didapatkan si tokoh "aku" ketika berada di Malang, Bandung, Pacitan, Sleman, dan Banyuwangi. Dari salah satu surga kecil ini lah ia dikisahkan belajar yoga dan meditasi. Perjalanan hidup lintas kota ini merupakan variasi yang menurut saya cukup mengambil bagian dari keseluruhan plot cerita. Padahal, bisa jadi, petualangan cinta tokoh "aku" ini mungkin akan lebih menarik jika mengambil latar tempat dan peristiwa di tempat-tempat itu. Sayangnya persinggungannya sangat sedikit.

  • “Jangan biarkan aku membenci diriku terus-menerus. Jangan biarkan. Aku hanya ingin sedikit sembuh, dari dunia yang sakit ini. Aku tidak ingin cinta yang sejati. Tapi, biarkan aku mencicipi cinta yang bukan sesaat. Biarkan aku berjuang dan bertahan di sana. Biarkan aku tersiksa untuk terus belajar bersetia. Aku rela tenggelam di sana, sebagaimana segelintir orang yang beruntung mendapatkannya. Sesungguhnya, aku hanya ingin kebahagiaan yang sederhana.” –hal. 8.
  • “Sudah lama aku tidak jatuh cinta. Sudah lama aku bertekad untuk menyingkirkan cinta dari kehidupanku. Tidak untuk cinta. Tidak untuk hal ihwal cinta yang cenderung kuanggap menjijikkan. Aku pikir, aku sudah sampai pada keputusan final tentang cinta: omong kosong!” (hal. 43)
Bagian menariknya ada di bagian akhir, ketika Puthut EA menyebutkan namanya sendiri sebagai salah satu tokoh dalam cerita ini. Puthut menggambarkan dirinya sendiri sebagai salah satu teman tokoh "aku". Ia juga menyebutkan beberapa nama lain seperti penulis Eka Kurniawan dan Muhidin M. Dahlan sebagai bagian dari cerita si "aku" yang plin-plan ini.
  • "Begitu lagu berakhir, Astrid maju dan mempersilakan Puthut untuk memandu jalannya acara selanjutnya. Puthut maju, lalu bercuap-cuap sebentar tentang novel debutanku, Mata Massa. Tidak lama kemudian ia memintaku dan dua pembicara lain untuk maju. Bedah buku dimulai." hal. 220.

Kalau mau kesimpulan super singkat dari rumitnya kisah asmara si tokoh "aku", rangkumannya cukup dibaca di penggalan berikut:

  • "Itulah alasan mengapa aku tidak menghubungi lagi Sarah, si dokter teman ibuku di kampung, lalu perempuan yang datang dan mengajakku menikah, lalu perempuan yang meminjam korekapi. Intinya adalah lukaku harus sembuh dulu." – hal. 180.

Buku ini ditulis dengan cara yang apik, dan terasa istimewa dalam kesederhanaannya. Tidak banyak ditemukan akrobat bahasa, atau diksi yang sulit dicerna, tapi semuanya serba mudah dipahami. Selain itu, ada banyak kutipan yang menarik dalam buku ini, antara lain:

  • "Kalau ada standar untuk orang hidup di tingkat menimal, harusnya ada pembatasan kekayaan orang. Kemampuan dunia ini terbatas, dan seharusnya ada pengetatan atas distribusi kekayaan." –  hal. 95.
  • "Di atas seluruh kesempurnaan hanya ada sikap sederhana dan rendah hati." –  hal. 98.
  • "Kita harus siap sepi. Penderitaan bagi orang seperti kita adalah sebuah keputusan politik." –  hal. 156.
  • "Ada orang yang bilang bahwa pada awalnya, awal sekali, setiap manusia yang lahir sudah dikutuk untuk lebih dulu kenal kesedihan. Buktinya, setiap bayi yang lahir selalu menangis, dan bukannya tertawa." –  hal. 168.
  • "Hidup memang keras dan kejam. Tapi, bukan berarti harus melacurkan cita-cita dan harapan." –  hal. 219.

Kekurangan dari buku ini adalah plotnya yang berlompatan, dan terlalu banyak informasi tambahan yang tidak begitu penting dalam membangun cerita utama. Penulis seperti terlalu bersemangat menyampaikan banyak hal e dalam cerita, sehingga alur cerita menjadi terasa lebar. Misalnya dengan menyisipkan cerita perjuangan reformasi 98, idealisme politik mahasiswa dan anak muda, dan isu sosial lain yang bisa dibilang, penting untuk diangkat tapi di waktu dan tempat yang tidak pas. 

Sebagai catatan lain, terdapat beberapa salah ketik yang dapat ditemukan dalam novel ini, antara lain penulisan kata pemimpinwilayah (tanpa spasi, hal. 141), memilki (memiliki, hal. 166), Tente (Tante, hal. 177), dan bagiamana (bagaimana, hal. 210).

Terlepas dari kekurangan dan kegregetan yang dialami selama membacanya, novel ini tetap layak untuk dinikmati, karena sebagaimana disebut di awal, pengalaman membacanya cukup menyenangkan.

Selamat membaca ;)

03 Januari 2024

Komentar