Menelusuri Perjalanan Psikologis Seorang "Pria yang Mencuci Piring"

Apa jadinya ketika seorang psikiater, yang notabene tukang ngobatin orang-orang sedih dan kehilangan, malah mengalami kesedihan dan kehilangan? Buku ini menawarkan perspektif menarik tentang proses berduka melalui pengalaman pribadi seorang psikiater, dr. Andreas Kurniawan, Sp.KJ., yang menghadapi kehilangan anaknya. Dengan gaya penulisan yang sederhana dan penuh makna, buku ini mengajak pembaca untuk menyelami dunia psikis seseorang yang berjuang untuk mengatasi kesedihan dan menemukan kembali kekuatan untuk melanjutkan hidup. Buku ini disusun dengan gaya yang mudah dipahami, menggunakan diksi sederhana yang cocok untuk kalangan luas. Meskipun penulis adalah seorang profesional medis yang akrab dengan istilah psikologi dan kedokteran, ia berhasil mengemas konsep-konsep tersebut dalam bahasa yang sangat mudah dipahami, sehingga pembaca dari berbagai latar belakang dapat menikmati dan mengambil manfaat dari pembacaannya. Secara struktur, buku ini terdiri dari 16 judul, yang secara berur...

Dari Cipadung ke Kairo


Success is not a place at which one arrives but rather the spirit
 with which one undertakes and continues the journey.

~ Alex Noble


Pada suatu sore, matahari mengantarkan saya pada sebuah kisah tentang hidup yang harus disyukuri, tentang menjadi manusia yang bermanfaat, dan tentang kemauan untuk memaksimalkan potensi. Manusia hidup dimulai dari mimpinya sendiri, meskipun dalam urusan bermimpi, ada yang benar-benar serius menjalani mimpinya, ada juga yang hanya benar-benar bermimpi dalam bermimpi. Bagi mereka yang serius menjalani mimpinya, ada banyak hal yang harus dilalui. Perjalanan mereka menuju tujuan tidak melewati jalan yang lurus dan mulus, justru melewati lorong-lorong sempit, gang berliku, bahkan rintangan. Selalu ada ketidaksempurnaan, ketika proses itu dijalani tanpa rasa syukur.

Menanam Cinta
Suatu hari saat libur semester genap, saya pernah menulis catatan ‘Mau Dibawa Ke Mana UIN?’. Sebuah curhat akademis yang dikait-singgungkan dengan visi misi kampus saya pada waktu itu. Waktu itu, dalam diri saya seolah tengah tumbuh rasa tidak bangga, kekhawatiran-kekhawatiran, hasrat tidak puas, tak terpenuhi, dan mengharapkan milestone yang jauh lebih besar dari pada yang ada. Idealnya, manusia hidup dengan idealismenya. Wajar, jika dalam banyak hal, psiko-idealismenya bekerja dalam banyak kesempatan, sebagai bentuk respon dari lingkungan yang mempengaruhinya. Tapi sejujurnya, tulisan itu saya tulis dengan cinta yang masih setengah hati, sehingga belum sepenuh jiwa raga rasa syukur itu hadir memenuhi tulisan saya. Sampai beberapa waktu kemudian, ketika Allah menghadapkan saya dengan suatu peristiwa, saya mampu mencintai kampus saya dengan sepenuh hati, jauh setelah tulisan itu selesai. Meski cinta itu datang terlambat, tapi saya merasa bahagia mampu menikmati matahari demi matahari selanjutnya yang terbit setiap pagi.
Di penghujung tahun, mimpi ‘lama’ datang menawarkan diri. Semacam seorang mantan yang minta balikan, dengan paras yang jauh lebih cantik dan senyum yang jauh lebih manis. Dengan beberapa pertimbangan, tanah Cairo berhasil saya jajaki dengan semangat dan cinta yang baru. Meminjam istilah dari Ahmad Farid, pergi mengunjungi tempat yang baru, tetapi meninggalkan tempat yang lama dengan cinta yang sama. Tidak ada yang berubah, tidak ada yang hilang, tidak ada yang perlu disesali. Ada banyak hal yang telah saya alami di UIN Bandung. Bagaimana mungkin harus meninggalkan bagian dari perjalanan hidup saya tanpa cinta. Bukankah hidup ini terlalu indah untuk tidak dicintai?


