Jika kamu ingin hidup di Kairo seutuhnya, tinggallah di kawasan Husein-Darassah. Sebuah kawasan padat penduduk di mana kehidupan warga urban tergambar dalam detail yang menarik. Tidak ada kemewahan fisik, tidak pula ada kesempurnaan seindah imajinasi pembaca novel-novel romansa tentang Kairo. Kamu butuh waktu dan kedalaman rasa untuk mengatakan bahwa Darrasah adalah daerah yang indah menyegarkan mata. Bahkan ungkapan masyhur dalam legenda Seribu Satu Malam yang mengatakan, "Siapa yang belum melihat Kairo, dia belum melihat
dunia: tanahnya bagaikan emas, Sungai Nil-nya adalah keajaiban, wanitanya
seperti perawan bermata hitam dari surga, bangunan rumahnya bak istana, dan
udaranya yang lembut, lebih lembut daripada kayu gaharu, sungguh memikat hati.
Dan, bagaimana mungkin Kairo menjadi sebaliknya jika ia adalah Ibukota
Dunia?" nampak tidak berarti. Atau butuh filsafat untuk membuatnya menjadi nyata.
Darrasah dipenuhi aroma ciptaan manusia. Bau minyak penggorengan dan mint segar yang bertemu aroma debu, tumpukan sampah di sela-sela balkon yang sudah tergeletak bertahun-tahun, keringat anjing liar, bau cat pengrajin sepatu-sepatu merk Kw, air buangan tukang laundry, dan berbagai aroma lainnya yang menempel pada uang kertas. Teriakan menusia membanjiri aneka ragam suara, mulai dari ucapan takbir hingga makian ya ibnu kalb dari seorang ayah yang memekakan telinga anaknya sendiri.
Mujurnya, Darrasah memancarkan pesonanya bukan karena fisiknya, tapi karena ruh ilmiah yang dari waktu ke waktu dibangun oleh para penuntut ilmu, para pecinta Al-Azhar. Darrasah menjadi kawasan padat penduduk yang menurut data PBB, daerah Gamaliah sampai Bathiniah dihuni oleh lebih dari 300,000 orang di setiap 2,5 kilometer persegi. Bukan hanya karena orang Mesirnya yang hobi nambah manusia, tapi juga didorong oleh bonus demografi tahunan, pendatang multinasional, mahasiswa asing yang studi di Al-Azhar. Mengaitkan Darrasah sebagai rumahnya sebagian Masisir, apakah masih layak Hussein-Darrasah disebut sebagai tempatnya Masisir yang suka ngaji dan rajin kuliah?
Jika Hayy Asyir identik sebagai tempatnya mahasiswa-mahasiswa yang talaqinya biasa aja, kuliahnya sangat biasa aja, dan tempat para pebisnis bermukim, lalu Hayy Sabik identik sebagai daerahnya Masisir kaya, sementara Tabbah menjadi daerah bagi para pasangan suami istri pemula yang butuh rumah murah, maka Darrasah identik sebagai tempat tinggalnya Masisir rajin talaqi dan rajin kuliah. Nama grupnya saja "Komunitas Santri Hussein", ada kata santrinya. Tidak ada Komunitas Santri Asyir. Setiap daerah ada stereotipnya masing-masing, dipahami sebagai budaya banyak orang, meskipun tidak ada dekripsi tertulisnya. Tapi sekarang, pemaknaan itu menjadi bias. Tidak ada identifikasi semacam itu lagi, sebab Hayy Asyir dan Darrasah sudah tidak nampak punya perbedaan narasi lagi. Secara kultural, Darrasah tak lebih dari sekadar Hayy Asyir al-Jadiidah.
Orang-orang Darrasah di masa lalu haruslah lebih niat jika ingin makan masakan khas Nusantara, sebab semua warung makan/mat'am makanan Asia adanya di Nasr City; di Asyir atau Sabik. Tapi sekarang, setidaknya ada sembilan warung makan khas Nusantara yang membuka gerai di Darrasah. Dari blok Gamaliah, Hussein, sampai gang-gang pelosok Khodrowy, kita bisa dengan mudahnya menemukan warung makan Indonesia. Bahkan tak perlu mencari, mereka punya layanan pesan antar sampai depan pintu rumah. Dari rendang padang sampai ayam taliwang, dari bakso sampai ayam balado, bahkan makanan semacam seblak pun hadir memanjakan lidah Masisir, menjadi alasan pembantah bagi mereka yang tidak betah di Mesir lantaran tak adanya jajanan Indonesia. Selain tempat makan, aneka usaha lain pun menjamur di Darrasah. Sebut saja pedagang jubah, peternak kura-kura, atau penjual bagasi, yang tidak lagi hanya bermarkas di Asyir.
Dengan adanya fakta tersebut, saya melihat persebaran warna Masisir menjadi merata, di mana stereotip menjadi bias, bahkan terhapus. Namun yang dikhawatirkan adalah pergeseran ini menjadi pergeseran masif, tidak hanya parsial tapi komunal. Di manakah spesifiknya "Masisir saleh" bermukim? Apakah hanya di rumah-rumah berlabel seperti Rumah Syariah, Rumah Tahfidz, Darul Wasilah, atau bagaimana?
Kondisi sebaliknya terjadi di Hayy Asyir, distrik tempat berdirinya hampir semua sekretariat kekeluargaan. Ada banyak organisasi kekeluargaan yang mencoba mengadakan program talaqi di kekeluargaan, yang nampaknya hendak memindahkan "Darrasah" ke Hayy Asyir. Gerakan semacam ini di mata saya terdengar seperti merencanakan kekeluargaan atau organisasi mahasiswa lainnya supaya menjadi organisasi dengan fasilitas lengkap. Organisasi di mana anggotanya bisa belajar bakat, belajar merawat budaya daerah, bersilaturahmi, juga sekaligus talaqi. Ide yang bagus, tapi tidak pada porsinya. Bukankah organisasi Masisir seharusnya cukup menjadi bagian yang melengkapi hal-hal yang dibutuhkan tapi tidak tersedia di Azhar? Jika bisa talaqi ke Ruwaq Azhar, kenapa harus diinisiasi di kekeluargaan?
Max Rodenbeck dalam bukunya 'Cairo: The City Victorious' menuliskan bahwa kenyataan warga kota ini menghadirkan wajah kelelahan--wajah yang menunjukkan kehidupan keras yang dijalani dengan kesabaran, tentang mimpi yang tidak terwujudkan. Jika saja narasi itu muncul dari hasil pengamatan panjangnya, dengan segala aspek yang mengelilinya, semoga saja tidak berlaku pada Masisir yang turut serta telah menjadi bagian besar dari kota ini. Saya melihat diri saya sendiri, mencari alasan masa lalu yang inginnya belajar di negeri ini, lalu kemudian menghadapi kenyataan pergeseran niat yang sering melenceng, rasanya malu sekali. Ketika saya gagal menjadi pembelajar yang baik, berarti saya telah masuk pada apa yang Max katakana dalam premisnya. Semoga saja Kamu tidak.
Komentar
Posting Komentar