Jika bapakmu nanya tentang pekerjaanku seperti apa di Mekah, jawab aja bahwa dia adalah rojulun yata'allaqu qalbuhu bilmasaajid. Ahli masjid, setiap hari, minimal selama dua bulan dalam hidupnya, karena Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi menempatkannya di Sektor Khusus (Seksus) Masjidil Haram.
Katanya, di Mekah itu bakal ditampakkan kebiasan-kebiasaan hidup di masa lalu. Dan soal ditempatin di Seksus ini, kayanya ini peringatan deh dari Allah sebab selama ini males ke masjid. Soalnya kata temen saya, banyak Temuser Masisir yang suka kecanduan main mobil-mobilan di PUBG, di Mekah pada ditempatin di bagian Transportasi. Bahkan Jihad aja, mantan Presiden PPMI, karena keseringan bagiin musaadah Baba Ragab, di Madinah jadi bagian bagiin Catering. Waw! Cocokologi!
Ada sekitar 231 ribu jamaah haji asal Indonesia yang ketika tinggal di Mekah, lokasi pemondokan mereka dikategorikan menjadi sebelas sektor pemondokan, dan Sektor Khusus (Seksus) adalah sektor keduabelas sebagai satu-satunya sektor yang tidak mengurusi pemondokan, tapi mengurusi berbagai hal yang terjadi di area Masjidil Haram. Jika satu sektor mengurusi 20-30 ribuan jamaah, maka Seksus mengurusi seluruh jamaah Indonesia yang kapan pun masuk area Haram. Literally, kami penguasa Masjidil Haram! Camkan! Dari mulai urusan ibadah (ngepoin tawafnya jamaah sudah 7 kali atau belum, sa'i-nya sudah 7 balikan atau belum, menjawab pertanyaan bolehkah tawaf sambil gandeng tangan istri biar gak hilang karena banyak sekali pasangan yang takut kehilangan, kadang-kadang ngebimbing doa-doa sai, doa minum air zamzam, dsb.), urusan keamanan dan perlindungan jamaah (kecopetan ketika tawaf, dijambret pengemis atau oknum tak bertanggung jawab di WC, mencari jamaah yang hilang atau mengarahkan jamaah yang terpisah dari rombongan, jamaah nyasar, jamaah linglung, bingung, pikun, demensia, atau jamaah yang tiba-tiba seperti orang kesurupan ketika melihat kabah pertama kali), urusan kesehatan (jamaah kecapean ketika tawaf/sai, terinjak/terlindes jamaah lain, asma kambuh, asam urat menjadi, pingsan, butuh kursi roda, dsb.).
Mari kita bahas sisi enaknya. Pertama, tiap hari ke Masjidil Haram. Oh, betapa nikmatnya bisa melihat kabah setiap hari, dan melihat kenikmatan orang-orang yang pertama kali melihat kabah. Melihat tetes pertama yang keluar dari mata seseorang ketika melihat kabah, melihat orang-orang bersujud syukur dengan isak tangis yang begitu rindu, menyaksikan orang-orang berdoa begitu intimnya, sangat haru. Kesempatan untuk merapalkan doa di depan kabah setiap hari sangat mungkin, termasuk di antaranya menyebut namamu berulang-ulang. Kenikmatan ini menjadi istimewa karena nyatanya tidak semua petugas haji punya kesempatan ke Haram setiap hari, kecuali benar-benar orang yang sangat rindu dan mampu mengendalikan rasa malasnya. Beneran. Ada alasan jarak, waktu, cuaca, kesibukan, tugas, dan sebagainya. Yang tugas di Jeddah atau Madinah sudah barang pasti tidak bisa ke Haram tiap hari, bahkan mungkin hanya akan ke Haram ketika pertama kali datang untuk Umroh, ketika Armina atau tawaf ifadhoh, dan ketika tawaf wada'. Dan yang di Mekah sendiri tak semua orang punya kesempatan untuk pergi ke Haram setiap hari. Apalagi yang kerjanya di kantor, 12 jam sehari depan komputer, lalu delapan jamnya dipake tidur, dua jamnya dipake selonjoran, dan tiga jam sisanya dipake hal-hal lain semisal stalking atau bukain grup whatsapp. Bahkan saya sendiri ragu, jika ditempatkannya di hotel, atau kantor, mungkin entah akan sekuat apa keinginan saya untuk ke Haram setiap hari. Untunglah ada tuntutan kerjaan, jadi 'terpaksa' ke Haram ini menjadi satu kebaikan yang patut disyukuri.