Dari Cipadung
Sebuah kamar berukuran 3x4 meter pernah menjadi tempat bermalamnya saya selama beberapa bulan. Lokasinya tak jauh dari kantor Desa Cipadung. Di samping desa ada sebuah sekolah dasar yang selalu ramai oleh anak-anak, ibu-ibu, dan pedagang kaki lima. Dari kamar itu, sedikit demi sedikit saya mulai menyusun hati untuk UIN Bandung. Seperti menyusun puzzle yang bertebaran tak beraturan. Setiap hari, selalu ada hal baru dan selalu ada alasan baru untuk mencintai tempat yang kita duduki saat itu.

Jam setengah enam sore ketika lampu-lampu jalan raya mulai menyala dan pedagang kaki lima mulai berjajar di sepanjang jalan A.H. Nasution, saya baru keluar dari gerbang kampus. Di pertigaan tepat sebelum kantor desa, saya bertemu Pak Dindin. Satu di antara sekian banyak orang yang membantu saya dalam merangkai ‘puzzle’ itu. Ujarnya, ia barus selesai mempertemukan seseorang dengan seseorang yang lain. Sejenis nyomblangin ala Doktor.  Seseorang dan seseorang itu dipertemukan di sebuah rumah makan, dibuka dengan percakapan akademis, dan mungkin sepulang dari rumah makan itu, mereka saling meninggalkan cincin di jari manis. Pak Dindin mengajak saya ke rumah orang tuanya di daerah Cipadung atas. Kami melewati jalanan yang menanjak sambil berbalas cakap tentang obrolan banyak hal. Salah satunya tentang pentingnya menjadi mahasiswa proaktif di kampus. Sesampainya di rumah, saya diperkenalkan dengan keluarganya. Ada ibunya, adiknya, juga buku-buku yang berjajar memenuhi rak dinding ruang tamu rumah itu. Saya telah mengenal Pak Dindin sejak beberapa bulan sebelumnya, tapi itulah kali pertama saya merasa bahwa Pak Dindin adalah orang baik yang menawarkan banyak kebaikan. Sejak saat itulah pula satu hal saya sadari bahwa hidup ini terlalu indah untuk tidak disyukuri.

Saya pernah menghabiskan sebagian waktu saya untuk menulis biografi Pak Dindin. Meskipun terkesan terburu-buru dan tidak semua bagiannya saya tulis dengan baik, tapi buku itu tuntas meski masih menunggu proses terbit. Tidak ada istilah profit profesional, tapi saya bahagia. Sebagaimana pepatah mengatakan, hobi akan membuatmu lebih ikhlas di jalannya. Saya menemukan passion saya saat itu, lebih dari sekadar istilah murid yang taat kepada muridnya. Itulah kali pertama saya menulis dalam jumlah yang banyak. Saya bahagia pernah melakukan itu. Dan Cipadung telah membantu saya dalam banyak hal. Di sudut kamar kosan, di kursi balkon, di bawah rindangnya pohon kampus, di ruang kelas yang kosong, di antara cepatnya jaringan Wi-Fi fakultas, dan di banyak suasana yang hanya dimiliki oleh Cipadung.

