Menelusuri Perjalanan Psikologis Seorang "Pria yang Mencuci Piring"

Apa jadinya ketika seorang psikiater, yang notabene tukang ngobatin orang-orang sedih dan kehilangan, malah mengalami kesedihan dan kehilangan? Buku ini menawarkan perspektif menarik tentang proses berduka melalui pengalaman pribadi seorang psikiater, dr. Andreas Kurniawan, Sp.KJ., yang menghadapi kehilangan anaknya. Dengan gaya penulisan yang sederhana dan penuh makna, buku ini mengajak pembaca untuk menyelami dunia psikis seseorang yang berjuang untuk mengatasi kesedihan dan menemukan kembali kekuatan untuk melanjutkan hidup. Buku ini disusun dengan gaya yang mudah dipahami, menggunakan diksi sederhana yang cocok untuk kalangan luas. Meskipun penulis adalah seorang profesional medis yang akrab dengan istilah psikologi dan kedokteran, ia berhasil mengemas konsep-konsep tersebut dalam bahasa yang sangat mudah dipahami, sehingga pembaca dari berbagai latar belakang dapat menikmati dan mengambil manfaat dari pembacaannya. Secara struktur, buku ini terdiri dari 16 judul, yang secara berur...

TdBA, Program Bertani di Sekolah dan Cerita yang Menyertainya

Pernah satu waktu di tahun 2017, saya jadi pemandu wisata untuk sebuah keluarga asal Malaysia. Waktu itu kami pergi ke Fayoum, sebuah kota pertanian berjarak sekitar 120 km dari Kairo. Di tengah jalan, keluarga itu minta saya menghentikan mobil untuk foto-foto di tengah ladang pertanian yang kebetulan tengah kami lintasi. Kami pun berhenti dan turun, sebuah keluarga yang sedang bertani menyambut kami dan bertanya kenapa berhenti. Lalu saya bilang dan minta izin untuk foto-foto di ladangnya. Sang bapak petani pun mengizinkan dengan sambutan paling hangat. Bahkan kami pun diajaknya untuk mampir ke sebuah saung kecil yang ada di antara barisan pohon pisang dan tebu. Ada dua ekor sapi di depan saung itu dan sebuah tikar dengan makanan di atasnya. 

Setelah memperkenalkan diri dan basa-basi cukup lama, si petani menarik tangan saya ke suatu arah dan tangan kanannya menunjuk ke pohon-pohon yang ada di sana satu persatu sambil bilang, "yaa habiibii, dah mouz!" (Ini pohon pisang!) Boom! Saya sontak nahan tawa. Maklum saja bagi orang daerah seperti bapak petani ini, banyak orang Mesir yang tidak tahu Indonesia itu di mana dan kehidupannya seperti apa, sampai mengira bahwa pohon pisang cuma ada di Mesir. Padahal mah, pipir imah uing ge aya ...

Ingatan itu nyambung dengan cerita Edward, seorang teman yang mengajar di salah satu sekolah internasional di Kairo. Pernah suatu waktu ia dan sekolahnya mengadakan kunjungan lapangan ke Fayoum untuk mengajarkan siswa-siswanya tentang pertanian, sesederhana mengenalkan kepada anak bahwa ini loh pohon pisang, ini loh pohon zaitun, ini loh ladang wortel, tomat, dan sebagainya. Untuk anak-anak urban Kairo yang hidupnya cuma rumah-sekolah-mall, kemungkinan tahu tentang proses sayuran dan buah sampai ke kulkas mereka memang kecil. Makanya program kunjungan lapangan seperti itu dibutuhkan.

