Suatu hari Farid berkelakar bahwa alasan dia putus dengan pacarnya adalah karena sudah tidak deg-degan lagi. Begitupun dengan alasan belum pacaran lagi, atau belum mau menikah, karena belum menemukan seseorang yang bisa membuatnya degdegan. Lalu bagaimana jadinya untuk mempertahankan hubungan yang tidak mungkin bisa putus tapi tidak deg-degan lagi?
Lalu saya beranalogi soal bantal yang empuk. Saya bilang ke Farid bahwa kadang kala, atau sering kali, cewek itu seperti bantal empuk yang awalnya nyaman untuk disandari tapi lama-lama gak kerasa lagi empuknya. Kecuali setelah kita bangun sejenak, tinggalkan dulu kasur, lalu balik lagi ke bantal itu. Biasanya akan kembali terasa di mana empuknya.
Ngomong-ngomong kenapa saya punya analogi itu ya waktu itu? Sefakboy itukah otakku?
Terlepas dari soal asmara, sebenarnya ada ketakutan lain yang khawatir sekali akan kehilangan keempukannya, atau kedeg-deganannya. Ketakutan terbesar saya adalah tidak deg-degan lagi ketika bertemu dengan kabah. Ketika saya menatap kabah hari ini, rasanya tidak segemetar ketika hari pertama saya melihat kabah, sejujurnya. Tentu saja saya takut, ketidakgemetaran ini adalah petaka yang menyusup tanpa sadar.
Pertanyaannya, mana mungkin saya harus meninggalkan dulu kabah demi supaya degdegan dan gemetar lagi seperti hari pertama melihatnya? Bagaimana jika saya memang tidak Tuhan beri kesempatan lagi untuk mengunjungi kabah selain hari ini?
Lalu katanya, jika sudah mulai muncul rasa bosan mencintai suatu hal, kembalilah ke alasan kenapa kamu mencintainya untuk pertama kali. Saya memikirkan hal itu, dan menemukan jawabannya pada jamaah haji yang datang setiap hari dengan cerita yang berbeda-beda. Ada alasan-alasan yang tidak hadir dalam diri sendiri, tapi alasan orang lain lah yang menyadarkan diri sendiri untuk turut bergetar. Semacam resonansi.
Misalnya ada ibu-ibu asal Cianjur yang katanya nabung ongkos haji dari upah kuli cuci piring. Cerita ibu ini mengesankan sekali, karena ada banyak definisi bahagia yang bagi saya nampak biasa, tapi menjadi luar biasa baginya. Misalnya pengalaman naik eskalator, naik lift, tinggal di kamar hotel di lantai 8, melihat banyak orang asing yang bahasanya berbeda-beda, dan sebagainya. Saya mendengarkan kisah ibu ini sepulang mengantarnya sai dengan motor listrik di lantai tiga Masjidil Haram. Seru sekali, sekaligus haru.
Ada juga cerita seorang ibu asal Purwakarta yang delapan tahun lalu mendaftar haji dengan suaminya. Namun siapa kira, suaminya meninggal dunia tahun lalu, tepat ketika mendapat kabar bahwa tahun ini adalah tahun yang dinanti-nantikannya. Setiap kali ia pergi ke Masjidil Haram dan melihat pasangan suami-istri berbarengan melaksanakan ibadah, ia hanya bisa menangis membayangkan mendiang suaminya. "Insya Allah bapak juga hadir di sini," satu-satunya kalimat yang belakangan sering saya ucapkan ketika menanggapi kisah-kisah serupa yang saya dengar dari jamaah.
Ini sudah minggu keempat saya bertugas di Masjidil Haram. Setiap hari selama hampir empat minggu ini saya bisa menikmati indahnya sujud di Masjidil Haram. Doa saya minggu ini adalah, semoga Allah kekalkan rasa degdegan di hati, tiap kali menghirup napas di tempat suci ini, sedegdegan ketika pertama kali mengunjunginya.
03 Agustus 2019
Komentar
Posting Komentar