“Jejak Gagasan Dari Cipadung” adalah judul sebuah buku milik beberapa mahasiswa dan alumni yang pernah terbit dan hadir menghiasi atmosfer kampus UIN Bandung. Jika boleh meminjam, saya ingin meminjam judul itu untuk bagian dari tulisan ini. Cipadung telah menjadi lingkungan yang mengajarkan saya tentang banyak hal, salah satunya tentang makna ibda’ binafsik. Segala sesuatu itu harus dimulai dari diri sendiri. Ini bukan persoalan kamu mengubah kebiasaan atau akhlak, tapi tentang hal yang jauh lebih luas. Sebelum mencintai orang lain, haruslah mencintai diri sendiri terlebih dahulu. Karena tak mungkin mampu mencintai orang lain jika tak tahu bagaimana cara mencintai diri sendiri. Sebelum mengenal lingkungan orang lain, kenali dulu lingkungan sendiri. Sebelum mempelajari bahasa dan budaya orang lain, pelajari dan cintai dulu bahasa dan budaya sendiri. Ini fakta dan ini penting. Dari Cipadung, Allah mengenalkan saya dengan Senat Mahasiswa, Duta Bahasa, Fakta Bahasa Bandung, AIESEC, PCMI, dan banyak hal lain yang menuntun saya untuk mengenal dulu diri sendiri sebelum mengenal diri yang lain.

Ke Kairo       
Makna ibda binafsik itu mulai terasa ketika saya mulai mengenal Cairo secara lebih dekat. Dalam dada, ada sesuatu yang membara. Namanya nasionalisme.

Suatu hari jauh sebelum Allah beri saya kesempatan untuk bisa menikmati cantiknya pramugari di atas pesawat, saya pernah mengatakan, “ingin pergi meninggalkan Indonesia hanya untuk merindukan Indonesia”. Saya masih ingat kalimat itu, karena waktu itu saya tulis dengan doa yang menyala dan mimpi yang selalu terasa begitu dekat. Hal itu mulai membukti saat ini. Nama Indonesia menjadi begitu mengiang dalam telinga batin, ketika identitas saya sebagai orang Indonesia berada di antara orang-orang yang bukan beridentitas Indonesia. Hari pertama di kelas yang penghuninya terdiri dari beberapa Negara, kami merasa saling asing satu sama lain. Itulah kali pertama dalam hidup saya merasa bahwa Indonesia adalah saya dan saya adalah Indonesia. Apa yang saya lakukan dan apa yang saya katakan akan menjadi asumsi bagi mereka yang tak tahu negara saya.

Lalu hari demi hari berlalu dengan cara yang berbeda. Saya mulai penasaran untuk mengenal teman-teman asing yang duduk di samping saya, atau di depan, atau di belakang saya. Tapi di waktu yang sama, mereka juga penasaran untuk mengenal siapa saya dan segala tentang saya, Indonesia.  Sebagaimana pertanyaan orang asing pada umumnya, mereka menanyakan Indonesia tentang makanan khasnya, bahasanya, budayanya, cuacanya, dan kebiasaan masyarakatnya. Tentunya bukan hal yang mudah untuk mempresentasikan Indonesia dalam obrolan singkat ketika Duktur keluar kelas, atau ketika waktu istirahat. Indonesia terlalu luas untuk saya asumsikan dalam beberapa kalimat, dan saya terlalu sok tahu untuk mengatakan saya orang Indonesia yang tahu banyak tentang Indonesia.

