Menelusuri Perjalanan Psikologis Seorang "Pria yang Mencuci Piring"

Apa jadinya ketika seorang psikiater, yang notabene tukang ngobatin orang-orang sedih dan kehilangan, malah mengalami kesedihan dan kehilangan? Buku ini menawarkan perspektif menarik tentang proses berduka melalui pengalaman pribadi seorang psikiater, dr. Andreas Kurniawan, Sp.KJ., yang menghadapi kehilangan anaknya. Dengan gaya penulisan yang sederhana dan penuh makna, buku ini mengajak pembaca untuk menyelami dunia psikis seseorang yang berjuang untuk mengatasi kesedihan dan menemukan kembali kekuatan untuk melanjutkan hidup. Buku ini disusun dengan gaya yang mudah dipahami, menggunakan diksi sederhana yang cocok untuk kalangan luas. Meskipun penulis adalah seorang profesional medis yang akrab dengan istilah psikologi dan kedokteran, ia berhasil mengemas konsep-konsep tersebut dalam bahasa yang sangat mudah dipahami, sehingga pembaca dari berbagai latar belakang dapat menikmati dan mengambil manfaat dari pembacaannya. Secara struktur, buku ini terdiri dari 16 judul, yang secara berur...

Mencari Jodoh Online


Saya pernah bilang ke Nika betapa bersyukurnya saya kenal dia di dunia nyata, bukan di sosmed. Dia adalah satu dari beberapa teman yang menurut saya masuk kategori culametan, bukan tipe-tipe orang jaim yang pengennya selalu kelihatan "aku perempuan maka aku harus selalu cantik, anggun, dan  berkarakter di depan laki-laki." Sebab jika saya kenalan pertamanya di dunia maya, barang tentu saya pasti tertipu. Di Instagramnya, ia sangat ukhti sekali. Dari pilihan foto sampai caption, cukup menggambarkan bahwa ia adalah ukhti-ukhti yang "kayaknya orangnya agak pendiem ya..."

Hal yang sama juga saya bilang sama George, teman sekelas yang baru kenal tiga bulan terakhir ini. Bahkan selama dua bulan pertama, kami sering bertemu dan berdiskusi tapi tidak saling tahu apakah punya sosmed atau tidak. Sampai akhirnya di hari terakhir pertemuan kelas, kami bertukar sosmed , follow-followan di Ig, berteman di Fb, dengan alasan siapa tahu bakal ganti nomor whatsapp dan butuh media lain untuk berkomunikasi. 

Meskipun ada juga teman yang akrabnya justru dari sosmed duluan. Salah satunya Mas Miftah. Sebelumnya saya gak pernah ketemu sama yang namanya Mas Miftah di dunia nyata, sampai akhirnya kita bertegur sapa di sosmed, dimulai dengan berbagi link blog. Kesamaan interest ini nampaknya berlanjut sampai sekarang, sampai akhirnya kita bisa otomatis saling tegur ketika bertemu di dunia nyata. 

Ada banyak orang di lingkaran pertemanan saya yang kenal di dunia nyata, saling bertegur sapa, tapi tidak berteman di sosmed. Sejauh ini, hal itu tidak jadi masalah besar karena sosmed bukan ukuran apakah kita punya kemampuan membangun pertemanan atau tidak. Bahkan pertemanan yang dilakukan di dunia nyata terlebih dahulu terasa lebih efektif untuk hidup saya, dibanding pertemanan yang saya temukan di dunia maya.

Urusan kenalan dengan orang baru, di dunia nyata ataupun maya, saya ini benar-benar payah. Meskipun akun Tinder saya tidak semenyedihkan Farid yang dari bikin sampai uninstall tidak ada yang menyapa. So sad. Berteman dengan orang baru di dunia nyata pun susah, maya apalagi. Apalagi ketika kita sedang hidup di fase ngapain lah nambah temen lagi kalau bukan sama orang yang prospect-able, rada males aja untuk bikin pertemanan baru cuma buat sekadar temen berbalas "apa kabar?" dan "baik". Kenalan makin banyak tapi nongkrong mah sama yang itu-itu aja. Kalau kata dosen saya, definisi networking bagi orang dewasa itu bukan dengan menambah sebanyak mungkin teman/kenalan, tapi menambah sebanyak mungkin orang penting dalam lingkaran kita. Berteman dengan seribu karyawan perusahaan dan berteman dengan satu orang pemilik perusahaan tentu hasil pertemanannya akan beda kan. Tapi ya bukan berarti menutup kemungkinan untuk kenalan dengan orang baru yang "karyawan" itu. Toh kita tahu suatu hari si "karyawan"itu justru bikin perusahaan sendiri.

Makanya saya rada males-malesan untuk membalas pesan dari akun-akun online yang ingin ngajak kenalan. Gak banyak tapi suka ada aja. Apalagi kalau orang asing baru ketemu online udah langsung nanya-nanya umur, kerjaan, nikah atau belum, alamat, nomor whatsapp, atau hal-hal yang bagi saya tidak cukup nyaman untuk dibagikan kepada orang asing yang baru ditemui. Khususnya yang punya tendensi ngebet kawin, kenalan online dengan prinsip "siapa tahu dia jodohku", pertanyaan-pertanyaanya suka nyerempet-nyerempet ke hal-hal yang tidak cukup minat untuk dibagikan di dunia maya. Gak ada salahnya sih jika ada orang yang mau bersosmed untuk tujuan mencari jodoh. Tapi buat saya, kayaknya bukan itu jalan ninjaku.

