Menelusuri Perjalanan Psikologis Seorang "Pria yang Mencuci Piring"

Apa jadinya ketika seorang psikiater, yang notabene tukang ngobatin orang-orang sedih dan kehilangan, malah mengalami kesedihan dan kehilangan? Buku ini menawarkan perspektif menarik tentang proses berduka melalui pengalaman pribadi seorang psikiater, dr. Andreas Kurniawan, Sp.KJ., yang menghadapi kehilangan anaknya. Dengan gaya penulisan yang sederhana dan penuh makna, buku ini mengajak pembaca untuk menyelami dunia psikis seseorang yang berjuang untuk mengatasi kesedihan dan menemukan kembali kekuatan untuk melanjutkan hidup. Buku ini disusun dengan gaya yang mudah dipahami, menggunakan diksi sederhana yang cocok untuk kalangan luas. Meskipun penulis adalah seorang profesional medis yang akrab dengan istilah psikologi dan kedokteran, ia berhasil mengemas konsep-konsep tersebut dalam bahasa yang sangat mudah dipahami, sehingga pembaca dari berbagai latar belakang dapat menikmati dan mengambil manfaat dari pembacaannya. Secara struktur, buku ini terdiri dari 16 judul, yang secara berur...

Di balik pernikahan Teh Euis dan Mas Fardan

Di malam sebelum akad dilangsungkan, Teh Euis ngejapri Mas Fardan untuk segera beristirahat agar besok pagi lebih segar. Tapi Mas Fardan membalas pesan cinta itu dengan jawaban, "tapi besok jam tiga pagi ada MU maen!". Lah, mau akad masih mikirin MU? Dan benar saja jam tiga subuh ia kedapatan sedang nonton bola di saung pos ronda. Pertandingan MU dan akad nikah memang sama-sama penting. 

Untungnya MU menang, jadi sedikit banyak nambah semangat buat Mas Fardan melangsungkan akad nikah. Waktu saya posting status Mas Fardan nonton bola pun, Teh Euis membalasnya dengan kalimat terdingin se-Banten, "ini pasti kelakuan Kak Fardan." Saya berfirasat, inilah yang akan jadi perdebatan pertama dalam biduk rumah tangga mereka. Teh Euis belum tau aja kalau selain urusan MU, masih ada One Piece yang juga jadi prioritas di hidup seorang Fardan. Siap-siap aja, Teh.  

Pernikahan Mas Fardan dan Teh Euis membuat saya jauh lebih bahagia dibanding diskonan Shopee di tanggal cantik 21-01-21 ini. Bahkan mungkin pernikahan ini jadi salah satu yang paling membahagiakan di tahun 2021. Pasalnya, saya gak pernah punya pengalaman menyaksikan orang jatuh hati dari awal kenalan sampai jadi suami istri. Tentu saja ini pengalaman menyenangkan, sekaligus membuktikan bahwa saya punya prestasi tidak hanya sebagai Timses dua ketua Wihdah dan dua ketua KPMJB, tapi juga timses rumah tangga orang lain. Omaygat. Kamu itu keren, Ul, tapi kenapa jomblo? 

Saya ingin kilas balik ingatan saya soal Teh Euis. Saya pertama kali kenal Teh Euis sewaktu tes Temus di KBRI Cairo. Namanya sudah sering dengar karena ia tinggal sekamar di asrama Muqotom dengan sodara, tapi orangnya yang mana baru di KBRI itulah pertama kali ketemu. "Ini teh Azis ya?" tanyanya pertama kali. Singkat cerita kami berangkat ke Makkah bareng dan ternyata ditempatkan di sektor kerja yang sama, dan kamar hotel di lantai yang sama. Karena kesamaan itulah kami jadi sering ketemu dan bertegur sapa. Bahkan karena sifatnya yang humble dan menyenangkan sebagai lawan bicara, tidak butuh waktu lama untuk membangun selera humor di antara kita. 