Kedua, kesempatan untuk menolong orang lain lebih besar. Kesempatan bantuin orang lain untuk melaksanakan umroh wajibnya, bantuin jamaah yang tak tahu arah, bahkan tak hanya bantuin orang Indonesia tapi juga jamaah dari negara lain. Di hari pertama saya mengisi pos di belakang Hijr Ismail, jamaah pertama yang datang minta bantuan adalah keluarga Malaysia. Bapak, ibu dan anak laki-lakinya. Mereka menanyakan tempat penitipan kasut (sepatu) dan tandas (WC). Setelah momen bertanya sesaat itu, mereka melaksanakan tawaf dan eh ternyata eh ternyata, ketemu lagi di pintu masuk sai nanyain arah permulaan sai. Lalu karena jadi pertemuan kedua, basa-basi kami jadi lebih panjang. Jadi kenalan nama, asal, tempat tinggal, pekerjaan, dan cipika cipiki sebelum akhirnya berpisah dan saling melempar doa semoga suatu hari bisa ketemu lagi. Oh Tuhan, si bapaknya ramah banget, si ibunya tak kalah ramah. Kira-kira keluarga itu punya anak perempuan gak ya? .....
Saking besarnya kemungkinan ditanyai orang soal ini dan itu, saya sudah ready terjemahan petunjuk arah dalam bahasa Turki, Urdu, dan India, sebab jamaah dari ketiga negara itu kerap kali nanya arah WC, arah Sai, atau arah pintu keluar. Kalau ada yang nanya selain dari tiga negara itu dan gak mudeng dengan bahasa Arab atau Inggris, bilang aja "mafii ma'lum" pake logat Banggali.
Meski enaknya banyak, termasuk yang tak kesebut adalah enaknya makanan yang ada di Sektor, selalu sedia Indomie goreng, tetep Seksus ini ada tidak enaknya. Mungkin lebih tepatnya tidak begitu sesuai dengan karakter pribadi dan butuh adaptasi ekstra. Pertama, Seksus isinya TNI, Polisi dan Dokter. Ini situasinya mirip-mirip dengan serial Descendant of The Sun. Semua dokternya bapak-bapak, sekalinya ada perempuan tapi sudah ibu-ibu. Polisi dan TNI-nya mayoritas perempuan. Ibu-ibu juga sih, rata-rata anaknya sudah dua, tapi masih ada lah yang bisa dikode-kodein, meskipun harus rebutan sama mukimin.
Situasi hidup dan bekerja bersama TNI-Polisi bagi saya tidak selalu sejalan dengan kebiasaan. Nampak selalu serius, sigap, terlalu banyak kalimat "siap", "laksanakan", "monitor", "mohon izin", dan sebagainya. Bahkan dalam kondisi bercanda pun, saya gak bisa sengakak ketika berkumpul merapatkan rencana pengkhianatan Euis terhadap Ben di panggung Gebyar Parahyangan. Boro-boro bisa ngakak, yang kepikiran adalah dengan situasi banyak anggota polisi di Seksus, saya sebenarnya kepikiran pengen sekalian perpanjang SIM aja, tapi gimana ya, kayanya momennya gak pas gitu.
Mungkin, penyeimbang dari ketegangan suasana dari gaya hidup TNI-Polisi ini adalah kehadiran dokter. Akrab sama dokter tuh seru, jadi bisa sering konsultasi gratisan. Malah hampir tiap jaga malam, saya konsultasinya sambil makan Indomie pake wadah plastik yang air rebusannya gak diganti. Coba, kurang nekat apa berani ngelakuin itu di depan dokter sambil makan sambil konsultasi kesehatan?
Hal kedua yang tidak enak dari Seksus adalah harus apel pagi. Sumpah, terakhir kali melakukan upacara kayanya dulu waktu SMA. Pernah ada undangan upacara Agustusan di KBRI Cairo tapi gak pernah dateng. Udah lupa apa itu setengah lencang kanan, kalau istirahat di tempat harus lepas tangan atau enggak pas jawab salam, berdiri tegak, dan hal lainnya. Daripada pagi-pagi harus sudah rapi kelimis dan ikut apel pagi, mendingan bikin Cutterme dah. Pokoknya saya berdoa depan kabah semoga saya jadi orang kaya, sukses, dan bahagia tanpa harus melalui karier pekerjaan yang ada apel paginya.
Sisanya saya gak tau apakah itu bagian dari hal tidak enaknya atau cuma sebatas kemalasan saya saja. Pastinya saya bersyukur punya kesempatan bergabung di sektor ini, sektor yang katanya punya visi misi membuat lelah malaikat karena kewalahan nulisin amal baik anggota Seksus. Anggotanya aja kali ya, atasannya enggak. Eh loh?
19 Juli 2019
Komentar
Posting Komentar