Keluarga saya tidak melarang, tapi lebih ke mengingatkan bahwa nikah itu bukan cuma perkara punya konco turu. Kalau cuma sekadar biar gandengan di jalan, gandeng aja tangan si Nurai atau Zacki. Rasanya sama aja kok, cuma agar kasar dan berurat aja. Kalau Zacki ada bulunya. Yang mulus tangannya Salman, tapi rambutnya bau matahari. Persis definisi cabe-cabean.
Lagian, rasanya terlalu hina jika pernikahan hanya bertujuan untuk menaklukkan syahwat saja. Ada tujuan lain yang lebih besar dari dibangunnya sebuah rumah tangga. Menyempurnakan agama, menyiapkan generasi mendatang yang kompeten dan bermanfaat buat umat. Kira-kira begitu hasil seminar pernikahan Pak Cahyadi via live Ig yang saya simak. Anjayy, agak berbobot nih paragraf gue.
Dan benar saja, selang beberapa waktu setelah memikirkan tentang alasan-alasan kenapa orang tua saya belum ngizinin nikah, saya sadar bahwa bisa jadi, keinginan nikah itu datang hanya sebagai nafsu, bukan karena sudah butuh akan pernikahan. Ya gimana gak pengen nikah ketika temen seangkatan udah pada nikah, udah pada bikin stories gambar USG, upload video anaknya belajar ngomong, dan sebagainya. Apalagi kalau satu geng nongkrong udah pada nikah dan kita belum sendirian, itu nafsu pasti tergoda untuk mengalami hal yang sama. Lagian, Masisir juga suka panikan kalau temen seangkatan ada yang pulang dan nikah. Bilangnya, wah angkatan gua banyak yang pada kawin nih! Seberapa banyak sih? Kalau seangkatan ada 200 orang dan yang nikah ada 10 pasang, itu hanya 10% dari populasi, gak banyak. Angkatan saya aja di KPMJB sekitar 18 orang, yang udah nikah baru lima orang. Lima dari delapan belas, gak memenuhi quorum! Ada Haji Adhi wacana nikah sejak lama tapi gak jadi mulu. Udah haji, Lc., masih aja jomblo. Duh, Adhi!
Bahkan dari keseluruhan 6000an Masisir, berapa sih jumlah yang sudah nikah? Nyampe sepertiganya gak? Kalau kita bagi jadi dua kategori, yang studinya gak lancar banyakan dari tim yang udah nikah atau tim yang belum nikah? Seandainya outline itu jadi pondasi dasar buat Rofiah nyusun opini, gak perlu tuh orang rame-rame ngomongin nama Rofiah, bahkan kayanya gak harus juga saya posting tulisan ini.
Mari kita bicara soal isi kepalanya Teh Rofiah yang baru mempertanyakan, apakah nikah muda menghambat studi? Wait! Jangan panggil dia Teh. Panggil dia Dek. Gue lebih tuaaaa….. Sebelum ke sana, saya ingin mengulang kelas menulis opini yang pernah saya isi suatu hari. Opini yang bagus berangkat dari topik kontroversial. Kontroversi dalam opini artinya mengandung pro dan kontra. Setelah ada topik kontroversi, lalu tentukan sikap, mau jadi pro, kontra, atau komparasi keduanya? Dalam tulisannya Rofiah tentang kontra nikah muda yang baru tayang langsung hilang itu, Rofiah memilih kontra. Di tahap ketiga setelah punya sikap, penulis harus menyiapkan paragraph supporters agar opininya kuat dan sulit dibantah. Suporter itu bisa berupa data, hasil survey, jurnal, statistik, berita media massa, ayat Alquran, hadis, kalam ulama, pengalaman pribadi, isu sebab-akibat, foto/video, kutipan wawancara, atau perkataan tokoh tertentu yang bisa dijadikan pegangan. Asal jangan perkataan Fathul aja, sebab orang galau susah dipegang omongannya. Sering halu.
Ketika Rofiah mengatakan bahwa emak-emak muda yang ke Mesir pengen belajar tapi nikah itu pada lupa niat belajar, maka harusnya didukung suporter. Bener gak mereka pada lupa niat belajar? Kata siapa? Ada bukti empiris? Niat yang dimaksud adalah niat yang diajarin guru ngaji waktu SD dulu apa pegimana? Maksudnya belajar di sini apakah kuliah di kampus, talaqi, apa gimana? Sekalipun sudah ada data pendukung, seperti kisah emak muda yang suka telat masuk kuliah atau rosib karena sibuk ngurus anak, data itupun masih belum cukup karena satu sampel tidak bisa dijadikan standar untuk menilai populasi emak-emak muda Masisir yang komunal. Calon ketua Wihdah yang hanya dua orang aja bisa debat panjang karena beda isi kepala dan beda karakter, apalagi seluruh emak-emak Masisir yang banyak, masa mau digeneralisasi oleh contoh yang cuma satu sampel? Ingat! Ini emak-emak! Jangan main-main sama emak-emak! Polisi lalu lintas aja suka keder sama emak-emak.
