Menelusuri Perjalanan Psikologis Seorang "Pria yang Mencuci Piring"

Apa jadinya ketika seorang psikiater, yang notabene tukang ngobatin orang-orang sedih dan kehilangan, malah mengalami kesedihan dan kehilangan? Buku ini menawarkan perspektif menarik tentang proses berduka melalui pengalaman pribadi seorang psikiater, dr. Andreas Kurniawan, Sp.KJ., yang menghadapi kehilangan anaknya. Dengan gaya penulisan yang sederhana dan penuh makna, buku ini mengajak pembaca untuk menyelami dunia psikis seseorang yang berjuang untuk mengatasi kesedihan dan menemukan kembali kekuatan untuk melanjutkan hidup. Buku ini disusun dengan gaya yang mudah dipahami, menggunakan diksi sederhana yang cocok untuk kalangan luas. Meskipun penulis adalah seorang profesional medis yang akrab dengan istilah psikologi dan kedokteran, ia berhasil mengemas konsep-konsep tersebut dalam bahasa yang sangat mudah dipahami, sehingga pembaca dari berbagai latar belakang dapat menikmati dan mengambil manfaat dari pembacaannya. Secara struktur, buku ini terdiri dari 16 judul, yang secara berur...

Sekelumit Cerita Pemilu di Mesir


Sengaja sebelum dikasih surat suara, pemilih pada Pemilu kemarin diperiksa dulu jari tangannya untuk dipastikan apakah sudah ada cincin kawinnya atau belum. Bersyukurlah saya jadi petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara Luar Negeri (KPPSLN) pada Pemilu Presiden kemarin, menjadi Anggota 3 yang tugas utamanya adalah memeriksa jari-jari tangan. Dari tugas itulah saya tahu, bahwa Taqi Malik yang kebetulan nyoblos di TPS saya, di jari manisnya terdapat cincin dengan batu akik yang besar. 

Jika boleh saya menebak, mungkin cincin Taqi itu adalah endorse. Gak mungkin cincin kawin kan? Masa jomblo pake cincin di jari manis. Tapi yang lebih menarik dari cincin Taqi adalah antusias Masisir yang tertib antri di depan TPS saya. Bukan antri nyoblos, tapi antri minta foto bareng Taqi. Dan mereka adalah cowok-cowok. Kalian pada kenapa sih? Atau aku yang kenapa? 

Ada banyak cerita menarik dari pelaksanaan Pemilu kemarin. Berkat Pemilu kemarin, setidaknya saya jadi tahu dari penyusunan nama-nama secara alfabetis untuk TPS bahwa di Masisir (Mahasiswa Indonesia di Mesir) ada lebih dari 280 orang yang namanya Ahmad. Baik yang penulisannya AHMAD, ACHMAD, atau AKHMAD. Lebih banyak lagi yang namanya Muhammad. Dari mulai MUHAMAD, MUHAMMAD, MUHAMED, MOHAMED, MOCHAMAD, MOCHAMMAD, dan berbagai variasi lainnya. Begitupun dengan nama SITI, AISYAH, dan nama-nama pasaran lainnya. Satu-satunya nama yang unik dan tak ada duanya cuma GIRNIK. 

Cerita unik di masa pembagian Form C6 (Form undangan memilih yang dikirim ke setiap pemilih), ada banyak nomor hape baru yang terpaksa saya save. Ada yang bisa dihubungi, ada yang salah sambung, ada juga yang sudah tidak aktif. Dari nomor Maba (mahasiswa baru) sampai TKW (Tenaga Kerja Wow), saya simpan. Tentu saja, beres Pemilu, nomor-nomornya saya hapus karena menuh-menuhin status Whatsapp, sisain yang memberi manfaat aja (baca: yang cantik-cantik). 

Sialnya, pembagian Form C6 kemarin bertepatan dengan Pemilu Raya PPMI (Persatuan Pelajar & Mahasiswa Indonesia) Mesir. Saya dan mungkin banyak petugas lainnya, banyak dibingungkan oleh oknum-oknum Masisir yang tak kunjung mengerti bedanya Pemilu Jokowi-Prabowo dengan Pemilu Arief-Kamal. Berkali-kali dijelaskan pun, masih banyak yang gagal paham. Sampai saya punya template pesan yang siap copy-paste jika ada yang salah paham (baca: ngeselin, pitampoleun). Awalnya saya kira anak-anak Maba yang salah paham begitu, ternyata seniornya juga. Dan bukan satu dua orang. Bahkan di hari pencoblosan saja, di grup whatsapp ada yang nanya, "Panitia Pemilu Raya masih nyediain jemputan bis gak di Darosah?" Kirain yang nanya Maba, ternyata mantan Maba. 

