Menelusuri Perjalanan Psikologis Seorang "Pria yang Mencuci Piring"

Apa jadinya ketika seorang psikiater, yang notabene tukang ngobatin orang-orang sedih dan kehilangan, malah mengalami kesedihan dan kehilangan? Buku ini menawarkan perspektif menarik tentang proses berduka melalui pengalaman pribadi seorang psikiater, dr. Andreas Kurniawan, Sp.KJ., yang menghadapi kehilangan anaknya. Dengan gaya penulisan yang sederhana dan penuh makna, buku ini mengajak pembaca untuk menyelami dunia psikis seseorang yang berjuang untuk mengatasi kesedihan dan menemukan kembali kekuatan untuk melanjutkan hidup. Buku ini disusun dengan gaya yang mudah dipahami, menggunakan diksi sederhana yang cocok untuk kalangan luas. Meskipun penulis adalah seorang profesional medis yang akrab dengan istilah psikologi dan kedokteran, ia berhasil mengemas konsep-konsep tersebut dalam bahasa yang sangat mudah dipahami, sehingga pembaca dari berbagai latar belakang dapat menikmati dan mengambil manfaat dari pembacaannya. Secara struktur, buku ini terdiri dari 16 judul, yang secara berur...

Mengukur Panas Musim Panas di Amerika


Minggu ini nampaknya menjadi minggu terakhir bagi Washington DC mengalami musim panas. Cuaca panas dan lembab sudah tidak muncul lagi, bahkan minggu ini didominasi mendung dan hujan. Jauh sebelum musim panas tiba, saya selalu menebak-nebak akan sepanas apa musim panas di negeri ini. Akankah sepanas Kairo? Atau seperti Madinah? Atau mungkin sama dengan Jakarta?

Saya ingat di suatu musim panas 2018 lalu, cuaca waktu itu sedang 42-44 derajat celcius di Kairo. Saat itu saya sedang menjalani ujian semester dua dari jam 10 pagi sampai 12 siang, bertepatan dengan bulan ramadan. Tepat jam 2.15 siang, saya punya jadwal kursus bahasa Inggris yang tempatnya butuh waktu 1,5 jam perjalanan dengan kendaraan umum dari kampus Al-Azhar di Darrasah, menuju tempat kursus di Tagammu Khamis. Dengan tenaga tengah hari sisa-sisa ujian Azhar, bersama cuaca yang demikian panasnya, plus sedang puasa, saya berangkat ke tempat kursus dengan pertanyaan yang berulang-ulang, "batalin gak, ya? Kuat gak, ya?" Apalagi kebetulan waktu itu, magrib jatuh di jam 19.30-an. Masih sangat jauh ke waktu berbuka. Waktu itu, Darul Ifta Mesir mengeluarkan fatwa bahwa mahasiswa yang sedang ujian di musim panas dibolehkan membatalkan puasa jika tidak kuat.

Sampai akhirnya nyampe di ruangan kelas yang adem ber-AC, lambat laun kelelahannya berangsung hilang dan beruntungnya batal membatalkan puasa. Sejak momen itu, saya merasa sudah pernah melewati ujian terberat di musim panas, sehingga jika nemu kondisi-kondisi lain yang terjadi di musim panas yang menurut saya berat, saya selalu berpikir, "waktu itu aja kuat, masa sekarang enggak".

Setelah melewati serangkaian hari-hari musim panas di sini, ternyata saya salah besar pernah berekspektasi musim panas sini sama dengan musim panas di Timur Tengah. Rada nyombong sih, tapi da gimana atuh. Amerika memang betul panas, gerah, dan lembab. Tapi jika kamu pernah bertahan dengan panasnya musim panas di Arab, musim panas di Amerika bagian DC tidak ada apa-apanya. Di cuaca paling panas pun, saya masih bisa jalan kaki keluar ruangan, pergi ke kantor pos, jajan di kafe, bahkan saya masih pake jaket parasut pas pakai skuter. Aneh sih, tapi daripada enter wind.

