[SPOILER ALERT]
Sambil ngabuburit nunggu buka puasa, gak ada salahnya nonton film masak-masak bergaya fine dining ala Thailand. Salah satu film terbaru Netflix berjudul "Hunger" bisa jadi hiburan ngabuburit sambil mencari inspirasi bagaimana cara menyajikan makanan untuk berbuka puasa.
Pasalnya, film ini punya daya tarik dalam sajian-sajian makanan yang dimasak dan disajikan para tokohnya. Dari sisi visual, film ini sangat memanjakan mata. Ada sentuhan seni dan dedikasi pada dunia kuliner dalam setiap detail pengambilan gambarnya. Dari mulai shot cara memotong sayuran, kobaran api, penataan saus di piring, semuanya disajikan dalam bingkai yang dramatis. Bahkan dalam banyak adegan, saya seperti sedang menonton acara kuliner, di mana setiap sajiannya begitu menggoda dan ciamik.
Film "Hunger" dibintangi oleh Chutimon Chuengcharoe yang sebelumnya dikenal lewat perannya di Bad Genius (2017). Di film ini ia berperan sebagai Aoy, perempuan sederhana yang nampak tidak istimewa. Aoy sang tokoh utama merupakan seorang pemudi tulang punggung keluarga yang meneruskan bisnis keluarga sebagai juru masak warung "kwetiaw" pad see ew di Bangkok.
Di awal film, penonton disuguhi gambaran kehidupan sehari-hari Aoy sebagai penjual pad see ew. Dengan skill memasakanya yang lihai, ia mampu menarik banyak pengunjung setiap harinya. Cara ia memasak, bahan yang digunakan, alat yang dipakai, semuanya digambarkan ala-ala street food atau warung makan murah meriah pada umumnya, terkesan sederhana, dan tidak istimewa. Sampai suatu hari, seorang pelanggan bernama Tone (diperankan oleh Gunn Svasti) yang kemudian kelak akan menjadi kisah asmaranya, menawarkan sebuah undangan untuk bergabung ke dapur fine dining milik Chef Paul (diperankan oleh Nopachai Chaiyanam).
Aoy pun mencari informasi tentang Chef Paul di internet. Ia pun menemukan banyak profil dan ulasan tentang Chef Paul sebagai chef yang digemari banyak kalangan atas. Didorong oleh faktor ekonomi yang sedang terjadi di keluarganya, serta iming-iming motivasi untuk menjalani hidup lebih baik di restoran bagus, Aoy pun memberanikan diri untuk datang ke dapurnya Chef Paul.
Di sana terjadilah audisi dengan seorang kandidat lain. Chef Paul secara sederhana meminta mereka berdua untuk membuat nasi goreng. Aoy pun menang di momen ini berkat sajian nasi goreng telur yang dibuat dari bahan dasar nasi sisa. Padahal dari segi sajian, nasi gorengnya tidak menarik lantaran ia tidak mengenal baik konsep platting, sebagaimana yang dilakukan lawannya. Terlebih lawannya punya profil sebagai alumni sekolah kuliner ternama.
Dengan semangat "ingin menjadi istimewa", Aoy pun mulai menjadi bagian dari dapur Chef Paul yang dari awal sampai akhir penuh dengan nuansa ketegangan. Chef Paul punya karakter yang judes, intimidatif, tidak ramah, dan sangat dingin. Ia jarang sekali tersenyum atau memuji hasil kerja anak buahnya. Sosok ini memperkuat stigma bahwa dapur fine dining punya proses berdarah-darah yang barangkali tidak cocok bagi semua orang. Apalagi jika sebelumnya kita sering melihat sosok Gordon Ramsay dan Chef Juna di acara "Kitchen's Hell" dan "Masterchef", kehadiran Chef Paul tentu saja memperkuat stigma eksistensi chef yang demikian galak.
Sitisiri Mongkolsiri sebagai sutradara cukup ambisius dalam merekam keserakahan manusia di balik setiap dialog dan adegan para aktornya. Film ini tidak hanya menggambarkan besarnya tekanan kehidupan di dapur, tapi juga soal keserakahan para pelanggan Chef Paul. Ada banyak orang kaya yang mengundang Chef Paul untuk masak bukan semata-mata karena makanannya enak, tapi karena reputasi Chef Paul bisa menjadi standar status sosial para penikmat masakannya.
Dalam salah satu bagian, digambarkan sebuah keluarga kecil kaya yang bangkrut terlilit utang. Mereka pindah ke luar kota dan mengundang Chef Paul untuk menyajikan masakan terbaiknya sebagai makan malam terakhir, sebelum akhirnya keluarga itu bunuh diri bersama.
Chef Paul dan Aoy punya cara pandang yang berbeda soal makanan. Aoy percaya bahwa makanan yang enak adalah yang dimasak dengan spirit cinta. Sementara bagi Chef Paul, reputasinya sebagai chef terkenal jauh lebih penting dibanding makanan buatannya. Sebab jika sudah punya nama, makanan apapun akan tersugesti sebagai makanan luar biasa di mata pelanggannya.
Saya kira alur ceritanya akan mirip dengan film The Menu (2022), di mana akan terjadi banyak pembunuhan dan adegan brutal. Ternyata prediksi saya salah. Film "Hunger” merupakan film bergenre drama di dunia kuliner, yang meski ada label thriller-nya, tapi menurut saya hanya sekadar bumbu semata. Tidak ada adegan yang membuat saya cukup bergetar ngilu sebagai film berlabel thriller, justru lebih banyak visual yang membuat saya lapar dan ingin makan enak.
Sayangnya, film ini punya ending yang kurang berkesan sebagai hidangan penutup. Meski dari awal tidak ada peluang bagi penonton untuk menebak tujuan besar tokoh Aoy, namun tokoh utama ini tidak digambarkan punya akhir yang tegas. Sehingga penonton dibuat "kagok" karena ada banyak cerita yang tidak tuntas. Misalnya soal kekuatan cinta dalam prinsip masakan Aoy ternyata hanya pemanis saja, tidak sampai terterjemahkan menjadi plot tertentu. Atau keakraban Aoy dan Chef Paul saat sang koki sedang sakit di rumah sakit sendirian, itu pun tidak membuahkan keakraban lain yang lebih langgeng, atau minimal membuat Chef Paul berubah karakter. Bahkan kisah asmara Aoy dengan Tone pun tidak berlanjut dengan manis. Hal-hal ini yang membuat film ini terasa kurang berani dan tidak membuat penonton ingin menontonnya lagi berulang kali.
Secara pribadi, saya mengutip satu pesan menarik dari film ini. Sebagaimana judulnya "Hunger", film ini menggambarkan bahwa ambisi yang besar harus dikejar sebagaimana orang lapar butuh makanan. Jika usaha yang dilakukan biasa-biasa saja, itu artinya tidak cukup 'lapar' dalam mengejar usaha tersebut.
Setelah membaca review ini, apakah kamu tertarik untuk menonton film "Hunger"? Jika sudah, bagikan pendapatmu juga ya :)
Komentar
Posting Komentar