Saya ada bersyukurnya, sih,  Form C6 harus dibagikan kepada calon pemilih, karena dengan kewajiban itu saya jadi tahu rumah-rumah Masisir. Apalagi waktu di hari pertama kerja, saya mengalami hari terkenyang selama jadi Masisir. Pagi itu setelah sarapan, saya mengunjungi banyak rumah senior dan Masisir pada umumnya, dan semuanya ngasih makan. Minimal segelas teh manis. Satu-satunya yang gak ada makanan cuma di Pasanggrahan. Sekre sobat Misqueen. Selain dapat makanan, saya juga jadi tahu bahwa di daerah Bawabah 2 ada kembang desa, eh kembang Bawabah, yang sebelumnya tak pernah saya lihat sebelumnya. Kalau pemilik C6-nya cantik mah, rumahnya di lantai sutuh juga gue anterin.

Bagian nyebelinnya juga tak kalah banyak. Apalagi yang diajak janjian tapi batal terus. Ada yang sangat sok sibuk kerja di mat'am, ada yang tiap diajak ketemu alasannya selalu "lagi ada kumpulan", dan lain sebagainya. Bagian tersedihnya adalah uang transportnya yang bikin istigfar. Serius! Curhat aja ini mah, biar gak selalu dihusnudzanin sama Masisir, dikiranya uang transport PPLN itu gede. Saya ngebagiin 184 Form C6 dan kalau dirata-ratakan, transport perlembar C6 senilai 2,71 pound. Dua pound nush lebih dikit. Gak sebanding dengan capeknya.

Tugas terberat adalah pada pelaksanaan Pemilu itu sendiri. Panitia diharuskan bangun sepagi mungkin sebab jam lima pagi harus sudah berangkat ke KBRI. Nyampe sana, kami semua diprank oleh PPLN. Katanya ada nasi uduk untuk sarapan, ternyata makan sarapan itu datangnya menjelang siang, di saat pencoblosan sudah dimulai dan antrian pemilih mulai padat-padatnya. Meskipun pencoblosannya beres jam tujuh malam, ternyata proses merekap datanya super sangat ribet dan memakan banyak sekali waktu. Kami baru beres jam setengah empat pagi. Pulang ke rumah pas azan subuh. Secara resmi, kami tidak tidur 24 jam. 

Tak hanya hari pencoblosan, hari tanpa tidur 24 jam kembali terjadi di hari penghitungan. Bahkan di beberapa berita portal media daring Indonesia, ada beberapa petugas KPPS di tanah air yang meninggal dunia karena kelelahan begadang 24 jam. Bahkan katanya ada yang tidak tidur sampai 30 jam. Begadang selama itu sebenarnya hanya momentum klimaksnya aja. Di hari-hari lainnya, setiap kumpul panitia, mesti sampai larut malam. Bahkan teman saya sampai didoakan istrinya supaya tidak jadi pegawai kantoran atau PNS lantaran selalu pulang larut.

'Ala kulli hal, saya senang bisa jadi bagian dari kepanitiaan besar ini. Karena di Pemilu kali ini lah, target keikutsertaan WNI yang ditargetkan hanya 75% pada awalnya, terlampaui sampai 84% lebih. Dari 7600-an DPT, ada 6400-an yang memilih. Anggap saja ada 1200-an pemilih gak datang. 450 di antaranya terdeteksi sudah pulang atau pindah nyoblos. Sisanya 750 orang yang gak datang, mungkin karena PPLN salah data (karena banyak data ganda), atau mereka adalah TKW yang tak diizinkan pergi oleh majikannya, atau Masisir garis khusus yang mengharamkan demokrasi, atau orang-orang golput yang berpikir bahwa siapapun presidennya, yang gendut tetep bakalan jadi kiper.

Saya gak tahu sih apa makna dari tingginya pencapaian persenan ini, selain rasa bangga bahwa warga negara menunjukkan antusias dan kepedualiannya terhadap negara. Apakah angka 84% ini menyebabkan naik gaji, atau ada bonus transport, atau rihlah Hurghada, atau jaminan dicetakin Ijazah Lc tanpa harus ikut ujian akhir, atau apa kek. Yang jelas saya pahami adalah tahu gimana bosennya makan ayam KFC, burger Hardeesh, dan firakh rubu' ala-ala Mesir. Nampaknya cuma ada tiga nomor itu yang di list food delivery PPLN. Selingannya selalu ada air panas, teh, dan kopi. Kopi pun selalu kehabisan kalau gak datang duluan lalu nimbun Nescafe sachet buat diseduh selanjutnya.

Itulah sekelumit cerita Pemilu Presiden, Wakil Presiden, dan Legislatif RI di Mesir yang berlangsung 13 April kemarin. Memang bukan pekerjaan yang mudah, bahkan mungkin melelahkan. Tapi saya percaya, mungkin dengan cara inilah saya bisa ikut ambil bagian dalam rangka membangun masa depan negeri yang lebih baik. Saya gak peduli yang menangnya mau Jokowi atau Prabowo, sebab siapapun presidennya, tetep, yang gendut yang jadi kiper. 

19 April 2019  




Komentar