Tahun lalu di awal bulan Rajab, kakak ipar saya meninggal dunia. Tahun ini di akhir bulan Rajab, bapak saya meninggal dunia. Bapak meninggal tanggal 2 Maret, tujuh hari sebelum ia berulang tahun. Di minggu terakhir sebelum bapak meninggal, ia bercerita satu hal yang barangkali telah ia kubur sepanjang hidupnya. Tak ada satupun yang tahu bahwa bapak pernah meninggalkan seorang perempuan sebelum menikah dengan ibu. Entah apa makna meninggalkan yang bapak maksud. Yang pasti, minggu itu adalah hari-hari di mana ia ingin sekali bertemu dengan banyak orang dan ingin meminta maaf.
Perempuan itu berinisial N dan pada waktu itu bekerja sebagai pramugari. Kami, anak-anaknya, disuruh mencarinya untuk menyampaikan maaf, namun bagaimana cara mencarinya? Seorang perempuan yang hidup di tahun 50-an yang entah sekarang ada di mana, entah masih hidup atau tidak.
Kisah bapak dan pramugari hanyalah satu dari sekian banyak misteri yang tidak saya tahu. Saya nyaris melihat bapak sebagai legenda hidup yang tertuturkan dari lisan orang lain. Dulu bapak begini, dulu bapak begitu, tanpa pernah mendengar langsung bagaimana bapak menuturkan sendiri kisah hidupnya secara utuh. Saya mengenal masa lalu bapak nyaris selalu dari penuturan orang lain. Sebagian dari ibu, sebagian dari kakak, sebagian lainnya dari teman-teman bapak. Saya lahir hanya dua tahun sebelum bapak pensiun dan kehabisan usia produktifnya. Di sepanjang hidup saya sebagai anaknya, saya lebih sering mendengar bapak sebagai bagian dari masa lalu. Semuanya fi'il madhi, bukan mudhore.
Satu hal yang saya sesali bahwa kami tidak punya banyak waktu bersama untuk berbincang dan bertukar kabar. Kami punya sedikit sekali ingatan untuk dipinjam. Satu-satunya memori yang saya punya dengan bapak sewaktu kecil hanyalah suatu sore setelah salat asar, ia membantu saya belajar naik sepeda dengan dua roda bantu. Sore itu adalah kali pertama roda bantu itu dilepas salah satu, dan saya nampaknya senang sekali. Selebihnya, saya dan bapak punya banyak bahasa diam yang entah bagaimana cara menerjemahkannya.
Bapak orangnya senang bicara dan beretorika, tapi bakat itu tidak muncul dalam hubungan saya dan dia sebagai anak dan bapak. Bapak tidak pandai mengawali pembicaraan ketika kami duduk berdua, begitupun saya tidak tahu bagaimana cara memulai pembicaraan jika kebetulan duduk berdua. Ada jarak yang cukup besar yang menganga di antara kami berdua. Jarak usia, jarak emosi, jarak kehidupan yang butuh jembatan teramat panjang untuk menyambungkan dua sisi ini. Pada akhirnya, hubungan kami sangatlah formal, kaku, dan seperlunya. Saya tidak tahu bagaimana bapak ketika pertama kali jatuh cinta, sebagaimana bapak tidak tahu bagaimana anak laki-lakinya pertama kali jatuh cinta. Bapak tidak kenal satu pun siapa teman sekolah saya, sebagaimana saya tidak kenal satu pun siapa teman sekolahnya. Bapak tidak tahu bagaimana saya belajar menggambar, sebagaimana saya tidak tahu bagaimana ia dulu belajar bermusik. Bapak tidak tahu saya pernah kena begal di Kairo, sebagaimana saya tidak tahu bahwa ternyata bapak juga pernah dibegal di Bandung. Bapak tidak tahu bahwa saya pernah tampil di banyak panggung yang tidak sekalipun pernah bapak hadiri, sebagaimana banyaknya bapak tampil di panggung-panggung masa lalu yang tidak pernah terceritakan.
Saya kira, kemampuan saya menulis dan berkesenian adalah darah yang terwariskan dari bapak. Sehari setelah bapak meninggal, saya dan kakak saya membereskan rak tempat bapak menyimpan barang-barangnya. Di sana ada banyak kertas dan buku catatan tulisan tangan bapak. Ada catatan barang yang harus dibeli ke warung, ada nama-nama sesepuh pemilik Bungbulang (salah satu nama kebun milik bapak) dari masa ke masa, ada coretan larik nadzoman berbahasa Sunda, ada larik syair, dan hal ihwal lainnya. Tulisan-tulisan itu seperti kepingan memori yang berloncatan dari satu alamat ke alamat lainnya. Tidak ada titimangsa yang runut, tidak ada plot. Tulisan-tulisan itu sedikit banyak cukup menggambarkan bahwa bapak senang menuliskan apa saja. Seandainya ia tahu sosial media, mungkin ia akan menulis banyak hal di sana.
