وَقُلِ ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ ٱلَّذِى لَمْ يَتَّخِذْ وَلَدًا وَلَمْ يَكُن لَّهُۥ شَرِيكٌ فِى ٱلْمُلْكِ وَلَمْ يَكُن لَّهُۥ وَلِىٌّ مِّنَ ٱلذُّلِّ ۖ وَكَبِّرْهُ تَكْبِيرًۢا
Salah satu nama Allah yang paling sering kita sebut di keseharian kita adalah nama Allah Al-Kabir. Kita sering menyebut sifat ini dalam bentuk yang paling sempurna dalam bahasa Arab, Akbar. Dalam bahasa Arab bentuk ini disebutnya pola kata tafdhil, atau bermakna sesuatu yang paling. Kata dasarnya kabir (besar) ketika berubah menjadi Akbar, maknanya menjadi sesuatu yang paling kabir (besar). Dalam salat lima waktu, kita menyebut lafaz Allahu Akbar hampir 94 kali dalam sehari semalam. Lafaz takbir menjadi ucapan pembuka salat, bahkan salat menjadi tidak sah dan harus diulangi jika tanpa ucapan itu. Sebegitu penting lafaz ini menjadi pembuka salat, menjadi penanda hubungan kita dengan Allah di setiap peralihan gerakan salat, kecuali hanya dari ruku menuju i'tidal kita menggantinya dengan pujian kepada allah hanya diselingi dengan ucapan sami’ Allahu liman hamidah.
Tetapi apakah kita sudah paham, sudah bisa memaknai, apakah gerangan yang dimaksud dengan kalimat akbar. Kita sering menerjemahkannya dengan kata maha agung, maha besar, karena keterbatasan bahasa kita hanya sampai pada pemaknaan itu. Tetapi mari kita coba selami di kesempatan khutbah kali ini, agar setelah usai ibadah jumat ini, kita semua bisa pulang dan membawa oleh-oleh tentang pemaknaan kebesaran Allah swt.
Imam Ghozali dalam kitab Al-Aqshad Al-Ashna fi Syarfi Asmaail Husna ketika menjelaskan makna Al-Kabir, itu berkaitan dengan Kamaalu Zat, dengan kesempurnaan Allah Swt. Jadi ketika kita mengatakan Allahu Akbar, maka sesungguhnya kita sedang mengagumi kesempurnaan zat Allah Swt.
Di dalam ilmu tauhid, kesempurnaan Allah Swt ini mewujud atau digambarkan dalam dua kelompok sifat-sifat Allah yaitu termasuk dalam Sifat Nafsiyah, atau sifat yang menegaskan keberadaan zat Allah, dan Sifat Salbiyah, sifat yang meniadakan, menghilangkan, menolak segala hal yang tidak pantas kepada Allah Swt. Maka ketika kita mengucapkan Allahu Akbar, di saat itu pula kita mengakui yang wujud hanyalah allah, bahwa adanya allah tanpa awal permulaan, adanya allah tanpa ada akhir, yang adanya tidak butuh apapun, tidak butuh tempat, tidak butuh waktu, tidak butuh bantuan, tidak butuh apalagi yang mengadakan Allah. Allah hanya satu, yang satunya bukan bagian dari yang banyak, bukan kombinasi elemen dan unsur, bukan hasil penambahan atau pengurangan. Itulah kesempurnaan allah, allah wujud qidam baqa mukkholafah lil hawadis qiyamuhu binafsihi dan wahdaniyah.
Termasuk pengakuan terhadap akbar-nya allah adalah keberadaan semua selain allah itu adalah bagian dari kesempurnaan dari allah swt. Maka jika kita menemukan dalam hidup ini wujud yang menarik, wujud yang indah, wujud yang mempesona, wujud yang membuat mata merasa terhibur, telinga merasa dimanjakan, membuah zahir kita menemukan satu keindahan dari wujud itu, maka pemahaman akan makna Allahu Akbar akan langsung mengembalikan keindahan itu kepada Allah, sebab semata-mata wujud keindahan yang kita temukan ini karena diwujudkan oleh Allah swt.
Kita lihat dalam Alquran, ketika bicara perintah takbir, ada dua kejadian yang dijadikan momentum untuk bertakbir. Yang pertama ada ada pada perintah berpuasa di bulan Ramadan. Setelah kita ibadah puasa Ramadan, kita diperintahkan di akhir ayat puasa
walitukabbirullaha ala maa hadaakum wa la’allakum tasykurun, kalian berpuasa itu supaya mengakui kebesaran Allah, bahwa yang membuat kalian bisa puasa selama Ramadan, bisa menahan makan, minum dan menahan nafsu, itu semua atas kuasa Allah. Jangan mengatakan diri berjasa, jangan mengatakan semua karena kemampuan diri sendiri, tetapi Allah-lah yang berkuasa dan berkehendak. Maka di akhir Ramadan, kita banyak bertakbir sebagai manifestasi dari pengagungan kita pada kebesaran Allah Swt.
Yang kedua terdapat dalam ayat haji, setelah perjalan haji ribuan kilometer, mengorbankan berbagai pengorbanan, meninggalkan keluarga, mengorbankan waktu dan tenaga, meninggalkan hal-hal yang disukai dicintai, menjalani kekhawatiran-kekhawatiran akankah bisa kembali ke rumah atau tidak. Orang yang berhasil melalui itu, logika sederhananya bisa saja membanggakan diri dan menganggap perjuangan itu sebagai pencapaian besar. Tetapi lagi-lagi di dalam Alquran, Allah mengatakan redaksi yang serupa, li tukabbirullaha ala maa hadakum, kalian menempuh perjalanan seperti itu agar kalian mengagungkan Allah, mengakui kebesaran Allah swt.
Inilah sesungguhnya pola bertakbir. Kita melihat takbir digunakan di masa Rasulullah, sesungguhnya digunakan bukan sebagai kalimat perang, karena ketika perang kalimat yang sering diucapkan adalah ahadun ahad. Tetapi justru banyak digunakan ketika ada seseorang yang baru masuk Islam. Ketika ada seseorang yg di luar dugaan, atau seseorang yang diajak dengan cara apapun untuk masuk Islam namun tak kunjung memeluk Islam, tiba-tiba orang itu masuk islam tanpa dugaan sebagaimana Sayyidina Umar bin Khattab, maka Rasul dan para sahabat menyambut itu dengan takbir, itulah karena Allah yang mewujudkannya, bukan jasa siapa-siapa, tapi itu jasa Allah Swt.
Maka pada hari ini, kita bisa menikmati banyak nikmat sebagai warga negara dari negara yang merdeka, yang aman, yang stabil, yang masyarakatnya punya prestasi, setelah kita memahami makna takbir, sesungguhnya bukan semata-mata jasa kita, bukan kita yang sendiri yang mewujudkan itu, tetapi semua itu bagian dari bagaimana Allah menunjukkan kebesarannya kepada kita. Mari kita kembalikan kebesaran itu kepada Allah Swt. Wa wakabbirhu takbiro.
Mudah-mudahan kita semua menjadi ahli takbir, orang-orang yang melihat, mendengar, merasakan apapun segera senantiasa mengembalikannya kepada Allah Swt.
(Materi khutbah Jumat di KBRI Washington, D.C., 04 Agustus 2023)
Komentar
Posting Komentar