Serial Rise of Empires: Ottoman yang telah tayang di Netflix sejak 24 Januari lalu menjadi serial heroik semi dokumenter yang sayang jika dilewatkan. Serial enam episode ini bercerita tentang masa-masa penaklukan Konstantinopel di tahun 1453 M yang dalam catatan umat Islam, merupakan kota yang dicita-citakan sejak lama.
Konstantinopel, atau yang saat ini dikenal sebagai Kota Istanbul, punya letak geografis yang sangat strategis. Tak heran jika pada masa itu banyak orang berasumsi jika seseorang mampu menguasai Konstantinopel, ia telah menggenggam dunia di tangannya. Sayangnya bukan perkara mudah untuk merebut kota ini dari genggaman kuasa Bizantium. Secara struktur arsitektur, Konstantinopel punya benteng berlapis lima yang tebal, tinggi, dan kokoh. Setidaknya sudah 23 kali pasukan Utsmani melakukan usaha penaklukan kota ini, dan semuanya selalu berakhir sebagai kesuksesan yang tertunda. Benang merahnya adalah ke-23 pasukan itu selalu gagal di benteng Konstantinopel. Benteng itu terlalu besar dan kuat untuk dirobohkan dengan meriam-meriam yang biasa dibawa ketika perang. Bahkan saking putus asanya, orang-orang banyak mengatakan Tuhan pun belum tentu mampu merobohkan benteng tersebut. Sampai akhirnya Sultan Mehmed II naik tahta menjadi lelaki yang telah dijanjikan.
Di film ini, Sultan Mehmed II digambarkan punya watak yang keras kepala, ambisius, bermimpi besar, cerdas, dan punya siasat taktik yang tidak biasa bagi kebanyakan orang-orang yang berada di sekelilingnya. Ia menjadi Sultan pertama yang membuat meriam terbesar yang pernah ada pada masa itu. Tentu saja dengan logika semakin besar meriam yang dipakai, sebagai besar pula kemungkinan untuk merobohkan benteng Konstantinopel.
Berbagai strategi perang dilancarkan untuk merobohkan benteng kuat tersebut. Mulai dari serangan meriam besar, menggali terowongan bawah tanah, sampai mengangkut perahu ke atas bukit agar bisa berlayar di Teluk Tanduk Emas, sebagai satu-satunya titik dengan lapisan benteng paling tipis. Meskipun harus mengitari bukit yang tinggi, strategi ini benar-benar di luar prediksi musuh, memindahlan pasukan laut tanpa perlu melintasi jalur biasa yang memiliki penjagaan super ketat , dengan rantai besi yang tidak mungkin mampu dilewati kapal-kapal Utsmani.
Watak keras kepala Sang Sultan seperti mata pisau yang bisa menggiringnya pada kemungkinan menguntungkan, atau malah membuntungkan. Kadang kala ia terlalu gegabah dalam mengambil keputusan, terlalu tergesa-tergesa, sehingga watak itulah yang menyebabkan adanya keraguan dari orang-orang terdekatnya. Usianya yang relatif masih muda untuk memimpin sebuah emperium menjadi alasan tersendiri mengapa banyak dari menteri-menterinya sendiri yang tidak menaruh percaya pada sang sultan.
Di sisi lain, Kaisar Bizantium punya cukup rasa percaya diri yang tinggi untuk mempertahankan kota kesayangannya. Rekam sejarah telah membuktikan bagaimana kuatnya kota ini dari serangan umat Islam, merupakan alasan yang tidak bisa dipungkiri bahwa kota ini punya teknologi pertahanan yang tidak bisa diragukan. Ia juga cukup percaya dengan kekuatan para tentara bayaran dari Italia yang terkenal garang di medan perang. Meskipun di awal-awal kedatangan pasukan Mehmed, ia nampak ragu dan bimbang untuk mengatakan berani melawan. Ia terkesan lebih memilih mundur sejak awal dari pada harus mengorbankan banyak nyawa warganya. Namun keraguan itu tidak berlangsung lama berkat kuatnya pengaruh para menteri yang berada di sekelilingnya. Bahkan yang juga perlu diacungi jempol, ia bertahan sampai akhir, dan memilih untuk sama-sama mati dengan prajuritnya.
Film ini punya gaya penceritaan yang unik. Sutradara Emre Sahin menyajikan setiap plot dan alurnya tidak semata-mata murni menampilkan panggung para aktor, tapi juga menyisipkan para sejarawan dan penulis buku yang turut berbicara dan turut menjelaskan adegan-adegan tertentu. Para sejarawan dan pemerhati sejarah penaklukan ini hadir menerjemahkan kejadian, memberi atensi, menguatkan alasan-alasan di balik sebuah keputusan, juga turut mendeskripsikan sisi-sisi yang mungkin memang agak sulit digambarkan dalam laku lakon.
Jika sebelumnya pernah menonton film Fetih 1453 yang rilis tahun 2012 lalu, penonton akan membandingkan banyak hal yang nampaknya cukup punya perbedaan. Film Fetih yang berdurasi dua jam empat puluh menitan tentu saja tidak akan sebanding dengan serial ini yang punya enam episode. Akan tetapi, komparasinya bukan hanya soal durasi, tapi juga soal konten yang nampaknya punya perbedaan. Seperti penokohan Sultan Mehmed apakah masih lajang atau tidak, penggambaran sosok ibunya, cara ia mengambil keputusan, watak yang digambarkan, sampai ending yang disajikan pun punya perbedaan-perbedaan. Sehingga jika penonton belajar sejarah dari dua film ini, penonton akan sedikit dibingungkan akan fakta mana yang sebenarnya terjadi. Apakah lebih akurat cerita Fetih 1453, atau Rise of Empires: Ottoman?
Terlepas dari bagaimana kebenaran dari serial yang mengangkat sejarah nyata ini, film ini berhasil merangsang penontonnya untuk belajar banyak hal tentang sejarah, yang barangkali tidak akan semenarik jika tidak diangkat sebagai film.
Komentar
Posting Komentar