Saya ingat suatu malam di taman pinggir Opera House, saya pernah ngobrol bareng Nijat. Ia bilang bahwa nikmatnya seorang suami adalah ketika punya istri yang tidak posesif, tidak suka kepo apa isi sosmed suaminya, dan tidak membatasi gerak langkah suaminya. Dan tentu saja si suami juga harus melakukan hal yang sama terhadap pasangannya. Awalnya saya pikir, kayanya semua orang pengen deh punya kriteria kaya gitu, sampai akhirnya ia ceritakan lebih jauh alasan di balik kriteria-kriteria itu. Ada banyak pasangan yang setelah menikah atau pacaran, salah satu dari pasangan itu kehidupannya jadi mati atau hilang perlahan. Ada yang kehilangan cita-cita, kehilangan pekerjaan idaman, kehilangan hobi, pokoknya persis seperti kisah Kim Ji-Yoon, Born 1982 yang pernah saya ulas sebelumnya. Pasangan yang tidak kepo dan tidak membatasi gerak pasangannya sebagai individu yang merdeka, kata Nijat, merupakan pertanda kematangan dan kedewasaan. Ia paham bahwa sekuat apapun ikatan hubungan suami istri, ikatan itu tetap terdiri dari dua orang yang setiap orangnya merdeka atas dirinya sendiri, bukan merdeka karena menggantungkan eksistensinya kepada orang lain. Dan untuk menemukan pasangan yang dewasa dalam banyak hal itu, lanjut Nijat, dapat ditemukan dengan mudah di lingkungan pertemanan, di lingkungan orang-orang yang sudah lama ada di lingkaran kita. Bukan orang baru yang baru kenalan. Lugasnya dia bilang, cari istri mah jangan yang berdasarkan cinta semata, tapi temen aja. Cinta emang penting, tapi bakal ada bosennya. Kalau jadi temen seumur hidup, hidup akan lebih santuy. Nampaknya omongan Nijat itu masih tersimpan rapi di kepala saya, bahkan jadi pertimbangan jika sedang kepikiran soal nikah. 

Tapi kan banyak juga yang nikah taárufan, baru kenal langsung akad, dan rumah tangganya adem-adem aja, itu gimana? Ya karena mereka gak pernah gamblang mencurhatkan hidupnya aja jadi kita gak tahu ada masalah apa yang mereka hadapi lantaran nikah sama orang baru kenal, ya kan? 

Kembali ke soal kenalan online, saya jadi ingat bahwa kita seringkali lupa sosmed itu punya dua sisi yang menghadap secara berlawanan. Satu sisi menghadap kita sebagai pelakunya, dan sisi lain menghadap orang lain sebagai teman bersosmed. Komunikasinya dua arah tapi arahnya bisa dikendalikan oleh salah satu pihak. Jika saya bersosmed untuk membahagiakan orang lain, yang dalam hal ini teman-teman online, maka apa yang saya lakukan di sosmed haruslah selalu mempertimbangkan pendapat orang lain. Harus menyambut setiap perkenalan dengan ramah padahal mah lagi gak mau kenalan, harus mempertimbangkan foto apa yang harus diunggah, caption apa yang harus dipilih, topik apa yang harus ditulis, dan sebagainya. Sisi yang mengarahkan publik ke saya sangat berpotensi membuat saya jadi orang yang palsu (fake) di sosmed. Tapi jika saya yang mengendalikan sepenuhnya sosmed yang saya miliki, artinya saya tidak perlu merasa bersalah ketika meng-unfollow seseorang, tidak membalas dm orang, selalu to the point meskipun terkesan sarkas dalam dm, saya ngerasa jujur jadi diri sendiri. 

Saya kira, menjadi diri sendiri sejak awal dalam membangun pertemanan, baik di dunia nyata maupun maya, adalah cara terbaik untuk mencari siapa yang sebenarnya bisa kita jadikan teman. Kejujuran yang ditampilkan di awal ini akan menjadi filter paling depan untuk menyaring orang-orang berdasarkan tujuan pertemanannya, ketertarikannya, kualitas obrolannya, ekspektasinya, termasuk kegoblokannya. Contohnya ini nih, hanya karena ada kata "goblok" di paragraf ini, akan otomatis menyaring orang-orang yang mau berteman dengan saya. Akan ada yang bertahan, tapi pasti akan ada juga yang mundur. Pasti.

Saya gak berharap ketemu jodoh online, meskipun gak menutup kemungkinan juga soal itu. Jodoh online itu penuh ketidakpastian, setidakpasti jamaah haji yang banyak saya temui, pada nawarin anaknya tapi sampai sekarang gak satupun ada menghubungi. Asem. 

03 April 2020.

Blog ini merupakan blog independen dan bukan blog bisnis. Jika kamu merasa blog ini memberikan manfaat, berikan dukungan kamu melalui KaryaKarsa agar ke depannya lebih banyak konten bermanfaat untuk dibagikan.  

          

Komentar