Kembali ke ibda binafsik, bahwa belajar bahasa asing pun harus diawali dengan pemahaman yang baik terhadap bahasa sendiri. Karena pada dasarnya, bahasa adalah alat komunikasi yang sistematis. Jika sistem bahasa telah dipahami dengan baik, kiranya sistem pada bahasa lain  tidaklah jauh berbeda. Contohnya, Nahwu bukanlah hal baru dalam ilmu bahasa, karena jika saja paham, bahasa Indonesia juga memiliki sintaksis. Ada orang yang begitu bangga mampu khatam dalam Ilmu Nahwu, tapi tak pernah tahu Sintaksis. Ada orang yang begitu mementingkan Ilmu Shorof, sementara ia tak pernah mengenal Morfologi dalam bahasa Indonesia. Bahkan belajar Balaghoh pun terasa ‘hanya’ alih bahasa jika sudah paham Semantik dan Majas-majas yang secara komprehensif dimiliki oleh bahasa Indonesia.
Masisir adalah akronim dari Mahasiswa Indonesia Mesir. Jumlahnya cukup banyak dengan tingkat heterogenitas yang variatif. Mereka datang dari berbagai daerah di Indonesia. Karenanya, tidak sedikit dari mereka yang datang dari daerah langsung mengenal Cairo tanpa mengenal Jakarta terlebih dahulu (kecuali ketika ke Bandara untuk terbang menuju Cairo). Hal ini menjadi semacam kerikil dalam sepatu, di mata saya. Orang asing yang ingin tahu tentang ‘diri’ kita, tentu akan menanyakan Jakarta, sebagai ibu kota, dan bagaimana kehidupannya. Cukupkah berita televisi, pemberitaan media, dan sinetron yang tayang hamper setiap malam di seluruh penjuru nusantara, mampu mempresentasikan Jakarta dan kehidupannya dengan baik? Cairo adalah kota besar yang mulai menghiasi dirinya dengan pulas modernitas. Mal, metro, tempat hiburan, taman bermain, dan fasilitas kehidupan kota semuanya ada. Keadaan inilah yang dikhawatirkan akan melahirkan kalimat ‘di sini lebih baik dari pada di Indo’, karena tidak tahu banyak tentang kehidupan kota di Indonesia. Maka mengenal diri sendiri menjadi penting dalam banyak hal, sehingga nasionalisme yang selalu kita akui keberadaannya benar-benar hadir bukan hanya dalam lisan, tapi mendarah dalam darah dan desah.

Setidaknya dengan mengenal diri sendiri terlebih dahulu (artian diri yang sangat luas), saya bisa lebih tenang ketika mencoba untuk mengenal diri orang lain. Karena ketika saya bertanya suatu hal tentang diri orang lain, saya telah memiliki jawaban ketika ia bertanya hal yang sama tentang diri saya.

Selalu Ada Mimpi
Al-Azhar adalah sungai nil bagi syiar agama sejak lama, jauh sebelum bangsa Indonesia memiliki UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Ribuan mahasiswa dari seluruh penjuru dunia berdatangan untuk tinggal dan belajar di kampus tertua di dunia ini. Apa yang kali terbayang dalam pikiran dan perasaan ketika mendengar kalimat ‘ Universitas Al-Azhar adalah kampus islam tertua di dunia’? Setidaknya harus sekeren Oxford, Harvard, Cambridge, Bologna, dan sepatutnya lebih keren dari UIN-UIN yang ada di Indonesia. Sebagai manusia yang tak pernah tahu banyak tentang Al-Azhar dan Mesir, saya memiliki paradigma itu dalam otak dan benak. Tapi yang saya temukan benar-benar menghancurkan ekspektasi yang saya miliki. Al-Azhar tidak menganut Sistem Kredit Semester (SKS) dalam proses perkuliahannya, tapi masih menggunakan sistem paket. Artinya ketika lebih dari dua mata kuliah dalam satu tingkat tertentu dinyatakan belum lulus, maka mahasiswa harus mengulang tahun tersebut hanya untuk mata kuliah yang tidak lulus tersebut. Hal ini lah yang mengakibatkan banyak mahasiswa asing menyelesaikan strata satunya lebih dari empat tahun. Secara otomatis tidak ada istilah Semester Pendek (SP), Kuliah Percepatan, atau kondisi Indeks Prestasi (IP) menentukan jumlah mata kuliah yang dapat diambil.

Kedua, dosen Al-Azhar memiliki seragam khusus yang tidak bisa dipakai oleh selain mereka. Jadi bukan hal sulit untuk membedakan mana dosen, mana mahasiswa. Tapi seragam itu tak menjamin materi perkuliahan menjadi mudah dimengerti. Masih banyak di antara para dosen yang mengajar dengan bahasa ‘Amiyah (bahasa Arab Mesir) yang sulit dicerna bagi pemula.

