Menelusuri Perjalanan Psikologis Seorang "Pria yang Mencuci Piring"

Apa jadinya ketika seorang psikiater, yang notabene tukang ngobatin orang-orang sedih dan kehilangan, malah mengalami kesedihan dan kehilangan? Buku ini menawarkan perspektif menarik tentang proses berduka melalui pengalaman pribadi seorang psikiater, dr. Andreas Kurniawan, Sp.KJ., yang menghadapi kehilangan anaknya. Dengan gaya penulisan yang sederhana dan penuh makna, buku ini mengajak pembaca untuk menyelami dunia psikis seseorang yang berjuang untuk mengatasi kesedihan dan menemukan kembali kekuatan untuk melanjutkan hidup. Buku ini disusun dengan gaya yang mudah dipahami, menggunakan diksi sederhana yang cocok untuk kalangan luas. Meskipun penulis adalah seorang profesional medis yang akrab dengan istilah psikologi dan kedokteran, ia berhasil mengemas konsep-konsep tersebut dalam bahasa yang sangat mudah dipahami, sehingga pembaca dari berbagai latar belakang dapat menikmati dan mengambil manfaat dari pembacaannya. Secara struktur, buku ini terdiri dari 16 judul, yang secara berur...

Nyawang Bulan ala Dedi Mulyadi

Bulan lalu, saya ikut hadir di salah satu acara Dedi Mulyadi di kediamannya di Subang, Jawa Barat. Saya yakin banyak orang yang tahu siapa sosok satu ini, entah karena program-programnya selama jadi Bupati Purwakarta, entah karena apanya. Sepengalamanku sejauh ini jika berkenalan dengan orang baru dan kubilang dari Purwakarta, tak jarang mereka merespon, "yang bupatinya Dedi itu ya? yang pernah penistaan agama?" Aduduh~ 

Acara yang saya hadiri namanya Nyawang Bulan, alias meneropong bulan purnama di malam hari. Acara ini dimulai jam 9 malam sampai menjelang tengah malam, diisi dengan suguhan musik dan lagu-lagu Emka9, lalu obrolan ngalor ngidul antara Dedi Mulyadi, Sujiwo Tejo, Trie Utami, dan seorang janda beranak tiga yang kayanya, saya ngeliat ibu dan anak-anaknya itu "dipajang" hanya demi kebutuhan konten semata. Betapa tidak sukanya saya untuk bagian ini.

Mari kita ulas tentang apa yang saya pikirkan selama acara ini berlangsung, dimulai dari kedatangan. Waktu itu saya datang magrib, semobil dengan Kang Rudy dan beberapa kawan dari Sanggar Sastra Purwakarta. Saya cukup antusias untuk mengunjungi Subang waktu itu, mengingat lokasi acara (Lembur Pakuan) cukup dekat dengan rumahnya Adhi Wijaya, temen yang solehnya tiada cela selama di Mesir. Eh ternyata dia sedang berada di rumah mertuanya di sisi lain Subang, jadinya antusias saya soal Subang jadi menurun. Dari jalan raya menuju Lembur Pakuan, kita akan melihat pemandangan yang berbeda. Sebuah gang desa yang rapi sendiri, bagus sendiri, warna-warni sendiri. Sementara gang-gang lain di sebelum dan sesudah lembur itu nampak biasa saja, sebagaimana Subang adanya. Katanya ini kampung Pak Dedi, tempat ia dilahirkan dan dibesarkan dulu. Jadi meskipun ia pernah menjabat Bupati Purwakarta, dan sekarang anggota Dewan Jawa Barat, kampung ini akan diurus seistimewa mungkin. Memang beneran bagus kok kampungnya, sangat tertib, rapi, bersih, dan Instagramable. Ada banyak taman, air mancur, dan patung-patung yang Dedi banget lah pokoknya. Kekhasan hal inilah yang juga menjadi daya tarik wisata bagi sebagian orang, sehingga turut menumbuhkan ekonomi warga sekitar. Hal ini ditandai dengan banyaknya warung-warung jualan yang katanya, mulai bermunculan sejak daerah rumah Dedi ini dimodifikasi sedimikian rupa. Pikiran sekilasku adalah, ini Pak Dedi bikin negara di dalam negara nih kayanya~

Lalu acara dimulai. Emka9 mulai menggontrengkan alat musiknya. Kalo gak salah, lagu pertamanya berjudul Kaasih Indung. Lalu ada beberapa lagu lainnya yang saya gak begitu tahu judulnya. Soal Emka9 ini, saya sudah tahu keberadaannya kira-kira sejak Dedi Mulyadi jadi Bupati periode pertama, tepatnya tahun 2011 saat saya dapat hadiah lomba dan beli hape. Kebetulan memory card hape barunya diisi lagu-lagu Emka9 sama tukang counter hape. Jadilah aku tahu. Makasih mamang counter~

