Saya sedang membaca sebuah buku perjalanan Hamka, judulnya "4 Bulan di Amerika". Buku ini bagus banget, beneran bagus banget. Meskipun ia punya gaya tutur bahasa zaman dulu, di mana tidak umum ditemui pada bahasa tutur saat ini, namun buku ini punya cerita dan muatan yang luar biasa berisi. Pengalaman Hamka menziarahi Amerika selama empat bulan di tahun 1950-an tercurahkan semuanya dalam buku ini dengan begitu apiknya. Saya berkali-kali kagum betapa hebat, cerdas, dan berwawasannya seorang Hamka saat itu. Wawasan Hamka akan dunia melebihi kita-kita yang hari ini punya banyak sekali kemudahan untuk mengakses dunia.
Buku Empat Bulan itu saya baca bertepatan dengan bulan keempat saya di Amerika. Saya banyak membandingkan diri sendiri, betapa kosongnya saya ini jika dalam empat bulan terakhir di Amerika belum bisa menyimpulkan apa-apa, atau minimal belajar apa-apa soal Amerika. Tak seperti Hamka yang datang ke Amerika bukan dengan kepala kosong. Hamka datang ke Amerika seperti dalam rangka mengkonfirmasi atas apa-apa yang sudah ada di isi kepalanya sejak sebelum ke Amerika.
Yaiyalah siapa saya nyama-nyamain sama Hamka. Wakakakak.
Tapi setidaknya dalam empat bulan ini, saya sering menerka-nerka sebenarnya Amerika dan orang Amerika itu yang mana dan yang seperti apa. Bahkan jika saya ditanya dan disuruh menggambarkan bagaimana orang Amerika, besar kemungkinan saya akan kebingungan. Tidak semudah pertanyaan bagaimana karakteristik orang Sunda, orang Malaysia, atau orang Mesir. Amerika terlalu beragam dan campur aduk. Ada banyak ras multinasional, banyak suku multinasional, banyak wajah-wajah imigran yang ternyata bukan imigran.
Keberagaman ini saya sering sadari ketika berkunjung ke toko-toko, ke museum, ke kantor pemerintah, ada banyak karyawan/staf yang secara tampilan sangat beragam rupanya. Di sebuah swalayan kita bisa dilayani staf berwajah Latino, staf berkulit hitam, staf berkulit putih, atau security-nya berwajah Asia oriental. Kondisi ini sulit untuk disimpulkan, yang dimaksud "orang Amerika" itu yang mana. Terminologi "bule" tidak lagi relevan untuk orang Amerika, karena nyatanya orang Amerika tidak semuanya "bule". Bahkan orang berwajah Indonesia dengan nama yang sangat Indonesia pun tidak menutup kemungkinan mengaku dirinya sebagai orang Amerika, berkewarganegaraan Amerika, lahir dan besar di Amerika sejak puluhan tahun lalu.
Barangkali, Amerika memang sebuah tempat perayaan bagi orang-orang yang meninggalkan kampung halamannya. Imigran legal dan ilegal di negeri ini tidak hanya datang dari negara konflik dan berkembang, tapi juga dari negara-negara aman dan maju. Entah magnet apa yang membuat Amerika begitu menarik pada mulanya, sehingga banyak orang sejak dulu ingin hijrah ke sini dan mempertahankan keturunannya tetap berada di sini sampai sekarang.
Beberapa waktu lalu ada anak-anak sekolah dasar negeri yang berkunjung ke Kedutaan Indonesia untuk melakukan presentasi dan pertunjukan seni. Nama sekolahnya John Eaton Elementary School. Sekolah ini melaksanakan program Pemda Washington D.C. bernama Embassy Adoption Program (EAP), yang mana melalui program itu, Pemda (ceillah Pemda wkwkwk) ingin mengajarkan Global Citizenship ke anak-anak SD supaya mereka tahu soal kebudayaan negara lain. Caranya, Pemda bekerja sama dengan kedutaan-kedutaan asing di Amerika, supaya mereka mengajarkan negara asalnya di sekolah itu selama satu semester. Satu sekolah bisa bermitra dengan satu atau dua kedutaan. Nah, Kedutaan kita di SD itu ngenalin Indonesia secara umum, ngajarin maen angklung, ngajarin lagu daerah, termasuk ngajarin masak dan makan makanan Indonesia.