Saya pernah baca satu jurnal yang sayangnya lupa jurnal apa. Di jurnal itu, si penulis membahas salah satu puisi William Shakespeare yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Puisi tersebut berkisah soal sepasang kekasih yang saling mencintai di musim panas, sebab di musim panas lah, orang-orang Inggris punya banyak momentum untuk jalan-jalan di luar rumah, piknik, bermain di taman, dan sebagainya. Tapi dalam puisi terjemahan itu, kata "summer" tidak diterjemahkan menjadi "shoif" dalam versi bahasa Arabnya, tapi malah diartikan "rabii'", yang mana arti literalnya adalah "musim semi". Sebab dalam konteks budaya, orang-orang di Arab akan berpiknik dan merayakan cinta di luar ruangan di musim semi, di saat udara sedang pas-pasnya. Sebab di musim panas, panasnya kebangetan dan jauh dari kata nikmat buat jalan-jalan siang hari.

Puisi Shakespeare itu menjadi masuk akal bagi saya saat ini, tentang mengapa ia memilih kata "summer" sebagai waktu yang menyenangkan untuk orang-orang barat melakukan aktivitas luar ruangan. Dari sisi tingkat kepanasan, cuaca musim panas di sini sebagian besar masih sangat bisa ditoleransi untuk kita beraktivitas di luar ruangan. Sementara musim semi di sini, meskipun sudah tidaksedingin musim dingin, tapi tetep aja masih dingin untuk berkegiatan di luar rumah. Bahkan kolam renang pun belum dibuka ketika statusnya masih berada di musim semi. Dari sisi waktu, durasi siang hari musim panas di sini jauh lebih panjang jika dibandingkan di Arab atau di Indonesia. Di titik puncaknya, matahari terbit sekitar pukul 4 pagi, sementara magrib jatuh di jam 9.30. Kalau kita mau piknik dari jam empat sore pun, waktu pikniknya bisa sangat lama. 

Sebenernya aneh juga ketika bilang "Good Evening" di jam 8 sore, padahal mataharinya belum tenggelam sama sekali. Apalagi bilang "Good Night" pada anak-anak yang jam 9 harus udah tidur, padahal langit belum gelap.

Salah satu hal yang signifikan saya rasakan adalah perbedaan waktu salat. Di Indonesia, waktu salat sepanjang tahun hampir berada di waktu yang sama. Jika pun ada perubahan waktu, paling hanya berubah menitnya saja. Subuh tetap di sekitaran jam lima, magrib tetap di sekitaran jam enam. Tapi ketika musim panas di DC, perubahan waktu salat terasa sangat nyata. Mungkin kalau subuh dan zuhur tidak begitu signifikan, tapi sisanya lumayan berasa aneh. Asar jam 5, tapi magribnya jam 9.30, dan isya hampir setengah sebelas. Jarak dari asar ke magrib panjang banget, malah sering di jam 19 atau jam 20, kita merasa berdosa karena gak kunjung salat, padahal memang belum nemu waktunya.

Pernah ada kelakar ketika akan dilangsungkan suatu acara, saya bertanya kapan mulai dan beresnya acara. Teman saya menjawab, "mulai abis asar, sebelum magrib juga bakal beres." Jika acara itu dilakukan di Indonesia, berarti acara itu berlangsung pendek. Tapi karena acaranya di DC, di saat jarak asar ke magrib begitu panjangnya, jawaban itu bukan hal bertendensi "sebentar doang."

Minggu ini sedang banyak hujannya. Daun-daun di pohon sudah mulai menguning dan cokelat, jalanan di area manapun sudah penuh oleh daun kering berserakan. Apalagi dengan intensitas hujan yang ada, jumlah daun rontok makin banyak dan memenuhi jalanan. Mungkin ini yang disebut musim gugur. Musim yang entah punya kejutan apa yang akan saya hadapi. Di awal musim ini, saya mulai menerka-nerka akan seperti apa musim dingin nanti. Sebab nampaknya, saya lebih siap menghadapi musim panas dibanding harus berhadapan dengan musim dingin. Apalagi dengan udara minus-minus dengan salju bertumpuk. Semoga saja menyenangkan.

Senin, 11 September 2023.

Komentar