Menelusuri Perjalanan Psikologis Seorang "Pria yang Mencuci Piring"

Apa jadinya ketika seorang psikiater, yang notabene tukang ngobatin orang-orang sedih dan kehilangan, malah mengalami kesedihan dan kehilangan? Buku ini menawarkan perspektif menarik tentang proses berduka melalui pengalaman pribadi seorang psikiater, dr. Andreas Kurniawan, Sp.KJ., yang menghadapi kehilangan anaknya. Dengan gaya penulisan yang sederhana dan penuh makna, buku ini mengajak pembaca untuk menyelami dunia psikis seseorang yang berjuang untuk mengatasi kesedihan dan menemukan kembali kekuatan untuk melanjutkan hidup. Buku ini disusun dengan gaya yang mudah dipahami, menggunakan diksi sederhana yang cocok untuk kalangan luas. Meskipun penulis adalah seorang profesional medis yang akrab dengan istilah psikologi dan kedokteran, ia berhasil mengemas konsep-konsep tersebut dalam bahasa yang sangat mudah dipahami, sehingga pembaca dari berbagai latar belakang dapat menikmati dan mengambil manfaat dari pembacaannya. Secara struktur, buku ini terdiri dari 16 judul, yang secara berur...

Mengenang Cinta di Sektor Istimewa



Suatu siang di lantai Masaa, seorang nenek yang tertinggal rombongannya minta diantar dan dibimbing sai yang katanya tak tahu harus bagaimana. Lalu saya memegang tangan nenek itu sebab kondisi kakinya yang cukup lambat untuk berjalan namun tak ingin menggunakan jasa kursi roda. Ingin berjuang, ujarnya. Di akhir perjalanan, ia menangis haru karena umroh wajibnya akan segera selesai. “Kamu bukan cuma nolongin ibu karena kepisah, tapi juga udah mau bantu nyempurnain ibadah ibu,” katanya sambil menangis. Itu merupakan salah satu ingatan yang membuat saya berkata pada diri sendiri, ya, saya berada di tempat yang tepat, di sektor yang tepat!

Abis itu si ibu ngasih uang 50 ribu rupiah. Saya makin kenceng bilang, ya! Saya berada di pekerjaan yang tepat! Haha ....

Pada mulanya, saya tidak begitu senang ditempatkan di Sektor Khusus Masjidil Haram akibat termakan omongan alumni Temus yang bilang bahwa Seksus adalah “wajib militer” bagi mahasiswa. Kerja fisiknya ekstra, sementara waktu santuynya tidak ekstra. Tidak sesantai mereka yang jadi bagian catering, jagain lobby hotel, nerima keluhan AC gak nyala, atau nyeklis bis tayo udah lewat atau belum. Tapi setelah dijalani, opini itu bisa benar bisa juga tidak. Benar, jika kita termasuk orang-orang yang mageran, males-malesan, orientasi jadi Temus bukan buat nolong jamaah tapi dagang hagar, apa-apa mengeluh, dan mungkin kebetulan ketika dia di Seksus dulu, ia tidak menemukan petugas cantik di dalamnya. Temus tanpa petugas cantik bagai umroh tanpa tahallul: gak sah. Bisa juga tidak, jika orangnya suka menolong, terbiasa kerja fisik, tidak suka mengeluh, dan setengah dari badannya terbuat dari power bank. 

Tapi justru berkat Seksus, saya jadi belajar ngatur waktu. Kedisiplinan. Kayaknya 24 jam itu bener-bener termanfaatkan dengan baik. Kapan kerja, kapan nyuci, kapan tidur, kapan leha-leha. Sebelum masuk Seksus, mana ada hidup saya seteratur itu. Pokoknya segala sesuatu selama bisa diundur, santai aja. Sementara di Seksus, segalanya harus terencana. 