Mungkin gak, sih, program ini diadakan tidak hanya karena alasan untuk mengenalkan konsep Global Citizenship, tapi juga karena Amerika gak punya budaya yang khusus, yang Amerika banget, yang bisa diajarkan sebagai Mulok di sekolah?
Hal yang membuat saya begitu yakin soal ini adalah saat beberapa hari lalu saya berkunjung ke Williamsburg, sekitar empat jam perjalanan ke selatan dari Washington, D.C., seorang bule pelatih Pencak Silat berkelakar soal batik yang bisa dipakai sebagai satu identitas Indonesia. Katanya, orang Amerika gak ada pakaian khusus yang menunjukkan identitas, palingan topi koboi atau celana jeans. Tapi apakah orang yang pakai topi koboi atau celana jeans akan langsung diasosiasikan orang lain sebagai "pakaian khas Amerika"? Tidak seperti motif batik yang mau siapapun yang pakainya, kita bisa mudah mengasosiasi ciri visual itu sebagai identitas Indonesia.
Tapi mungkin memang inilah Amerika. Yang khas dari negara ini adalah keberagaman dari budaya-budaya yang berbeda-beda itu. Pernah satu waktu ada acara perkenalan dengan para calon diplomat Amerika yang akan ditugaskan di Indonesia. Ketika pertemuan itu terjadi, yang nampak paling kelihatan dari luar adalah keberagaman ras para diplomat tersebut. Ada yang kulit putih, kulit hitam, ada yang bermata sipit, bermata besar, yang mungkin kalau saya nebak tanpa perkenalan, saya akan berasumsi bahwa acara para diplomat itu merupakan acara perkumpulan diplomat dari berbagai negara. Padahal nyatanya, semua diplomat yang beragam ras itu adalah orang Amerika.
Saya ingat pernah ngobrol dengan teman saya, Farid, tentang apakah penting bagi kita untuk memiliki akar kebudayaan? Bagi saya yang lahir dan besar di tanah Sunda, akar saya jelas Sunda. Ke manapun saya pergi, sebanyak apapun budaya lain yang dipelajari, akarnya tetap Sunda. Tapi bagi Farid yang orang tuanya lintas budaya, yang ia sendiri lahir dan besar di pula-pulau yang berbeda-beda budaya, ada semacam percampuran irisan yang tidak bisa diklaim sebagai satu akar tertentu, malah justru mewujud jenis akar baru. Hal ini, barangkali, yang juga terjadi bagi banyak orang di Amerika. Mereka punya irisan kebudayaan asal, namun hidup di pulau baru dengan budaya baru sehingga beradaptasi membentuk akar yang baru. Contohnya adalah anak-anak Indonesia yang lahir di Amerika. Mereka mengaku Indonesia karena diwariskan oleh orang tuanya, tapi banyak dari mereka yang tidak bisa berbahasa Indonesia, tidak akrab dengan budaya yang umumnya dialami anak-anak Indonesia di masa kecil, sehingga Indonesia yang mereka pahami dan alami sebagian besar hanya sebagai wawasan, bukan pengalaman. Untuk mengklaim diri sebagai "berakar Indonesia", akarnya tidak "sempurna". Tapi juga tidak bisa mengklaim "berakar Amerika" karena budaya yang diajarkan orang tuanya di dalam rumah tidak sepenuhnya Amerika.
Anyway, keberagaman di Amerika punya banyak sisi bagusnya menurut saya. Keberagaman ini membuat kota besar seperti Washington D.C. punya banyak restoran dan cafe yang menjual makanan dari berbagai negara. Dari makanan populer seperti KFC yang katanya berasal dari Amerika, makanan Jepang, Cina, Arab, sampai makanan dari negara yang baru kita dengar namanya pun kemungkinan besar ada. Ketersediaan ini membuat kita bisa "keliling dunia" di satu negara, baik untuk wisata mengenal makanannya, atau karakter orangnya.
Kiranya itu catatan saya di bulan keempat ini. Saya masih akan membaca lagi bukunya Buya Hamka, dan masih akan terkagum-kagum betapa hebatnya pembacaan beliau terhadap Amerika yang isinya beragam ini. (Jika tertarik lebih lanjut, bukunya bisa dibaca gatis di aplikasi Perpustakaan Nasional [iPusnas]).
Jadi, orang Amerika itu yang mana dan seperti apa?
Senin, 24 Juli 2023.
_________
Header picture was taken from here.
Komentar
Posting Komentar