Menelusuri Perjalanan Psikologis Seorang "Pria yang Mencuci Piring"

Apa jadinya ketika seorang psikiater, yang notabene tukang ngobatin orang-orang sedih dan kehilangan, malah mengalami kesedihan dan kehilangan? Buku ini menawarkan perspektif menarik tentang proses berduka melalui pengalaman pribadi seorang psikiater, dr. Andreas Kurniawan, Sp.KJ., yang menghadapi kehilangan anaknya. Dengan gaya penulisan yang sederhana dan penuh makna, buku ini mengajak pembaca untuk menyelami dunia psikis seseorang yang berjuang untuk mengatasi kesedihan dan menemukan kembali kekuatan untuk melanjutkan hidup. Buku ini disusun dengan gaya yang mudah dipahami, menggunakan diksi sederhana yang cocok untuk kalangan luas. Meskipun penulis adalah seorang profesional medis yang akrab dengan istilah psikologi dan kedokteran, ia berhasil mengemas konsep-konsep tersebut dalam bahasa yang sangat mudah dipahami, sehingga pembaca dari berbagai latar belakang dapat menikmati dan mengambil manfaat dari pembacaannya. Secara struktur, buku ini terdiri dari 16 judul, yang secara berur...

Wahabi yang Azhari

Related image

Hari pertama saya nyampe Cairo, saya berkenalan pertama kali dengan Mang Jamil. Dialah yang membawa koper saya dari depan KSW ke Mutsallas, tanpa tuktuk, tanpa bantuan siapapun. "Di sini mah banyak anjing, tapi anjingnya pada pecundang semua. Digebah ge langsung pada kabur!" kata Mang Jamil membuka perbincangan pertama kami pagi itu. 

Hari itu saya tak pernah tahu Mang Jamil akan membawa koper saya ke mana, sebab saya hanya mengikutinya dari belakang, sembari berkenalan dengan Hayy Asyir, dunia baru yang begitu asing saat itu. Sampai akhirnya tiba di sebuah pintu rumah, disambut wajah-wajah baru dan nama-nama baru, saya menyadari akan menjadi bagian dari keluarga baru. Pagi itu, secara resmi, hari pertama dalam hidup saya tinggal serumah dengan orang-orang Wahabi. 

Saya tidak pernah mendapat penjelasan dari siapapun, baik dari teman almamater, teman serumah, atau Mang Jamil sendiri, bahwa orang-orang di rumah itu adalah akhi-akhi. Namun seiring berjalannya waktu, saya sadar bahwa sesuatu nampak berjalan tidak sebagaimana "biasanya". Tidak ada musik, tidak ada ziarah-ziarah ke Imam Syafei, dan kajian pertama yang saya ikuti waktu itu adalah soal keharusan menjaga diri agar tidak sombong, salah satu majelis yang menjawab pertanyaan kenapa celana teman-teman saya pada ngatung. 

Sebelum ke Mesir, saya mikirnya semua orang Indonesia di Mesir adalah ustadz-ustadz, saleh-saleh, dan ahli ibadah semua. Lalu ketika datang ke Cairo dan tinggal bersama mereka, di mana lima waktu hampir selalu di masjid, ba'da subuh pada tilawah, dan penampilan teman serumah yang sangat ustadz, membuat masa-masa itu sebagai masa di mana husnudzan saya terhadap Masisir sedang baik-baiknya. Meskipun waktu itu saya juga menjelam sebagai Maba wikwik, yang tidak tahu sopan santun, atau mungkin bertingkah tidak seharusnya kepada senior, tapi setidaknya otak saya soal Masisir waktu itu masih suci. Tidak kepikiran tuh bakal ketemu Masisir gandengan tangan di bawabah, suap-suapan di rumah makan, atau ketemu Euis yang begitu teganya ngeprank Si Ben.