Karena tahu Emka9 ini pula saya jadi tahu salah satu suhunya bernama Iman Ulle, atau Kang Iman. Kita udah follow-followan di Ig, dia juga sering ngelike fotoku, beberapa kali pernah Dm-an, tapi pas ketemu mah gak kenaleun siah. Padahal aku teh udah eksaitid gitu bahwa malam itu adalah pertama kalinya kami akan bertemu tatap muka, tapi ya udah weh. Hidupku kembali pada takdir seperti iklan Youtube yang ada tapi buat diskip. 

Melihat Iman Ulle berkiprah sebagai senimannya Dedi Mulyadi mengingatkanku pada Abu Nawas, Al-Farazdaq, Jarir, atau Akhtal, yang mengabdikan hidupnya sebagai syu'araa bilaath al mamlakah alias penyairnya dinasti/kerajaan. Mereka menjadi lingkaran yang tidak melinkari apanya, tapi siapanya. Tak penting apa posisi Dedi Mulyadi saat ini, yang pasti Emka9 ada sepaket dengan di manapun Dedi Mulyadi berada. Di zaman dulu, seniman dan karya sastranya bisa berfungsi sebagai alat Humas pemimpin kerajaan. Tidak hanya sebagai hiburan, karya seni semacam puisi dan lagu cukup efektif berperan sebagai media penyampai pesan politik. Dan nampaknya itu juga yang dilakukan Iman Ulle dengan Dedi Mulyadi, sebagaimana yang dilakukan Farazdaq dengan Bani Umayyah. Apakah seniman ini punya idealisme? Tanya saja sendiri sama Kang Iman.

Lalu di tengah acara, dipanggillah ibu janda tadi lengkap dengan anak-anaknya. Diawali dengan bercandaan seputar kejandaannya, lalu pekerjaannya, penghasilan harian, dan ditutup dengan semua penonton menyalaminya dengan amplop atau apalah itu. Saya senang jika ibu itu dapat banyak bantuan materi dari orang-orang yang hadir di acara itu, tapi ketika menjadikan kehidupan ibu itu sebagai bagian dari pementasan panggung, kesedihannya dijadikan materi klimaks, status jandanya dijadikan lelucon seksis, saya ingin ngaliyang saat itu juga. Anda tau ngaliyang? Bikin lobang di tempat duduk dan hilang saat itu juga. 

Kalau dipikir-pikir, ternyata interaksi saya dengan Dedi Mulyadi cukup panjang juga ya. Maksudnya untuk dikatakan sebagai warga Purwakarta yang tidak pernah bersalaman dengan Dedi Mulyadi, saya tidak masuk kategori itu. Pertama, Dedi Mulyadi adalah temannya kakak saya di HMI semasa kuliah. Sekilas-sekilas waktu saya kecil, ada ingatan Dedi Mulyadi duduk di rumah dan makan goreng simeut (belalang). Lalu ketika SD kelas 3 pernah ikutan lomba olimpiade IPA dan di sertifikatnya ada foto Dedi Mulyadi sebagai Wakil Bupati. Di acara Halal Bihalal Pondok yang bertepatan dengan ulang tahun saya di tahun 2009 lalu, saya kebetulan disuruh maju ke depan dan kenalan pakai bahasa Sunda dan dapat uang 500 ribu. Di tahun 2012, guru saya Alm. Pak Nendi meninggal dunia dan ketika menguburkannya, saya yang mayungin Dedi Mulyadi karena waktu itu sedang gerimis. Dan disusul beberapa moemnt lainnya di tahun 2016 sampai sekarang. Jadi agak ignorant kalau saya bilang tidak kenal dengan Dedi Mulyadi, setidak suka apapun saya terhadapnya. 

Beberapa minggu lalu, ada Pak Camat datang ke rumah saya, nengokin bapak saya yang sedang sakit. Lalu bapak bilang bahwa kemaren hari saya pergi ke Subang buat ngehadirin acara Dedi Mulyadi. Eh tak disangka, Pak Camat bilang, "kemaren pagi sampai siang itu saya yang nganterin bunga buat acara ke sana!". Dalam hati, oh bapak anteknya juga toh. Apa pelan-pelan aku akan jadi anteknya juga? 

09 Desember 2020.

Komentar