Pernah satu waktu di tahun 2015, bapak mengirim surat tulisan tangan untuk saya yang waktu itu sedang tinggal di Mesir. Surat itu berbahasa Sunda ditulis dengan huruf Arab Pegon. Di zaman sudah ada teknologi komunikasi, bapak masih memilih cara tradisional yang cukup romantis. Dan memang benar, cara lama ini punya muatan kenangan yang jauh lebih berkesan dibanding pertanyaan apa kabar yang ditulis di whatsapp atau video skype. Sampai sekarang masih saya simpan surat itu dengan baik, dan menjadi satu-satunya surat yang pernah bapak tulis untuk saya. Isi surat itu sederhana saja, hanya menanyakan kabar dan pesan-pesan ala orang tua untuk anaknya. Jangan lupa salat, belajar yang rajin, dan salah satu pesannya yang juga saya ingat adalah, “tong susah hatè!”, alias jangan bersusah hati.
Sayangnya, bakat menulis bapak tidak terdokumentasikan dengan baik. Tidak ada rekam jejak yang bisa dikenang oleh anak cucunya, selain kenangan personal yang berceceran. Tidak ada tulisan dalam koran, tidak ada buku yang diterbitkan, tidak ada blog, tidak ada apapun selain catatan berceceran di rak tempat ia terakhir kali menyimpan barang-barangnya.
Selain menulis, bapak pandai bermain alat musik. Samar-samar saya masih ingat sewaktu kecil, bapak pernah memainkan beberapa alat musik seperti biola, harmonika, kecapi, suling, gendang, dan gambus. Lagu “sepasang mata bola” adalah satu-satunya lagu yang saya ingat untuk mengenang masa-masa itu. Kemampuan itu yang menjadi alasan bapak pernah melatih grup gambus, qasidahan, bahkan menjadi penggerak pemberdayaan anak-anak muda di sekitarnya. Dibanding menulis, kehidupan bapak lebih akrab dengan musik. Hidupnya malang melintang melatih anak-anak muda bermain musik, berhijrah dari satu panggung ke panggung lain, dari satu latihan ke latihan lain. Sayangnya bakat satu ini tidak turun ke saya sedikitpun. Tak ada satu pun alat musik yang bisa saya mainkan.
Suatu hari di tahun 2007 atau 2008 (tepatnya saya lupa), saya naik angkot dari Purwakarta menuju rumah. Di tengah jalan, seorang bapak tua yang duduk di depan saya bertanya soal saya mau turun di mana dan tinggal di mana.Setelah saya jawab pertanyaannya, Ia meneruskan, “Rumahnya dekat dengan rumah Pak Abidin?” Tanyanya. Saya bilang gak hanya dekat, tapi kami tinggal serumah karena saya anaknya. Lalu bapak tua ini bertanya lagi soal detail-detail lain untuk meyakinkan bahwa Abidin yang ia maksud adalah Abidin yang sama dengan yang saya maksud. Setelah sama-sama yakin, bapak ini bercerita soal masa mudanya dilatih main alat musik oleh bapak saya. Ia cerita pengalaman manggung bareng, latihan sampai subuh, dan lain-lain. Buat saya, ini kisah langka. Saya seperti sedang menyimak kisah hebat orang lain padahal orang hebat itu adalah bapak saya sendiri. Tapi kenapa saya mesti mendengarnya dari orang lain?
Cerita lainnya adalah kisah bapak yang setiap hari berangkat sekolah waktu SMP dengan kuda. Saya membayangkan betapa serunya jika saya mengalami hal itu. Bapak punya beberapa jenis kuda yang ia rawat bersama ayahnya dan kakeknya. Memang beberapa kali bapak pernah cerita soal ini, tapi tak pernah lengkap. Ia hanya bertutur kalau jam sekolah masuk, ia akan parkir kudanya di bawah pohon beringin di pojok Alun-Alun Wanayasa. Tiap bulan ia harus bayar pajak karena kudanya suka berak di lapangan, dan ia biasa memandikan kudanya di sebuah kolam mata air yang ada di Cihanjawar, sebuah desa di kaki gunung Burangrang. Salah satu modus bapak waktu mendekati ibu adalah sewaktu melintasi jalan desa dengan kudanya, seketika hujan turun. Bapak sengaja berteduh di rumah orang tua Ibu supaya sambil berteduh, ia bisa ngintip-ngintip ke dalam rumah siapa tahu Ibu mau keluar rumah dan menyapanya. Siapa yang tidak terpesona dengan laki-laki berkuda numpang berteduh di teras rumahnya? Barangkali itulah kisah awal mula bagaimana Ibu kenal Bapak dan pada akhirnya mereka menikah.