Contoh nyata di depan mata yang luput dari opininya Rofiah, Emak Rifaatul Mahmudah yang sudah selesai S1 tepat waktu, sudah punya anak yang cantik dan lucu, dan dagang bakso yang enak nan laku. Kenapa emak satu ini terlupakan ketika menulis tulisan itu, Ropiaaaaaahh? Ada lagi Teh Iin Suryaningsih, Masisirwati idola saya dalam belajar. Beliau sudah nikah, kuliah S2 dan S3 sampai selesai. Tepat waktu dan cepet! Bisa dibilang paling cepet dibanding teman-temannya yang waktu itu sama-sama S2 dan S3. Meskipun studi lancar, anak dan suaminya tetap terurus kok. Lalu siapa lagi ya? Ah, aku gak hafal banyak contoh-contoh yang lain, bukan spesialis mahasiswi yang sudah emak-emak …. *loh
Lagian ya, definisi menuntut ilmu juga bisa sangat kompleks dalam sebuah tulisan opini. Jika bagi Rofiah, menuntut ilmu sama dengan masuk kuliah di Azhar dan lulus 4 tahun, maka bagi saya, pasangan yang lagi belanja sayur di pasar juga bisa jadi sedang menuntut ilmu. Bisa jadi kan di tukang sayur mereka lagi menafakuri penciptaan sebuah terong, bertadabur kenapa Allah hadirkan Bashol dan Adas dalam ayat Alquran, atau minimal ngafalin mufrodat seputar pasar sambil tebak-tebakan, “Aa, terong terong apa yang badinjan?”, lalu si Aa-nya bingung tapi girang.
Atau kalau pasutri lagi senderan di bis, bisa jadi itu juga sambil senderan sambil murojaah juz amma. Itu juga menuntut ilmu. Bahkan secara lebih luas, berumah tangga juga bisa disebut menuntut ilmu. Perempuan belajar jadi istri, laki-laki belajar jadi suami. Saya yakin, meskipun belum ngalamin, jadi suami istri itu butuh ilmu dan dengan berumah tangga, keduanya jadi belajar dan saling mencari ilmu untuk memenuhi kebutuhan itu. Jadi, niat belajar versi mana yang terlupakan oleh para pelaku nikah muda itu?
Meskipun saya sering dibully jomblo oleh orang-orang yang sudah nikah, tapi tenang, kali ini saya ada di pihak kalian! Saya bantu utarakan meskipun tak mungkin bisa tersampaikan sepenuhnya. Tapi bukan berarti tulisan ini menyudutkan Teh Rofiah. Eh, Dek Rofiah. Semangatnya untuk menulis dan berpiki kritis harus didukung oleh semua pihak. Lagian santai aja sih seharusnya, yang pada julid nyinyir dan hujat itu biasanya juga cuma di kolom komentar, di grup whatsapp, di obrolan-obrolan non ilmiah. Giliran disuruh bikin opini yang sebanding sebagai bantahan, mereka pada mingkem. Komunikasi literasinya gak seimbang. Mulai sekarang Dek Rofiah panggil aku Kakak aja, ya. Aku kan seniormu. Urusan nulis opini, aku lebih dulu. Urusan ngebet pengen kawin, aku lebih dulu. Urusan baper lihat pasangan gandengan, saya lebih dulu. Urusan ditinggal kawin, aku udah pernah. Urusan opininya dihujat dan ditarik lagi dari blog, aku lebih dulu. Kamu dibully pasangan yang udah pada kawin, aku dulu dihujat satu angkatan. Siapa yang lebih pedih dari hidup kita berdua? Oh akhirnya, Rofiah, kita menemukn kesamaan. Belajarlah banyak dariku, ya. Selain soal opini dan asmara yang ambyar, aku juga bisa ngajarin kamu cutterme kok. Kalau mau belajar lebih banyak, ta’aaal ma'ayaa ilal markaz!
30 Oktober 2019.
Mau diajarin Cutteme private dong Mang
BalasHapusMantap mang maul al-hagg musy al-haggar jahannam wallaah
BalasHapusHallo Dek Rofi'ah, ngobrol² skuy.
BalasHapusSemoga dia melihat komenan ane :)
Sudah ane DM IG nya dan tidak direspon sama si adik 😭
BalasHapusRequest mang, Judulnya diganti:
BalasHapus"Ada Apa dengan Rofiah?"
Sebentar lagi 'rofiah' bakal jadi julukan buat orang yg suka nyinyir🤭
BalasHapusMang maul, awas cinlok sama ropiah mang!
BalasHapusCiee yg banyak kesamaan sama ropiah
BalasHapusJangan dibully oi..ntar joker punya saingan.🤭
BalasHapusAduh kakak, yang punya nama Rofiah jadi tertegun nih, antara kesel dan pengen ketawa 😅
BalasHapusMang, tulisannya Ropiah yg mana sih?
BalasHapus