Saya punya beberapa cerita kebersamaan ketika bertugas di Seksus, yang nampaknya terlalu sayang jika tidak diabadikan. Misalnya begini. Suatu hari saya pernah sai berkali-kali karena ngantar jamaah jompo. Padahal baru setengah hari dan di Masjidil Haram aja, tapi hitungan di ponsel, saya sudah berjalan lebih dari 12 kilometer. Maklum, petugas newbie, semua keinginan jamaah diturutin terus dan waktu itu masih minggu-minggu pertama, belum punya strategi kerja. Lalu saya menepi ke Pos Marwah, ceritanya mau istirahatin betis. Ada dr. Udi Suhono di sana, menyambut dengan senyuman. Waktu itu saya dikasih minum lalu ia menepuk pundak saya seolah berkata, selow aja le, kamu gak sendirian menanggung pekerjaan ini. Ya Allah, akhirnya ada yang perhatian juga ke aku..... Lalu di hari berikutnya, dr. Udi traktir saya makan. Oh, aku baper sama dr. Udi wkwkwk 

Kebetulan dr. Udi ini dokter ahli bedah, jadi sering-sering lah saya konsultasi bagaimana cara membedah masa lalu mantan.... atau bagaimana cara menghilangkan rasa sakit akibat ditusuk dari belakang oleh seseorang yang selama ini dianggap teman. 

Di siang yang lain, saya pernah jaga di Pos 3. Maksudnya Lantai P3 Zamzam Tower hehe.... dengan mbak-mbak Seksus yang belum ada cincin kawinnya. Dua bulan jaga di P3, nampaknya itu food court terasa kurang luas, makanannya kurang variatif. Dari yang awalnya eksaitid, lama-lama jadi bosen. Hampir di setiap toko, kita meninggalkan kenangan. Selama “rapat internal” di P3 itulah, saya ngerasa bahwa Seksus ini bukan sekadar bertemu karena tugas lalu tuntas. Saya punya kakak(kakak-an) baru yang kadang suka tiba-tiba curhat, tiba-tiba ngasih nasihat bijak berdasarkan pengalaman hidupnya, atau sekadar bergosip ngomongin Kaseksus (Kepala Seksus), Katim (Ketua Tim), atau ngomongin petugas lain.

Di minggu kedua tugas, saya langsung punya “ibu mertua”. Namanya Bu Nanik. Saya lupa awalnya gimana, intinya saya cukup punya pesona untuk jadi menantunya wkwkw. Dia manggil saya “anak mantu”, saya manggil dia “ibu mertua”. Bercandaan sepele, tapi justru kesepelean ini yang menjadi bibit suburnya ikatan emosional di antara kita. Cuma yang jadi perkara, kita sering manggil-manggil pake nama itu di depan ka'bah, di Masjidil Haram. Kalau sama Allah diangap doa gimana ya? Masalahnya anaknya dia masih SMP ..... Cocok buat istri kedua, sebenarnya. 

Sama seperti kebanyakan ibu-ibu lainnya, Bu Nanik suka ceritain kelakuan anaknya, aktivitasnya di sekolah, kebiasaan sehari-hari sebagai Polwan, ngenalin saya ke bapak mertua kalau pas video call, ngasih motivasi bisnis ternak ayam, traktir makan tiap kali catering petugas menunya ikan atau cuma terong rebus, atau... ya nganter belanja oleh-oleh. Sampai akhir masa tugas, saya gak pernah tau anaknya Bu Nanik ini macam mana. Tak pernah lihat fotonya sekalipun. Perjodohan macam apa ini? Jangan-jangan ini prank ....

Di hari lainnya ketika selonjoran di Lantai M Hotel Jad, Pak Wakasesus bercerita tentang kisah asmaranya. Wah ini seru nih, pikir saya. Saya jadi ingat seminar TedX tentang Talk to Stranger yang katanya salah satu ciri seseorang mulai menyimpan kepercayaan adalah dengan berbagi kisah pilunya. Kisah Pak Juhri bukan kisah pilu sih, tapi setidaknya ada bagian dari hidupnya yang sukarela ia bagikan ke saya. Aku terharu. 

Di hari terakhir saya di Saudi, saya bersama tiga teman menjadi kloter pertama yang pulang ke Mesir. Waktu itu kami pamitan sama Hasan-Husein-Ali via whatsapp, tiga kakak beradik kesayangan Seksus. Eh mereka ingin ketemu dulu di bandara, katanya. Karena waktu yang mepet dan sok rusuh menjelang kepulangan, saya minta tolong ke Hasan untuk beliin Albaik kalau lewat restorannya. “Beli dua, ya!” Pesan saya setelah menghitung sisa riyal yang ada. Lalu Kita bertemu di bandara dan serah terima Albaik. Masyaallah, uangnya gak mau diganti! Euh, tau gini mah tadi pesen lima box. 