Kata bapak, kuda itu ada banyak jenisnya. Ada kuda tunggang, ada kuda barang, ada kuda delman, ada kuda lainnya yang tak saya hafal. Kuda yang bagus selalu punya kepala yang tegak berdiri. Jika menunggangi kuda yang terlalu sering menunduk, bisa dipastikan kuda itu lemah stamina, tidak akan bisa dibawa ngebut di jalanan. Kuda yang belum dilatih punya harga yang murah, sementara kuda terlatih pasti mahal harganya. Cukup jual satu kuda, sepasang suami istri bisa pergi naik haji. Begitu katanya. Bapak juga pernah bilang bahwa rambut kuda harus rutin dibersihkan dan disisir, agar tidak bau dan lengket. Beberapa helai rambut kuda yang bagus bisa dijadikan senar gesek di gagang biola. Katanya, gesekan biola dari rambut kuda mampu menghasilkan kualitas suara yang bagus.
Bukankan kisah-kisah ini terdengar menyenangkan untuk disimak? Saya pun senang menyimaknya, sekaligus penasaran ada kisah apa lagi yang bisa digali soal bapak di masa lalu. Apalagi di beberapa bagian, hidup bapak punya beberapa babak yang cukup klimaks dan menegangkan. Bapak pernah diusir dari kampung oleh enam orang yang mengatasnamakan tokoh desa. Bapak pernah difitnah sebagai Ketua DKM masjid yang korup, dan Kepala Sekolah yang tidak pernah mengurus sekolah. Premisnya sederhana, bahwa madrasah negeri yang sekarat di kampung saya, bapak bangun dengan uangnya sendiri. Tapi tokoh-tokoh yang kekurangan informasi itu mengira bahwa pembangunan itu bersumber dari uang negara. Dikiranya uang sekolah negeri di tahun 90-an sangat berlimpah sehingga jabatan Kepsek jadi incaran. Alhasil setelah bapak memutuskan pergi meninggalkan kampung itu, sekolah itu kembali sekarat. Aset materi rusak, muridnya juga bangkrut. Dan bagian tragisnya, 5 dari 6 orang itu mati duluan dengan cara yang aneh. Sisa satu orang yang sekarang otaknya rada-rada. Waras enggak, gila juga bukan.
Seandainya bapak cerita langsung soal kenangan menyakitkan itu, mungkin bapak juga akan mendengar bahwa waktu anaknya di Mesir, hidupnya pernah tidak baik-baik saja. Bapak pernah diusir orang kampung, saya pernah dihujat satu angkatan. Bapak pernah diusir gara-gara kebijakan, saya pernah diancam gara-gara satu tulisan. Jika jiwa perlawanan ini sama-sama kita miliki, saya menyesal kita tak pernah saling berbagi.
Saya kadang cemburu pada kakak saya yang punya kenangan bersama bapak yang bisa diceritakan. Misalnya ketika kakak saya masih SMA, teman-teman sekolahnya akan ramai berbincang jika ada bapak datang setiap bulan ke sekolah untuk bayar SPP. Katanya, paras bapak muda mirip Roy Martin. Bagi generasi tahun 70 atau 80-an, mungkin Roy Martin adalah ikon idola para remaja. Saya gak tahu.
Pada akhirnya, saya melihat bapak sebagai laki-laki hebat yang baik dan dermawan. Ia senang berbagi kepada siapapun. Tukang ojeg di dekat rumah pun selalu senang jika dipanggil bapak untuk beli rokok ke warung, atau beli obat ke apotek. Karena selain dapat ongkos ojek, ia akan dapat kalimat, "sok nyokot naon weh di warung mah bisi aya pangabutuh," dan di akhir akan ada kalimat, "kembaliannya ambil aja."
Bapak bukan seorang ayah yang sempurna, sebagaimana saya bukan anak yang sempurna. Dalam beberapa hal, saya pernah tidak suka dengan bapak, dan mungkin bapak pun demikian ketika saya terlalu keras kepala untuk beberapa hal. Sering kali saya bertanya pada diri sendiri, apakah saya telah tumbuh sebagaimana yang dulu bapak rencanakan? Apakah sesuai ekspektasinya, atau justru di luar ekspektasinya?
Sejak bapak meninggal, ada banyak orang yang datang ke rumah dan berbagi testimoni. Semua orang menceritakan kebaikan bapak, kedermawanan bapak, kebaikan-kebaikan yang tidak banyak dilakukan orang lain. Saya belajar banyak hal dari panjangnya usia bapak, dari panjangnya perjalanan hidup bapak yang penuh misteri itu. Saya gak tahu apakah orang mati masih bisa membaca tulisan blog atau tidak. Tapi bagaimanapun, saya ingin berterima kasih kepada bapak karena sudah hadir sebagai orang baik, semoga Allah tempatkan di tempat terbaik.
15 Maret 2022
Beruntung punya Bapak yang bisa diceritakan 🥺
BalasHapusAamiin...
BalasHapusBapaknya keren juga
BalasHapusاللهم اغفرله وارحمه و عافه واعف عنه. آمين
BalasHapusObituari yg manis. Semoga bapak bisa membaca tulisan ini di atas sana. Allahummaghfirlahu warhamhu...
BalasHapus