Lalu bagaimana dengan kita di Indonesia? Negara di mana saja bisa menanam sayuran dan buah-buahan relatif lebih mudah dibanding di Arab, apakah masyarakatnya benar-benar sangat akrab dengan dunia pertanian, atau setidaknya ilmu pertanian dasar? Keraguan itu yang nampaknya muncul di kepala para inisiator di lingkungan Dinas Pendidikan Kabupaten Purwakarta. Bahkan saya sendiri punya keraguan semacam itu ketika melihat tiga keponakan saya (kelas 2, 3, dan 4 SD) yang setiap hari setiap waktu hidupnya dengan hape. Dari mulai nonton Youtube, Tiktok, dan Mabar. Jika sekali saja saya rampas hapenya, atau wifi dimatikan, atau tidak dibelikan kuota, kegelisahannya tak jauh dari rupa Farid ketika putus dari pacarnya. Teu paruguh wkwk.

Ponakan saya yang bocah-bocah itu hidup di kampung, namun jarang sekali bermain "tanah". Masa kecilnya terampas oleh teknologi yang mana teknologi itu tidak sepenuhnya mendukung anak-anak untuk mengenal atau bahkan mencintai lingkungannya. Makanan yang mereka makan, tanah yang mereka pijak, udara yang mereka hirup, akan menjadi hal-hal terlupakan dan terabaikan jika generasi alpha, z, bahkan millenial tidak punya kesadaran untuk mengenalnya dengan baik. Lalu bagaimana caranya biar punya kesadaran itu? Pemkab Purwakarta menanamkannya lewat sistem. Hal itulah yang saya pahami dari program Tatanen di Bale Atikan (TdBA) yang sejak Januari 2021 lalu disosialisasikan ke sekolah-sekolah di Purwakarta.

Biar saya ringkas sedikit tentang apa itu TdBA. Tatanen berasal dari kata tatanian alias bertani, bercocok tanam. Bale adalah balai atau tempat. Atikan adalah pendidikan. Jadi, TdBA adalah program pertanian di sekolah. Singkatnya begitu. Kongkritnya, setiap sekolah harus bisa memanfaatkan lahan kosong dan hati guru yang kosong di sekolahnya (seperti pojokan parkiran, tanah tempat numpuk barangkal [sisa-sisa bangunan dan kenangan]), bahkan tanah sempit antara pagar sekolah dan jalan, semuanya harus dioptimalkan sebagai lahan bercocok tanam. Melalui program ini, semua warga sekolah (guru, staf, siswa, orang tua siswa) diajarkan bagaimana cara mengelola sampah organik dan nonorganik, memanfaatkan sampah nonorganik untuk jadi eco-brick, membuat ecompost dari sisa cangkang telur, membuat banana circle (lingkaran pohon pisang yang di tengahnya dijadikan penampungan sisa-sisa sampah organik), membuat eco-enzym, membuat undakan dan media tanam, dan sebagainya. Bahkan TdBA ini harus masuk ke silabus pembelajaran setiap pelajaran. Setiap pelajaran, apapun itu, harus mengintegrasikan materinya dengan kegiatan pertanian yang ada di sekolah masing-masing. Misalnya dalam Bahasa Inggris ada materi mendeskripsikan ruangan/barang. Maka setelah ada Laboratorium TdBA ini (sebutan untuk area pertanian di sekolah), yang harus dideskripsikan oleh siswa adalah tanamannya atau proses penanamannya, dsb. Atau dalam pelajaran agama, guru harus mencari keterkaitan antara materi fikih zakat terhadap panen kacang atau sawi yang ada di sekolah. Intinya, Lab TdBA adalah tempat acuan yang harus dikunjungi semua siswa supaya semua warga sekolah bisa kenal dekat dengan alam, punya karakter, dan punya kesadaran hidup ekologis melalui permakultur yang diajarkan.

Berkat TdBA ini, ada banyak pengalaman pertama yang tidak hanya dirasakan oleh siswa, tapi juga guru-gurunya. Ada yang pertama kali memegang cangkul dan macul di sawah, ada yang maculna mah biasa aja bahkan cimeuy, tapi gayanya maasyaa Allah, for the sake of pencitraan konten sosmed. Ada yang sieun ledok dan kotor, ada yang berdoa supaya turun hujan biar gak usah TdBA ke sawah, ada juga yang justru wanteran ketika macul menemukan ular langsung dicerek dan ditangkap.    