Tak lama setelah itu, orang kedutaan yang ngantar kita sudah pulang duluan sementara konter check in belum buka. Pas setelah buka, ternyata kita gak bisa check in karena alasan visa haji harusnya dari terminal haji, bukan terminal internasional. Dilobi kek manapun, si Arab tukang check in itu gak mau ngasih. Lalu Hasan-Husein yang melakukan negosiasi, bahkan sampai ke petugas imigrasi di bagian dalam. Setelah sekian waktu, di mana orang-orang pesawat kita sudah hampir semuanya check in, alhamdulillah kita bisa check in juga tanpa harus pindah terminal yang jauhnya masyaallah. 

Di momen berikutnya, masalah masih ada. Bagasi tiga temen saya over. Mungkin kebanyakan bawa kecap sama kopi, jadinya over. Mohon maklum, itu barang langka di Mesir. Oleh-oleh haji buat anak Mesir biasanya memang kecap sama boncabe, bukan barang-barang Suq Jafary. Bagasi yang over itu, lagi-lagi jadi kesempatan berbuat baik buat Hasan-Husein. Bahkan sampai mereka bayarin lagi dan gak mau diganti. Hasan, Husein, kalian sempurna banget sih jadi cowok ..... 

Di akhir perjumpaan, setelah kita semua terharu dengan kebaikan mereka, mereka cuma mau diganti kebaikannya dengan doa. Mereka belum nikah loh! Mereka yang duitnya banyak aja belum nikah, apa kabar kita yang mencoba ganteng aja masih gagal, mencoba humoris, masih gagal juga. 

Ada banyak kisah lain yang punya kesan sangat mendalam, namun tidak mungkin cukup untuk ditulisakan terperinci satu per satu. Ada Mbak Anis yang baik hati, Mbak Dwi yang sering ngajak makan, ada Mas Karim yang ngajarin gimana caranya jadi suami beristri dua, ada Pak Bangun yang sering main ke kamar, dan banyak lagi. 

Jauh sebelum berangkat Temus, saya berpikiran bagaimana jadinya jika Temus ini hanya akan terjadi sekali seumur hidup. Bukan Temusnya, tapi lebih ke hajinya. Sebab kata guru saya, kesuksesan seseorang dalam sehari dapat diukur dari salat lima waktunya, kesuksesan dalam seminggu dapat diukur dari kualitas hari jumatnya, kesuksesan setahun diukur dari kualitas ramadannya, sementara kesuksesan seumur hidup diukur dari hajinya. Berarti moment Temusnya. Apakah jika selama Temus saya mata duitan, di hidup-hidup berikutnya saya akan tercap sebagai mata duitan? Apakah jika selama Temus kerjaannya mengeluh, hidup saya akan terukur sebagai tukang mengeluh? Bagaimana jika saya hanya jadi toxic? Oh.... 

Saya berdoa semoga suatu hari nanti bisa kembali menemukan momentum saya bisa ketemu banyak orang hebat, dan mampu menolong banyak orang. Seriusan, nolongin jamaah haji itu membahagiakan banget. Bukan soal materi, duit, atau tawaran jadi anak mantu, tapi mampu nolongin jamaah bisa ngelaksanain cita-citanya adalah hal yang bikin nyes di hati. Jauh lebih bahagia dari nilai tukar apapun.

Saya mau berterima kasih kepada teman-teman Seksus, karena telah membuat dua bulan dari hidup saya punya makna. Petugas Jakarta sepulang tugas langsung pada kerja lagi, aku mah kembali jadi pengangguran. Biar gak nganggur, ajakin maen dong! 

08 Oktober 2019

Komentar

  1. Aku.... Terharuuuu... Masukin donk ke Group Serikat Air Mata😂😂😂🤣🤣😢

    BalasHapus
  2. Semoga sukses terus ya mang maul

    BalasHapus

Posting Komentar