Menelusuri Perjalanan Psikologis Seorang "Pria yang Mencuci Piring"

Apa jadinya ketika seorang psikiater, yang notabene tukang ngobatin orang-orang sedih dan kehilangan, malah mengalami kesedihan dan kehilangan? Buku ini menawarkan perspektif menarik tentang proses berduka melalui pengalaman pribadi seorang psikiater, dr. Andreas Kurniawan, Sp.KJ., yang menghadapi kehilangan anaknya. Dengan gaya penulisan yang sederhana dan penuh makna, buku ini mengajak pembaca untuk menyelami dunia psikis seseorang yang berjuang untuk mengatasi kesedihan dan menemukan kembali kekuatan untuk melanjutkan hidup. Buku ini disusun dengan gaya yang mudah dipahami, menggunakan diksi sederhana yang cocok untuk kalangan luas. Meskipun penulis adalah seorang profesional medis yang akrab dengan istilah psikologi dan kedokteran, ia berhasil mengemas konsep-konsep tersebut dalam bahasa yang sangat mudah dipahami, sehingga pembaca dari berbagai latar belakang dapat menikmati dan mengambil manfaat dari pembacaannya. Secara struktur, buku ini terdiri dari 16 judul, yang secara berur...

Cuma Ustadz-Ustadz Biasa




Di Mesir, semua mahasiswa Indonesia dipanggilnya ustadz/ustadzah. Semacam kalau tua otomatis dipanggil bapak/ibu, begitupun jadi Masisir bakal auto dipanggil ustadz/ah. Ustadz adalah kata sapaan yang lumrah dipakai kepada siapapun, bahkan menjadi sapaan teraman untuk memanggil orang yang tidak diketahui namanya. Malah dalam kondisi gak bisa bedain mana mahasiswi mana bukan, TKW juga dipanggil ustadzah. Lagian mahasiswi sekarang banyak yang menor juga sih jadi susah bedain. *eh

Secara literlek, ustadz berarti guru. Dalam tatanan strukturan akademis, ustadz berarti profesor, gelar akademik untuk guru besar. Tapi dalam buku bahasa amiyyah pun, ustadz lazim digunakan sebagai kata sapaan bermakna tuan/pak/sejenisnya untuk orang yang disegani. Kalau ditarik ke pemaknaan Indonesia, ustadz tentu saja berarti guru agama, ahli fikih, cendekiawan muslim. Nah, kira-kira definisi ustadz yang dipakai Masisir masuk ke pemaknaan yang mana? Ikut yang ada atau punya pemaknaan lain? 

Meskipun semua Masisir saling ustadz mengustadzkan,  panggilan ustadz ini gak selamanya melekat pada diri Masisir. Seiring berjalannya waktu, ada Masisir yang akan terus dipanggil ustadz, ada juga yang tidak. Saya sendiri, misalnya, sekarang lebih sering dipanggil Mamang dibanding Ustadz. Jiwa ustadzku sudah luntur sejak lama dan lebih cocok jadi mamang-mamang nampaknya. Hanya orang baru aja yang biasanya manggil Ustadz. Ada juga yang dulunya dipanggil ustadz/ah, sekarang dipanggilnya Abang, Pak, Mbak, Mas, Kak,  Akang, Teteh, Bunda Fulan (biasanya mahasiswi tua yang udah mamah-mamah), Umi Fulan,  dan sapaan lainnya yang disesuaikan dengan karakter tertentu, pencapaian tertentu, atau keputusan personal yang pengennya dipanggil bukan dengan sapaan ustadz/ah.  Ada juga awalnya dipanggil ustadzah lalu lama-lama dipanggil sayang. Tapi biasanya gak bertahan lama. Tuh contohnya si .... ah banyaklah.

Yang bertahan dipanggil ustadz dari awal sampai akhir biasanya khusus buat orang-orang yang emang beneran berjiwa ustadz, yang di hidupnya hanya ada jadwal ngaji, kuliah, diskusi, dan wallpaper hapenya jadwal talaqi. Kalau ciri-ciri itu gak ada, ciri lainnya adalah sering ceramah di status whatsapp, atau ngasih review kitab, repost video renungan, atau versi ekstrimnya, dia nulis sendiri gelar ustadz di bio Instagram. Sudah ustadz sejak dalam akun sosmed. Tapi kalau  sejak Maba sudah keliatan barbar, boro-boro dipanggil ustadz. Temen sendiri aja paling manggil dia “cuk”. 

