Menelusuri Perjalanan Psikologis Seorang "Pria yang Mencuci Piring"

Apa jadinya ketika seorang psikiater, yang notabene tukang ngobatin orang-orang sedih dan kehilangan, malah mengalami kesedihan dan kehilangan? Buku ini menawarkan perspektif menarik tentang proses berduka melalui pengalaman pribadi seorang psikiater, dr. Andreas Kurniawan, Sp.KJ., yang menghadapi kehilangan anaknya. Dengan gaya penulisan yang sederhana dan penuh makna, buku ini mengajak pembaca untuk menyelami dunia psikis seseorang yang berjuang untuk mengatasi kesedihan dan menemukan kembali kekuatan untuk melanjutkan hidup. Buku ini disusun dengan gaya yang mudah dipahami, menggunakan diksi sederhana yang cocok untuk kalangan luas. Meskipun penulis adalah seorang profesional medis yang akrab dengan istilah psikologi dan kedokteran, ia berhasil mengemas konsep-konsep tersebut dalam bahasa yang sangat mudah dipahami, sehingga pembaca dari berbagai latar belakang dapat menikmati dan mengambil manfaat dari pembacaannya. Secara struktur, buku ini terdiri dari 16 judul, yang secara berur...

Memanfaatkan Pengaruh Ulama di Masa Korona


Jika saja orang Indonesia tidak pernah belajar ilmu medis, barangkali setiap kulit bruntus akan selalu dinisbahkan kepada mitos “baru dijilat setan”. Begitupun dengan orang yang matanya bintitan, asosiasinya akibat ngintip pemandangan yang mantap-mantap, atau menonton hal-hal yang diinginkan. Sebelum ada pikiran mengobatinya dengan obat kulit atau obat mata, doa dan rapalan akan datang lebih dulu dalam benak, lantaran kuatya sistem kepercayaan. Obatnya cukup dengan istigfar dan bertaubat, kira-kira begitu asumsinya. 

Kalau boleh meminjam istilah Karl Marx, agama memang telah menjadi candu bagi banyak orang. Dari perkara kehidupan pribadi sampai perkara bagaimana membangun negara, agama selalu menjadi prioritas sejauh ini. Dari data Pew Research Center pada tahun 2018 menunjukkan sebanyak 83% populasi orang Indonesia menganggap agama sangatlah penting, meskipun angka ini terbilang menurun dibandingkan riset yang sama di tahun 2015 yang mencapai 95%. Sentimen yang relatif masih tinggi dibanding negara lain ini bisa jadi permakluman, jika sampai saat ini banyak orang berasumsi bahwa agama adalah solusi dari segala permasalahan.

Sebagai imbas dari kuatnya ideologi keagamaan ini, pemimpin agama dinilai sebagai tokoh paling berpegaruh dan layak didengar dibanding profesi lain yang ada di masyarakat. Lingkaran Survey Indonesia (LSI) menyebut profesi ulama punya pengaruh 51% dibanding profesi lain yang ada di Indonesia. Politisi hanya punya pengaruh 11%, disusul profesi pengamat, pengusaha, akademisi, aktivis LSM, dan selebriti. Jadi kalau ada ustadz bicara soal virus korona sebagai adzab untuk orang kafir, kemungkinan akan lebih didengar masyarakat dibanding fakta tentang virus ini yang diutarakan dokter yang kolaborasi dengan Youtuber berpengikut jutaan orang. Tidak hanya di Indonesia, fenomena ustadz lebih didengar ini sebenarnya memang banyak terjadi di banyak tempat. Banyak orang dengan mudah menyimpan kepercayaan ketika Zakir Naik bicara soal astronomi dan geografi, padahal belum tentu ia ahli di bidang itu. Ketika Ustadz Abdus Somad berkelakar soal virus korona sebagai tentara Allah, bisa saja orang meyakini itu sebagai kebenaran hanya karena yang mengutarakannya seorang pemuka agama. 

Meskipun sebetulnya bukan perkara mustahil jika ada pemuka agama yang tidak hanya bicara soal teologi dan hukum syariah, tapi juga bicara bidang lain seperti sains dan teknologi. Misalnya ketika Al Ghazali mengadopis mantik Aristoteles ke dalam ilmu Ushul Fikih, ia telah membuktikan bahwa bukan hal mustahil seorang ahli agama juga bicara soal bidang ilmu-ilmu lain di luar topik keagamaan. Atau Ibnu Sina, yang juga dikenal sebagai Avicenna, selain dikenal fakih ilmu agama, hafal Alquran pula, ia juga bicara banyak soal Ilmu Kedokteran. Bahkan contoh yang masih ada di depan mata, di Mesir ada Syekh Dr. dr. Yusri Rusydi Sayyid Jabr Al Hasani. Ia bisa jadi contoh figur ulama yang tak diragukan keilmuan agamanya, juga tak diragukan kapabilitasnya ketika berada di depan meja operasi. Yang menjadi soal adalah, adanya fakta bahwa kemampuan masyarakat membaca siapa berkapasitas apa dan bicara apa belum pada titiknya.