Jika mengingat-ngingat lagi bagaimana kesalnya mengantri di Aula UIN pra-semester baru dimulai hanya untuk mengantri pengambilan Kartu Rencana Studi (KRS), saya suka senyum sendiri. Tepatnya, menertawakan kegetiran yang pernah dikesali. Kali ini ada antrian yang jauh lebih mengesalkan dari antrian dan desak-desakan berebut KRS di UIN. Staf kantor yang masih manual tulis tangan tanpa komputer membuat segalanya menjadi lama, ribet, dan terkesan tidak modern. Memang klasik, tapi tidak menarik. Bukankah dengan komputer, dengan internet, dengan teknologi, manusia menemukan cara hidup yang lebih mudah dan praktis. Saya tak bisa menyalahi hal ini, karena bagaimana pun, Al-Azhar pastinya punya alasan yang belum saya ketahui, mengapa belum melakukan komputerisasi dalam hal administrasi.
Ada saat di mana kita harus memposisikan diri sebagai orang lain dalam memandang suatu hal. Ketika saya menyusuri jalan-jalan di kota saya, Purwakarta, lengkap dengan bangunan-bangunan yang berada di sepanjang jalannya dan kehidupan masyarakatnya, saya dengan senang hati memposisikan diri sebagai turis asing yang mengunjungi Purwakarta. Pantaskah kota ini dikunjungi oleh tamu, dan kira-kira akan muncul kesan apa ketika melihat wajah kota ini. Begitulah cara saya berpikir ketika melihat Al-Azhar yang insya allah semua mahasiswanya muslim. Bagaimanakah pandangan orang-orang non-muslim ketika melihat Al-Azhar yang klasik dan terkesan anti-modernisasi? Saya ingin lembaga pendidikan islam dipandang dunia sebagai lembaga yang kredibel dan kapabel, sehingga akan banyak sekali orang, dalam hal ini yang belum mencintai islam, menjadi tertarik untuk mengenal islam, setidaknya dimulai dari lingkungan kampus pendidikan islamnya.
Seorang teman dari Nigeria pernah berkata ketika pembelajarana sedang berlangsung. Ujarnya, “jika saya bukan muslim dan mengunjungi Mesir untuk melihat kehidupan muslimnya, maka saya tak akan tertarik terhadap Islam”. Untunglah kalimat itu hanya ‘jika’, dan untungnya dia telah jadi muslim jauh sebelum menemukan lingkungan yang menurutnya tidak menarik. Dari awal gerbang kampus, satpam-satpam berdiri memeriksa satu per satu orang yang akan masuk area kampus. Bukan pemeriksaannya yang menegangkan, tapi senjata yang berada di punggung mereka menyiratkan kesan bahwa rasa curiga itu ada di lingkungan para ulama ini. Masuk kampus Azhar, saya dapati vandalisme di mana-mana. Dinding fakultas, toilet, trotoar, jendela, meja, ruang kelas, seakan-akan saya sedang tidak berada di sebuah kampus islam yang mengajarkan keindahan dan kebersihan.

Saya sejujurnya tak tahu kontribusi apa yang bisa saya lakukan untuk setidaknya memberikan usul agar kampus saya saat ini menjadi kampus terbaik di dunia. Setidaknya berada di posisi yang tak jauh dari ranking universitas terbaik di dunia. Saya ingin suatu masa dalam hidup saya mampu menemukan Al-Azhar sebagai kampus yang difavoritkan banyak orang bukan karena statusnya saja sebagai universitas islam tertua di dunia, tapi juga karena progresnya yang baik dalam rangka membawa perubahan berarti bagi dunia kita saat ini.

Epilog
Perjalanan hidup saya dimulai bukan dari Cipadung, tapi saya hanya ingin memulai catatan ini dari gagasan yang pernah tertinggal di Cipadung lalu terbawa sampai Cairo. Selalu ada mimpi yang baru dalam hidup ini, ketika kita mau menyempatkan diri untuk memaksimalkan potensi dengan syukur yang tak pernah luntur. Saya tak punya apa-apa selain pengalaman ini. Ini bukan karya ilmiah, bukan pula laporan penelitian. Ini hanya curhat. Angggap saja sebagai curhat. Wa allahu a’lamu bish-showab.


Komentar