Suatu sore aku mengeluhkan betapa banyaknya sampah plastik di rumah yang kutempati, utamanya di dapur yang hampir semua bahan makanan ada bungkusnya. Seandainya setiap belanja ke pasar, kita bawa kantong belanja sendiri, dan mengurangi penggunaan plastik sesering mungkin, bukan tak mungkin sampah rumah tangga akan berkurang dan lingkungan lebih terselamatkan. Kita punya kantong belanja sendiri, kita punya botol minum sendiri, dan kita tidak memakai sendok atau sedotan atau plastik apapun yang sulit diurai lingkungan. Calon istriku, maukah kamu menjalani gaya hidup seperti itu ketika berumah tangga nanti? Maukah kita ajarkan anak-anak kita dengan gaya hidup macam itu?
Duh, betapa buruknya caraku memulai surat ini. Bukannya mengatakan salam dan basa-basi terbaik, aku malah memulainya dengan masalah yang kuhadapi sendiri. Mungkin karena percaya bahwa setengah dari solusi setiap masalah adalah komunikasi, dan aku ingin membangun komunikasi baik itu denganmu sejak awal. Dengan membiarkanmu tahu segala masalah yang kuhadapi.
Bagiku, pernikahan adalah keputusan untuk membuat masalah baru dalam hidup. Ia bukan hanya perkara meregang di malam pengantin, tapi soal banyak hal yang harus kupastikan agar aku selalu punya alasan untuk tetap mencintaimu, meski nantinya skin care tak lagi mampu menolong keriputmu.
Ok, baiklah. Apa yang harus kutanyakan pertama selain apa kabar? Aku tak pandai memulai percakapan dengan orang asing, atau dengan seseorang yang secara misterius akan menjadi istri. Apakah harus kutanyakan hobimu, pekerjaanmu, pekerjaan orang tuamu, atau soal bubur yang diaduk atau gak diaduk sebelum disantap?
Kuharap dalam kondisi apapun, kamu membaca surat ini dengan hati yang bahagia. Sebenarnya aku gugup membayangkan suatu hari nanti ketika aku datang menyambangi rumahmu dan bertemu ayahmu untuk pertama kali. Pertanyaan macam apa yang akan ia suguhkan padaku? Soal profesiku? Penghasilan bulanan? Atau pertanyaan apakah Tuhan ada di langit? Aku gugup jika harus kukatakan bahwa profesiku hanya seorang tukang Cutterme. Atau mungkin kuganti diksinya menjadi seniman. Apakah kata seniman akan membuat ayahmu terkesan? Atau mungkin akan kukatakan bahwa aku seorang blogger yang beberapa tahun ini selalu menulis soal Mesir. Tapi bagaimana jika ayahmu sadar bahwa dua hal itu tidak benar-benar menghasilkan uang? Bahkan lebih sering disebut pekerjaan sukarela dan kesenangan semata. Mungkin di momen itu, aku membayangkan ayahmu akan mengernyitkan dahi, heran dengan pilihan selera putrinya. Haruskah aku risau soal itu? Atau apakah kamu punya stok ayah lain yang jauh lebih toleran dalam interview?
Kemarin hari aku baru selesai ujian di Azhar dan dapat dosen penguji yang luar biasa menyenangkannya. Seandainya kita sudah bertemu sebelumnya, pasti akan kubagi kebahagiaan hari kemarin itu denganmu. Mungkin memelukmu di ambang pintu rumah, atau di ruang tamu, atau di manapun, lalu mengajakmu jalan-jalan untuk merayakan hidup. Sayangnya, kita belum bertemu.
Oh ya, kamu suka jalan kaki? Aku senang jalan kaki. Ada banyak ide tercecer yang harus dijemput di jalanan, juga banyak hal yang sering terlewatkan jika kita naik kendaraan. Aku harap kamu pun suka jalan kaki. Tak perlu lah khawatir soal ukuran betismu, atau kulit kakimu, sebab aku ingin mencintaimu bukan karena itu.
Calon istriku, aku punya teman yang mengeluh karena istrinya terlalu hobi masak dan bikin kue. Katanya, uang belanja membengkak karena terus-terusan beli tepung, telur, mayonaise, keju, dan berbagai bumbu di Pasar Asia. Dan aku juga kenal seseorang (untuk tidak mengatakan teman) yang berkali-kali ingin poligami tapi tak kunjung direstui. Katanya, istrinya itu tak bisa masak. Telur mata sapi saja selalu berakhir menjadi telur urak arik, dan kebahagiaan perut suami di kepala istrinya cukup dipenuhi dengan order Go-Food. Aku ingin memastikan, kamu bukan salah satu dari dua jenis istri itu kan?