Tak hanya soal memilah-milih ustadz siapa bicara tentang apa, memilah informasi yang benar dan yang hoax pun masih menjadi tantangan besar bagi masyarakat pada umumnya. Hal terkecil yang sering ditemui adalah di grup Whatsapp keluarga, yang ada saja main forward dan repost konten-konten beraroma mengejutkan, tanpa dibarengi kecerdasan mumpuni untuk mengklarifikasi kebenaran konten tersebut.    

Saya punya pengalaman pribadi ketika menjadi Petugas Haji tahun lalu di Makkah. Ada fakta tak terbantahkan bahwa jamaah haji Indonesia sering kali lebih mendengarkan arahan dari Ketua Rombongan (Karom) dibandingkan Petugas Bimbingan Ibadah, yang notabene sudah berlevel kyai, doktor, bahkan professor yang legalitasnya diakui Kemenag untuk menjadi Petugas. Ada yang memaksakan diri untuk umrah sunnah padahal sedang sakit parah, karena kata Karom, umrahnya wajib diikuti. Ada juga yang tidak mau dirawat di rumah sakit karena kata kyainya harus salat 40 waktu di Masjid Nabawi. 

Melihat besarnya potensi pemuka agama lebih didengar oleh masyarakat, hal ini bisa diadalkan untuk berperan lebih dalam komunikasi di tengah krisis. Keberpengaruhan yang dimilikinya bisa sangat membantu para ahli pandemi, tenaga medis, pemerintah, dan pihak-pihak terkait untuk menyampaikan apa dan bagaimana sebuah krisis kesehatan terjadi dan ditanggapi.

Dengan adanya kerja sama terpadu ini, diharapkan para pemuka agama dan lembaga keagamaan yang ada dapat menjadi corong Hubungan Masyarakat dari sistem besar yang sedang berjuang menuntaskan pandemi ini. Dari satu sisi, para pemuka agama dapat mendorong masyarakat untuk lebih terbangun jiwa spiritualnya, lebih mengenal dirinya, lingkungannya, Tuhannya, dan dari sisi lain, pemuka agama dapat membantu pemerintah untuk menyampaikan kebijakan apa yang sedang diberlakukan, membantu ahli medis menyampaikan langkah-langkah apa yang harus dilakukan, dan sebagainya.

Jika ada bapak-bapak yang masih ngotot ingin salat jamaah di masjid padahal pemerintah sudah melarang adanya perkumpulan massa, kemungkinannya dua. Pertama, ustadz di masjid itu belum mengajarkan teori dar’ul mafasid, muqaddamun ‘ala jalbil mashaalih (mencegah kemudaratan lebih prioritas dibanding menarik kemanfaatan). Jika hal ini yang terjadi, maka meningkatkan kualitas ustadz adalah hal yang harus dilakukan pemerintah. Kemungkinan kedua, ustadznya sudah mengajarkan teori itu, namun belum menyampaikan himbauan dari pemerintah dan ahli medis dengan seksama. Dalam kondisi masyarakat lebih mendengar apa kata ustadz, dan pandemi sedang terjadi, posisi ustadz memang krusial dan bisa serba salah. Peran pemuka agama ini perlu diperhatikan lebih semata-mata bukan mengistimewakan kedudukannya di tengah masyarakat, tapi jangan sampai apa yang terjadi di abad ke-14 ketika Black Death melanda Eropa kembali terulang. Yuval Noah Harari dalam tulisannya “In the Battle against Coronavirus, Humanity Lacks Leadership” (Time.com, 2020) menuliskan bahwa di masa itu, para pemuka agama mengumpulkan orang-orang untuk doa masal kepada para dewa dan orang-orang suci dalam rangka melawan wabah. Terlepas dari konteks orang-orang Eropa waktu itu menyembah apa dan agamanya apa, kondisi ini bukannya mempercepat penyembuhan, tapi justru malah  memicu penularan masal. 

Saya percaya bahwa definisi manusia sebagai khalifah di muka bumi adalah eksistensinya dalam memainkan peran sesuai kapasitasnya. Urusan air biarlah ahli air yang bicara, urusan fikih biarlah ahli fikih yang bicara, juga urusan virus biarlah ahlinya yang bicara. Jangan sampai ada satu khalifah yang bicara bukan soal bagiannya, dengan tujuan agar manusia lain mempertimbangkannya sebagai sebuah kebenaran yang harus didengar. Ketika peran pemuka agama lebih berpengaruh dibanding ahli medis tatkala bicara, maka seyogyanya kelebihan tersebut digunakan untuk membantu menyampaikan apa yang seharusnya disampaikan oleh ahlinya. Wa Allahu a’lamu. 

___________
Tulisan ini sudah diikutsertakan dalam Lomba Menulis Opini yang diadakan Nasional Palenstina Center (NPC) dan PPI Kawasan Timur Tengah dan Afrika, dan mendapatkan urutan terbaik ke-6 dari 118 naskah. 


Komentar