Saya tidak benci India, tapi tidak juga jatuh hati pada India. Sikap, perasaan, dan pikiran saya soal India adalah biasa saja. Kalau ada kesempatan pergi ke sana, saya akan bilang "ayo!". Kalaupun kesempatannya gak ada, saya juga gak akan ngebet mencari berbagai cara. Kondisi ini yang saya alami dalam setahun terakhir soal India. Pas tau saya dapet beasiswa S2 ke India, ya saya senang dan bilang "ayo!". Tapi pas tau ternyata cuma prank, ya udah. Biarin aja. Kok bisa?
Jadi ceritanya gini.
Di awal-awal baru pulang dari Cairo, 2021 lalu, saya banyak mencari informasi soal lowongan kerja dan beasiswa S2. Doanya memang gak condong ke dapet kerjaan atau dapet beasiswa, pokoknya yang mana yang nyantol duluan, berarti itu yang terbaik. Entah berapa beasiswa dan lowongan kerja yang waktu itu saya lamar, pokoknya tak terhitung. Lalu di tengah pencarian Google, nemu lah satu info tentang beasiswa S2 di India, namanya beasiswa ICCR (Indian Council for Cultural Relations). ICCR itu sebenarnya nama lembaga yang fokus kerjanya di bidang kebudayaan dan pendidikan. Pemerintah India melalui ICCR ini menyalurkan beasiswa untuk pelajar dari seluruh dunia yang berminat studi di India dari jenjang S1, S2, dan S3.
Pas saya baca-baca, ternyata persyaratannya mudah dan saya sudah punya semua, kecuali Surat Keterangan Sehat dari dokter. Saya pikir, persyaratannya udah ada dan jurusan kuliahnya juga ada, daftar ah. Besoknya saya pergi ke Puskesmas minta Surat Sehat dengan format yang disediakan. Ini pun bukan semata-mata niat banget ke Puskesmas bikin surat, tapi sekalian lewat aja karena mau ke pasar yang kebetulan dekat dengan Puskesmas.
Yang nampak usaha rada serius di beasiswa ini adalah bikin esai. Tapi topik yang diminta untuk esai beasiswa ini cukup sederhana, jadi sangat mungkin untuk diulik sehari beres. Semua persyaratan udah ngumpul, upload, submit, lalu lupakan. Sikap yang sama saya lakukan tiap kali lempar jaring untuk lowongan kerja atau beasiswa. Jadi kalau kemudian ada pertanyaan kenapa pengen ke India, jawabannya bukan karena Saya ngebet jatuh cinta sama India, tapi lebih karena saya ngelempar jaring ke sana-sini, tapi kebetulan yang nyangkut malah India. Kalau nyangkutnya ke beasiswa Australia, Turki, atau US, ya saya juga akan milihnya yang itu-itu.
Lalu sekitar dua bulan kemudian, hari Jumat yang cerah dan saya sedang motong rumput di halaman rumah, saya mendapat telepon dari nomor kantor. Aneh kan dapet telepon tapi nomornya kantor. Saya angkat, ada suara laki-laki di seberang sana yang mengaku dari Kedutaan Besar India di Jakarta. Namanya Kholil Azis. Pak Kholil ini, atau Pak Azis ini, atau Pak apalah, bilang selamat karena saya lolos dapat beasiswa S2 di India. Dari lima kampus yang saya ajukan (saya lupa kampus mana aja), saya keterima di University of Lucknow jurusan Arab Culture. Ya saya seneng. Kebetulan pas saya nerima telepon, ada kakak saya lewat. Ia pun turut mendengarkan percakapan saya di telepon dengan Pak Kholil itu. Lalu kakak saya menarik tangan saya masuk rumah dan bilang ke bapak yang saat itu terbaring di kasur bahwa saya dapat telepon lolos beasiswa. Bapak juga nampak senang waktu itu.
Di percakapan itu, Pak Kholil bertanya apakah beasiswanya akan diambil atau tidak. Saya dengan mantap bilang iya, karena saya pikir, ada kesempatan kuliah gratisan dan dapet duit pula tiap bulan nantinya, meskipun di India, masa iya ditolak. Lalu Pak Kholil bilang bahwa saya harus menunggu sampai LoA turun, dan perkuliahan akan dimulai bulan September secara daring. "Kamu gak langsung berangkat ke India karena masih Covid, bandara juga masih tutup. Kemungkinan berangkatnya nanti Desember." Kira-kira begitu penjelasan singkatnya.
Lalu setelah hari Jumat yang cerah itu, hari-hari saya jadi sering ngebayangin gimana caranya bertahan hidup di India. Akankah menyenangkan? Akankah penuh petualangan? Apakah orang-orangnya nyebelin atau ngangenin? Saya nonton vlog, baca blog, pokoknya berbagai ihwal soal India dan Lucknow saya coba khatamkan tiap hari. Bahkan saya menghubungi beberapa teman India sewaktu di Cairo yang lama tak bertukar kabar, hanya untuk basa-basi dan nanya-nanya soal India. Saya jadi kontakan lagi sama Lucky, Pravin, dan Liyaqath yang sekarang sudah menetap di kampung halamannya. Bahkan konyolnya, saya dan Pravin udah janjian kalau nanti jadi ke India, kita akan jalan-jalan ke Pune, ke Mumbai, sama ke daerah utara India. Kebayang gak sih, halunya saya sudah sejauh itu.