Karena baru kenal, dan ada gap senioritas yang lumayan jauh juga untuk saya sok akrab dengannya, saya gak tahu menahu soal kehidupan pribadinya, termasuk asmara Teh Euis. Sampai pada satu saat ketika kami berziarah ke Jabal Rahmah, saya iseng-iseng nanya ke Teh Euis, "nyebutin nama siapa, Teh?" dan jawabnya adalah "belum ada nama. Semoga disegerakan aja." Kira-kira begitulah jawabannya. Karena jawaban itulah saya jadi berasumsi, oh masih kosong nih. Modusin gak ya? Oh enggak dong wkwkwkw 

Mungkin waktu di Jabal Rahmah itu Teh Euis berdoa, "Allahumma laa taj'alnii Fardan!" lalu malaikat salah denger, ngiranya "Ij'alnii ma'a Fardan!". Tiba-tiba malaikatnya nengok dan bilang, "Eih? 'Aizah Fardan? Haadhir!". Jadilah ia dikasih lelaki bernama Fardan. 

Kedua kalinya saya nanyain status Teh Euis adalah waktu makan bakso di Grapari Tower Zamzam. Saat ditanya siapa calonnya dan kapan nikahnya, jawabannya masih sama, emang belum ada. Ketiga kalinya saya menanyakan hal yang sama adalah di tanggal 08 Juni 2020 lalu. Gak tau angin dari mana, pokoknya ketika tahu Mas Fardan lagi nyari istri di usianya yang mulai panik itu, nama Euis langsung muncul begitu saja. Sesimpel pemikiran "orang pinter harus sama yang pinter lagi", "guru bimbel harus sama guru bimbel lagi".

Saya gak tau gimana kisah asmara Mas Fardan sebelumnya, cuma yang sering kedengaran selalu soal rumitnya terus. Kayanya gak mulus gitu. Dari mulai taaruf pake CV, ketemu calon mertua yang syaratnya harus punya gaji 12 juta sebulan, ketemu yang beda negara, pokoknya banyak rumitnya. Tapi pas dikenalkan dengan nama Euis di tanggal 8 Juni itu, urusan asmara Mas Fardan nampaknya tokcer banget. Syuf aho! Tanggal 8-10 survey-survey, tanggal 11 Mas Fardan pertama kali ngejapri, tanggal 12 ngajak nikah, tanggal 13 ajakan nikah diterima, tanggal 26 ketemuan di Muqottom padahal itu kasus korona lagi tinggi-tingginya dan Mas Fardan rela keluar rumah melanggar anjuran KBRI untuk stay at home (apa-apaan ini?), bulan Agustus khitbahan, Desember balik bareng, Januari udah nikah aja. 

Karena saya cukup sering kepo soal perkenalan mereka sudah sejauh mana, saya tahu di minggu-minggu perkenalan mereka, salah satu topik yang menyatukan pikiran mereka adalah soal saya yang waktu itu lagi digunjing emak-emak sekompleks Masisir. Waktu itu ada salah satu tulisan yang pernah rame kontroversi, dan diam-diam kontroversi itu ditunggangi Mas Fardan dan Teh Euis untuk jadi bahan pedekate. Saya ini kurang kontribusi apa coba buat mereka berdua? Makanya pas kemaren kondangan, saya gak ragu untuk ngambil daging prasmanan lebih dari satu, meskipun kata Bang Fatih gak boleh ambil lebih kalau penjaganya ibu-ibu. Suka diplototin seolah-olah sedang berkata, "ngamplop dikit aja minta jatah lebih!"

Sebagai bagian dari rangkaian final, saya diundang untuk hadir di acara mereka sejak sehari sebelumnya di Banten. Saya tinggal di rumah yang dipakai istirahat keluarganya Mas Fardan, yang sudah datang sehari sebelumnya dari Banjarnegara sana. Saya jadi kenalan sama bapaknya, ibunya, dan pakde-bude nya yang sekeluarga besar ngomong Jawa. Untung punya modal lagu-lagu Didi kempot, jadi sedikit-sedikit paham lah mereka ngomong apa. Keluarga Mas Fardan semuanya menyenangkan, mudah akrab, dipancing dikit langsung nyeritain masa kecilnya Mas Fardan, malah Pakliknya sampai nyeritain pengalaman hidupnya begitu lengkap, sampai tips dan trik membangun karier.  