Jika kamu orang Purwakarta dan mengikuti kepemimpinan Dedi Mulyadi sejak ia masih jadi Wakil Bupati, kamu pasti sudah cukup akrab dengan konsep program seperti ini sejak lama. Bahkan untuk ukuran saya yang tidak begitu mengikuti program-program Dedi Mulyadi, saya bisa dengan cepat menyimpulkan bahwa program ini punya vibes yang Dedi banget lah. Kenali diri, kenali alam, kenali Tuhan, adalah slogan-slogan yang nampaknya konsisten digaungkan sejak lama. Yaa meskipun sekarang bupatinya bukan Pak Dedi lagi (tapi istrinya), pengaruhnya tetap masih nampak nyata. Atau mungkin sebenarnya vibes yang saya maksud justru dibuat oleh istrinya sejak lama sejak Pak Dedi masih Wabup, saya gak tahu. Cuma mungkin kebetulah baru setahun terakhir ini gagasan itu secara bulat diterjemahkan ke dalam sistem yang masuk ke sekolah. Apalagi jika gagasan itu ketemu dengan Irvan Efrizal (pemateri TdBA), yang kalau saya stalking-stalking, ia punya latar belakang aktivis alam dan kegiatan-kegiatan berbasis kearifan lokal. Latar belakang yang cocok lah sama program-program Pak Dedi mah. Hehe...  

Ngomong-ngomong soal Kang Rizal, saya iri satu hal tentang public speaking-nya. Dia punya retorika yang renyah sebagai pembicara publik: satu hal yang sampai sekarang saya masih struggling gimana caranya biar bisa ngomong lancar, pede, tidak geumpeur, dan gak pabeulit di depan umum. Saking bagusnya retorika yang ia punya, ia punya cara penyampaian yang istilahnya tuh convincing banget, bisa meyakinkan hadirin bahwa ia ahli di bidang yang sedang ia bicarakan. Ia bicara pertanian, padahal latar belakangnya Ilmu Politik. Kok iso ya? Orang-orang lintas disiplin ini selalu unik untuk dipelajari langkah-langkahnya, setidaknya menurut saya. Karena kalau menurut ibu-ibu di lingkaran saya, gak penting seseorang punya pencapaian apa, yang penting dia udah kawin belum? Pacarnya siapa? Yaelah.

Kembali ke TdBA, terlepas dari urusan politik di belakangnya, bahwa saya senang dengan wawasan baru ini. Ini program bagus buat diajarkan secara terstruktur di sekolah, setidaknya sebagai upaya sadar supaya tiga ponakan saya dan anak-anak lainnya, bisa tahu betapa menyenangkannya menanam cengek dan cabe dari bibit dan memetiknya sampai jadi sambel. Sekarang tiap kali saya merawat tanaman di depan rumah, cara pandang saya soal tanah dan lahan dan bakteri dan jamur dan sisa makanan dan organik dan nonorganik dan sabangsaning, jadi rada berubah. Sulit dijelaskan, tapi satu hal yang nampak nyata bahwa hubungan kita dengan mantan alam itu bisa terjalin dengan baik selama kita sebagai makhluk yang dominan menguasai alam ini bisa sangat bijak dalam mengelolaperasaannya. 

Saya tiba-tiba aja ingin berterima kasih dan menulis catatan ini ketika kemarin bersilaturahmi ke Kampung Naga di Tasikmalaya dan melihat bagaimana masyarakat di sana sedang bertani dan mengolah makanannya. Terima kasih Kang Rizal, terima kasih Purwakarta. Mengubah dunia memanglah satu kalimat yang terdengar besar dan sulit digapai, namun ketika melihat seorang siswa nampak senang dan ceria ketika ia punya pengalaman pertama kalinya memetik pakcoy di kebun hidroponik sekolah, saya percaya bahwa TdBA ini adalah langkah yang baik menuju perubahan itu.

4 Januari 2022.  

Komentar

Posting Komentar