Hari-hari berlalu tapi tak kunjung ada kabar. Saya telepon nomor Kedutaan India tapi gak ada jawaban. Saya kontak lewat email, DM Instagram, Twitter, Facebook, gak ada respon satu pun. Saya hanya dapat satu email dari ICCR Jakarta yang berisi info supaya saya bersabar lebih lama, karena Provisional Admission akan butuh waktu lebih lama. Tapi lamanya itu sampai kapan?
Sampai suatu hari di bulan November, saya nemu satu foto di explore Instagram, ada seorang perempuan sedang berfoto di bandara Soetta. Gak tau kenapa, pengen aja klik foto itu dan baca captionnya.Ternyata foto itu milik seorang ibu yang mau berangkat ke India untuk lanjut S3. Foto itu lagi melow-melowan gitu lah sama suami dan keluarganya. Lalu stalking lah akun ibu itu secara kaffah, sampai saya tahu ia S1 di mana, S2 di mana, kerja di mana. Dan satu hal yang bikin saya tertarik, ternyata ibu ini dapat beasiswa S3 dari ICCR. Namanya Mbak Nabila.
Saya ikuti akunnya lalu saya kirim pesan DM. Basa-basi, lalu saya tanya kira-kira mbak tau gak yang S2 ICCR berangkatnya kapan. Respon pertama atas pertanyaan saya adalah, "Loh, Mas gak masuk grup?", "Grup apa?", "Awardee ICCR. Kalo gak salah anak S2 berangkatnya dua minggu lagi, kan?". Hah? Dua minggu lagi? Kok saya gak tau? Lalu ia nyuruh saya ngontak seorang anak Unpad yang katanya dapet S2 ke Lucknow (juga) untuk nanya lebih lanjut soal keberangkatan dan ini itu yang gak saya tahu.
Saya pun berhasil berkomunikasi dengan anak Unpad tersebut, namanya Nadia. Percakapan itu terjadi tanggal 4 November 2021. Saya tanya soal proses ICCR, apa iya berangkatnya dua minggu lagi? Apa iya ada grup Whatsapp? Dari percakapan dengan Nadia inilah saya baru tahu bahwa penerima beasiswa ICCR tahun ini dari Indonesia ada enam orang. Satu orang S1, satu orang S3, empat orang S2. Dari empat orang yang S2, satu orang ambil jurusan Hukum, satu orang Psikologi, dan dua orang jurusan Bahasa Inggris. Tapi kok gak ada nama saya?
Lalu saya diarahkan untuk menghubungi Ade, awardee lain yang nampaknya jadi satu-satunya laki-laki di antara enam orang awardee ICCR saat itu. Setelah ngobrol sana-sini, telepon beberapa kali, saya dapati bahwa Pak Kholil atau Pak Azis atau Pak siapalah itu berkomunikasi dengan Ade, tapi tidak dengan saya secara langsung. Padahal saya kirim WA tapi dibaca doang, saya kirim SMS, juga begitu. Saya telepon, gak diangkat. Menghindar banget lah nampaknya. Ade bilang bahwa nama saya memang sempat ada, lalu dicoret dan diganti nama baru. Saya tanya kenapa nama saya yang dicoret? Kata Ade, karena saya bukan jurusan prioritas. Lalu saya tanya lagi, memangnya jurusan yang prioritas itu apa? Gak ada jawaban. Dari opsi jurusan Arab Culture, Hukum, Psikologi, dan Bahasa Inggris, list prioritasnya bagaimana? Karena sepaham saya, beasiswa ini ada berbagai skema. Ada beasiswa yang khusus untuk bidang studi ke-India-an (yoga, pengobatan tradisional India, tari, musik, dll.), ada skema General Scholarship. Jika yang dimaksud prioritas itu adalah hal ihwal studi yang khas tentang India, skemanya bukan di bawah General Scholarship, karena yang General ini secara khusus memayungi jurusan-jursan apapun yang ada di kampus negeri di India. Saya menyimpulkan Ade gak punya jawaban yang pasti waktu itu. Tapi saya gak bisa nyalahin atau marahin Ade, toh ia hanya meneruskan pesan dari Pak Kholil. Harusnya yang menjelaskan ini ke saya adalah Pak Kholil atau pejabat terkait, karena sejujurnya saya membuat kesimpulan sendiri dari percakapan saya dengan Ade, sehingga kebenarannya pun bisa jadi keliru. Lagian kalo mau putus tuh harusnya bilang, Pak, bukan ngilang. Ah elah.