Tapi alih-alih supaya jadi saksi perjalanan cinta mereka, saya curiga kayanya saya diundang cuma buat jadi admin Live IG doang deh. Megangin hape Live IG kawinan tuh pegel loh, dan harus pede. Bayangin, kita harus megangin hape yang posisi kameranya harus deket ke pengantin. Kalau kejauhan bakal diprotes netijen, dan posisi sedekat itu berada di barisan para keluarga inti, sesepuh desa, atau tamu-tamu penting. Posisi itu pasti jadi sorotan semua orang, dan harus siap diteriakin MC berkali-kali, "kepada yang ingin mendokumentasikan prosesi ijab kabul, untuk tidak berdiri terlalu dekat!" Si MC nih gak ngerti betapa pentingnya admin Live IG bagi fans Mas Fardan dan Teh Euis di Mesir sana. Sesekali dia harus ngalamin jadi admin Live IG dan ngalamin gimana rasanya dijapri anak-anak Masisir: "suaranya putus-putus!", "Live IG matiii!", "kurang maju!". Busseettt. 

Mas Fardan menghabiskan malam terakhirnya sebagai jomblo dengan saya, meskipun tentu saja yang akan ia ingat seumur hidup adalah malam setelahnya. Aku mah dilupain. Udah biasa. Malam itu ada banyak curhatnya, utamanya soal betapa besarnya beban seorang lelaki setelah kalimat kabul terucap nanti. Orang sesoleh dan secendikiawan Mas Fardan aja masih punya kekhawatiran tidak mampu mengatasi sirat wajah calon bapak mertua yang hendak melepas anak gadisnya. Gimana kalo ngecewain bapak mertua dan keluarga besarnya? Gimana kalo standar kenyamanan yang diberikan  kepada Teh Euis tidak bisa melebihi atau minimal sama dengan standar kenyamanan yang biasa diberikan oleh bapaknya? Gini nih serunya kalo ngobrol sama Mas Fardan, kecerdasanku makin terasah. Gak kaya ngobrol sama .... ah sudahlah.

Saya punya insting yang kuat Mas Fardan akan jadi suami yang baik buat Teh Euis. Dia sosok kakak yang kebapak-an, guru yang cerdas, dewasa dalam segala hal, bahkan ia sudah seperti sosok single parent di Rumah RMD, rumah yang sama-sama kami tempati di Cairo. Kalau ada yang ribut-ribut sesama anggota rumah, misalnya ketika Rai dan Noval saling tuduh soal banyaknya tisu lengket di pinggir kasur, atau Syibly yang sering difitnah jorok nyimpen sempak padahal dia gak punya sempak, Mas Fardan selalu hadir jadi penengah. Kalau bayaran rumah masih kurang, Mas Fardan yang nombokin. Kalau materi kuliah terasa rumit dan sulit dimengerti, Mas Fardan selalu mau bantu jelaskan. Sepercaya itu kita sama Mas Fardan. Bahkan saya punya beberapa rahasia yang cuma Mas Fardan doang yang tahu. Jadi kalau suatu hari rahasia itu bocor dan ada orang lain yang tahu, sangat akid haqqul yaqin  bahwa yang bocorin adalah Mas Fardan. Siapa lagi? Heug siah.

Barangkali pernikahan ini adalah jawaban dari doa Teh Euis waktu di Jabal Rahmah. Dan saya sendiri ngerasa ada doa saya yang juga terkabulkan. Bukan doa spesifik soal pernikahan Mas Fardan dan Teh Euis, tapi pernah waktu itu saya doa supaya dijadikan penjawab doa-doanya orang lain. Jika pernikahan ini adalah salah satu jawabannya, saya sangat bersyukur karena bentuk jawabannya tak terbayangkan akan semembahagiakan ini.   

Selamat berbahagia, Mas Dan & Teh Euis, ribut-ribut kecil mah biasa, namanya juga bumbu rumah tangga. Yang penting tetep saling sayang aja ya selamanya. Huehehehe.... 

22 Januari 2021. 

Komentar