Kamu tak perlu khawatir jika belum pandai masak, sebagaimana tidak khawatirnya aku yang belum bisa memastikan apakah dapur kita akan selalu ngepul atau tidak. Barangkali dalam kekurangan itu, kita akan menemukan kelebihan kita dengan baik. Tapi kamu mau belajar kan?
Aku mendengar banyak hal tentang bagaimana seharusnya mencari seorang calon istri, juga mungkin kau pun mendengar hal serupa tentang cara mencari seorang suami. Ada rentetan persyaratan dan kriteria yang terkadang terlalu abstrak untuk dipahami. Semisal kata salehah, baik, dan pengertian. Bagaimana caraku memahami tiga kata itu? Hal-hal itu terlalu umum. Aku yakin, kamu pun bingung bagaimana cara mencari parameternya. Melalui surat ini, aku ingin menerjemahkannya menjadi sesuatu yang bisa kita nilai sama-sama, sebelum akhirnya kita putuskan apa yang terbaik setelahnya.
Salehah bagiku adalah ketika kamu telah merasa selesai dengan dirimu sendiri. Kamu sudah ishlah menerima dirimu secara utuh, hidup damai dengan masa lalu, tidak dendam dengan teman atau tetangga, mampu memosisikan diri di tengah perbedaan, bukan netijen julid, tidak suka nyinyir di kolom komentar, sehingga setelah kamu merasa utuh sebagai pribadi, kamu akan siap menjadi pribadi di hadapan pribadi-pribadi lain.
Soal baik, aku tak masalah jika kamu pernah nginep di luar asrama tanpa agazah, pernah berangkat rihlah awalnya pake abaya, di sananya pake celana jeans, tidak masalah pula jika kamu bukan muridnya Syekh Yusri, Syekh Alaa, Syekh Fathi, atau Syekh Muhanna. Tak pula masalah jika kamu tak punya sanad Jazary atau Tuhfatul Athfal, atau tak perlu kau risau jika hidupmu tidak tahu bahwa di dunia ini ada sekelompok orang yang mengaji tiap Jumat bernama liqo. Bahkan, aku tak akan mempermasalahkan jika kamu bukan mahasiswi Al Azhar, atau mahasiswi kampus manapun yang semua itu hanya soal nama dan kemasan belaka. Kamu hanya perlu punya pikiran yang baik, yang terbuka dengan hal-hal baru, terbuka dengan wawasan baru, bijak menghadapi perbedaan, selalu berbaik sangka, yang dengan semua itu akan lahir tindakan-tindakan baik, bukan baik hanya kemasannya, tapi juga esensinya. Aku ingin belajar dari sekarang untuk mencintaimu bukan karena kemasan apapun, tapi karena kamu adalah kamu, yang dengannya bisa kuarungi belantaranya hidup ini.
Calon istriku, aku tak tahu apakah kamu akan datang dari bangsaku sendiri atau bukan. Tapi ketahuilah, masyarakat di negaraku dikategorikan sebagai penduduk paling malas baca di dunia. Tentu saja aku malu pada diriku sendiri, juga pada anak-anakku kelak sebab mereka dilahirkan dari bibit suatu kaum yang mayoritasnya malas baca. Jika tidak keberatan, aku ingin menemukan dirimu sebagai calon ibu yang kepalanya tersusun dari berbagai perpustakaan, yang setiap kata keluar dari mulut dan tindak tanduknya berdasarkan kebijaksanaan, dewasa dalam bersikap, sehingga anak-anak kita kelak tak butuh guru bimbel, sebab mereka tahu bahwa kita, orang tuanya, adalah guru terbaik yang pernah mereka miliki. Aku ingin mengisahkan cerita-cerita masa lalu kepada anak-anak kita sebelum tidur, dan kamu pun mampu melakukan hal sama ketika aku tak ada kesempatan bercerita. Mungkin aku sedang lelah pulang kerja, atau tugas keluar kota mencari pundi-pundi dollar demi rumah tangga kita.
Calon istriku, kamu adalah rahasia terbesarku, begitu pun aku yang masih menjadi rahasia bagimu. Kelak, Tuhan akan mengenalkan rahasia itu dan kita pun akan tersenyum berpandangan, saling mengungkapkan banyak hal melalui sorot mata yang tak mampu diterjemahkan kata.
Terakhir, aku berdoa kepada Allah, agar dijodohkan dengan perempuan yang cara berpikirnya moderat. Jika ia adalah pendukung mati-matian capres 01 atau 02, dan menganggap setiap segitiga adalah iluminati, mohon jauhkanlah, Ya Allah. Amiin.
22 Juni 2019.
Ngakak paragrap terakhir wgwgwg 🤣
BalasHapusNtar gw kalau mau ketemu calon suami, nampain surat kang Maul aja ah,
Sebagian besar isi kepala gw begini soalnya .. Wgwgwg