Balik lagi ke pencoretan nama saya. Nama baru yang mengganti nama saya, usut punya usut, ternyata bukan untuk S2, tapi S3. Katanya biar yang S3 gak sendirian, alokasi yang S2 dikurangi satu. Tapi di bulan September, selang beberapa waktu setelah nama saya dicoret dan diganti nama baru, si nama baru itu mengundurkan diri. Ini konyol banget. Karena mengundurkan diri, katanya nama saya mau ditarik lagi ke formasi semula tapi pihak kampus di India sana sudah tidak mau ngotak-ngatik lagi karena gak mau ribet akibat insiden nama dadakan yang muncul, dan dadakan pula ngundurin diri.
Saya ingin konfirmasi cerita ini ke Pak Kholil, tapi seperti sebelumnya, beliau sulit sekali dihubungi. Ia hanya sekali menjawab pesan WA saya dengan kalimat, "berkasnya tidak dilanjutkan." Pas tanya kenapa gak dilanjutkan, sampai sekarang pun gak ada jawabannya.
Saya kesel sih dengan pengalaman ini. Kalo emang gak mau ngelolosin mah, dari awal aja bilang gak lolos, jangan dimainin dulu dengan harapan dan ekspektasi. Pak Kholil ini adalah tipe cowok yang memperkuat stigma bahwa cowok suka PHP dan ngasih janji manis di awal tapi gak setia sampai akhir. Hih.
Hari-hari berlalu, saya mulai melihat story-story Nadia, Mbak Nabila, Ade, dan beberapa lainnya sudah berada di India. Di asrama kampus, di depan gedung kampus, di kafe, di kegiatan-kegiatan mahasiswa, dan lain-lain. Saya yang sampai sekarang masih terjebak jadi warga Ciseureuh tentu merasa bodoh sekali melihat story-story itu berlalu lalang. Ya Tuhan, gogog sekali hidup ini.
Lalu di awal 2022, saya iseng punya pikiran untuk mengirimkan berkas yang sama untuk pendaftaran ICCR yang baru dibuka lagi. Saya kirimkan semua berkas persis yang saya kirim sebelumnya, hanya ada beda di jurusan dan kampus tujuan. And magicly, di bulan Juli lalu saya dapat email notifikasi bahwa saya diterima di Mumbai University jurusan MA in Arabic, lalu di bulan Agustus ada email lain bahwa saya juga diterima di Tata Institute of Social Sciences jurusan MA in Media dan Cultural Studies. Dua kampus itu sudah menerima saya tapi statusnya masih menunggu approval beasiswa dari ICCR. Saya pun disuruh menghubungi ICCR Jakarta untuk memastikan kuotanya ada atau enggak. Saya pun menghubungi ICCR via email, tapi jawabannya nihil. Mungkin sengaja gak dijawab, karena admin emailnya mungkin si Pak Kholil lagi. hahaha.
Kayanya tahun depan saya bakal ngirim berkas lagi cuma biar dia ngeliat nama saya muncul lagi. Keun, bakal kumaha tah.
Beberapa minggu lalu, saya chatting dengan Liyaqath, teman India yang dulu pernah ngajakin saya Yoga. Liyaqath tinggal di Kerala (daerah selatan India) dan pernah ngajarin saya membuat Dosa (nama makanan khas, bukan dosa maksiat). Ia bilang, "Jadi kapan ke India teh? Kita bikin Dosa lagi bareng!" katanya. Ada ya temen yang ngajakin bikin dosa bareng wkwkwk...
Saya cuma bilang wallahu a'lam, kapan saya bakal ke India untuk bisa bikin Dosa. Saya cuma bisa ketawa satir sambil mengingat-ngingat nama Pak Kholil di kepala.
Saya jadi inget cerita Pak Usman Syihab, dulu beliau menjabat sebagai Atase Pendidikan dan Kebudayaan di KBRI Cairo. Dia pernah dapet beasiswa S1 Al-Azhar Mesir tapi namanya hilang dicoret, karena "dijual" oknum buat nama lain. Lalu inget juga cerita Lukman, teman serumah saya waktu di Cairo, yang namanya juga dicoret dari daftar penerima beasiswa Kemenag untuk kuliah di Al-Azhar. Saya gak ngira aja bahwa dulu saya ngewawancara mereka berdua soal pengalaman mereka tercoret dari beasiswa, eh ternyata saya malah ngalamin sendiri.
Sebagai manusia yang fisiknya nampak tegar tapi dalamnya ambyar, tentu saya kecewa dengan drama-drama ini. Tapi ya mau gimana lagi, hidup berjalan kadang penuh teka-teki, kadang penuh kejutan. Toh, jadi drama ini juga saya belajar banyak hal, dan dapet teman baru seperti Mbak Nabila, Nadia, dan Ade. Jika tidak ada drama ini, mungkin saya gak akan bisa berkenalan dengan mereka bertiga, gak akan juga belajar hal-hal lain yang saya pelajari dari hal ini. Persepsi saya soal India tetap sama saja seperti semula. Saya tetap ingin mengunjunginya, entah untuk studi atau cuma jalan-jalan. Entah lewat bantuan Pak Kholil, atau pun bukan. Hahaha....
Sabtu, 19 November 2022.
Ikut emosi ygy
BalasHapus