Anehnya, sekeren Pak Quraisy Shihab aja gak dipanggil ustadz. Mungkin dulunya waktu tinggal di Asrama Buuts dipanggilnya ustadz, tapi lama-lama enggak. Kira-kira karena kebarbaran apa ya beliau? Huehehehehe… 


Sebenarnya sejak awal jadi orang Mesir, saya gak obsesi dipanggil ustadz. Saya lebih obsesi dipanggil "sayang", sebenernya. Atau “Beyb”.  Tapi sejauh ini masih jadi cita-cita besar. Alasannya gak mau dipanggil ustadz  karena saya ngerasa bukan ustadz sendirian di Masisir. Kalian semua ustadz, aku kotor! Kayanya temen-temenku udah pada lancar baca kitab gundul sejak dari zigot, sementara aku ngeharokatin rojulun dan rojlun aja pernah keliru dan malu diketawain duktur. Selain faktor itu, kayanya jadi ustadz itu bebannya berat banget. Bukan soal keren-kerenan, tapi tanggung jawabnya warbiyazza. Bahkan waktu di Makkah kemarin, tiap kali ketemu jamaah dan ngaku sekolah di Mesir, pasti dan hampir selalu pasti kita disama-samain dengan Ustadz Abdus Somad. Cuma gara-gara ngaku adik kelasnya UAS, jamaah langsung minta fatwa tentang masalah hidupnya. Mending kalau pertanyaannya seputar wudu jadi batal atau enggak kalau kentut, ini pernah ada yang tanya tentang hukum suami yang nolak kalau istrinya lagi pengen. Ya Allah, jomblo ditanya beginian …. 

Sejak sering disama-samain dengan UAS atau TGB, saya gak pernah ngaku anak Mesir lagi. Apalagi sampai nulis-nulis di sosmed cuma demi menaikkan rating atau nambah pengikut. Bukan gak bangga, tapi takut aja nambah beban hidup. Tanpa itu aja beban kesepianku sudah cukup berat, masa mau ditambah lagi. Pundakku tak sekuat tukang bagasi yang jatah kabinnya 7 kilo, bawanya 20 kilo. 

Tapi dipanggil ustadz ini ada untungnya. Ada manfaat psikologis bagi Masisir. Sapaan ustadz/ah itu semacam peci atau kerudung yang nempel di kepala. Ia bisa jadi pengingat supaya kita tetap di jalan kebaikan. Gak mungkin kan pake peci/kerudung masuk klub malam? Ya semacam itulah. Ketika lagi di bus ngelamunin hal-hal maksiat lalu tiba-tiba ada yang manggil “ustadz!”, seketika kita sadar bahwa “oh iya, gue harus jadi ustadz. Gak boleh mikirin yang aneh-aneh.” Atau ketika lagi duduk-duduk di taman sama ughtie-ughtie, biasanya di taman-taman Cairo yang jauh dari Masisir biar gak ketauan, lalu tiba-tiba ada yang manggil “ustadzah!”, seketika itu juga harusnya jadi pengingat bahwa, masa iya udah jadi ustadzah tapi berani gandengan tangan di tempat umum. Jangan di tempat umum, dong! Di bioskop aja yang gelap! *eh *loh 

Saya punya temen tapi kelakuannya kaya karbon dioksida. Kata dia, ada satu cara gimana caranya biar bisa tetep modus-modus asik tapi kita tetep bisa dipanggil ustadz/ah dengan nyaman. Caranya, kamu jadi mahasiswa yang berpenampilan rapi kaya ustadz-ustadz, minimal punya baju koko rabbani lah, nilai gak perlu bagus-bagus amat yang penting keliatan punya otak yang meyakinkan, udah tingkat akhir atau S2, lalu buka bimbel private khusus akhwat. Katanya, cara ini efektif untuk bisa modus ke ughtie-ughtie, tanpa harus keliatan lagi modus atau bahkan kehilangan wibawa keustadzan. Plus, bimbel privatenya di homestay biar nanti seminar-seminar tentang “interaksi lawan jenis” makin sering. *loh

Duh, apa saya harus menempuh cara itu supaya bisa dipanggil sayang? 

28 Oktober 2019.

Komentar

Posting Komentar