Namun, semua pikiran positif itu berubah semenjak negara api menyerang. Saya pindah ke rumah Bawabah, yang kebetulan di rumah baru itu, matahari pagi suka terbit agak terlambat dua sampai tiga jam dibanding rumah Mutsallas. Pokoknya rumah itu serasa beda negara dengan Mesir, waktu subuhnya beda. Saya sempat mengira bahwa pindahnya saya ke rumah baru adalah akhir dari perkenalan singkat saya dengan Wahabi. Ternyata, sudah mau setahun ini, saya serumah lagi dengan akhi-akhi. 

Jika kamu berharap tulisan ini adalah soal apa itu Wahabi, maka kamu salah besar. Saya tidak akan membahas hal-hal semacam itu, atau seserius teman-teman saya yang sangat niat membahas perbedaan Wahabi dan lainnya di status Whatsapp atau Instagram. Bukan juga untuk menonjolkan siapa yang benar dan siapa yang kurang benar. Ini hanya pengalaman saya, berdasarkan nasehat penting, "sampaikanlah kebenaran, walaupun itu lucu."

Saya mencatat satu hal penting dari pengalaman ini bahwa belajar sesuatu pada sumbernya langsung adalah suatu keutamaan. Pertanyaan 'apa itu Wahabi?' yang kamu lontarkan kepada guru-guru NU atau akhi-akhi Wahabi, jawabannya akan berbeda. Penjelasan kenapa ziarah kubur itu haram, konten dan perspektifnya akan berbeda jika dipaparkan oleh seorang Akhi tulen atau NU tulen. Dengan serumah dengan Wahabi, saya belajar banyak hal yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan akan saya pelajari. Saya tidak pernah serius mempelajari hukum menggambar atau melukis jika bukan karena Cutterme dipandang haram dan saya tinggal bersama Wahabi. Saya bersyukur punya kesempatan untuk bisa tinggal serumah dengan orang-orang yang pemahamannya 100% tidak ada di kampung saya sendiri, bahkan selama 6 tahun mondok pun tak pernah sekalipun dikenalkan apa itu Wahabi. Jikapun saya keliru soal Wahabi, saya punya kesempatan untuk mengklarifikasi kekeliruan itu ke orang Wahabinya langsung. Apakah setelah itu akan tetap menjadi kekeliruan atau tidak, tentu saja itu urusan lain.

Kalo dipikir-pikir, berislam dengan cara akhi-akhi itu sederhana loh. Gak banyak perayaannya. Gak perlu ada keharusan ngadain Isra Mi'raj, gak usah ziarah kubur, gak usah selametan, gak perlu masak-masak buat yasinan tiap malem jumat, bahkan tiap malam jumat, kalau Mang Marfu tidak ngundang saya buat yasinan, saya suka lupa kalau saya ini NU. Kalau saya lupa saya ini NU, anak-anak rumah suka pada senang. Bahkan mereka suka teriak, "Yes! Misi Mewahabikan Mang Maul mulai berhasil!".

Makanya suatu malam jumat saya pernah dendam menjebak mereka supaya datang ke rumah Mang Marfu. Sebenarnya tidak sengaja, tapi ketidaksengajaan yang menyenangkan. Anak-anak rumah saya suruh datang ke rumah Mang Marfu karena ada undangan makan-makan. Mau Wahabi mau bukan, urusan makan mah tetap utama. Akhirnya mereka datang, tapi saya lagi COD Duren Aa Oemar waktu itu jadi berhalangan. Pas nyampe rumah, mereka nyalahin saya. Katanya itu bukan acara makan-makan doang, tapi tahlilan. 

Ala kulli hal, Alhamdulillah saya kenalan dengan akhi-akhi ini di dunia nyata, bukan di sosmed. Soalnya kalau lihat image Wahabi di sosmed, rasanya kaku sekali. Apalagi kalau buka Youtube lalu tiba-tiba muncul klikbait "Debat Seru Wahabi vs NU", rasanya gimana gitu. Kenapa harus meyakini suatu kebenaran atas dasar mengetahui kesalahan yang lain? Di dunia nyata, saya hidup berdampingan dengan damai bersama Wahabi. Literally berdampingan. Sekamar. Kadang tukeran bantal dan berbagi selimut kalau lagi nobar. Mereka selow-selow aja tuh, dan pada titik paling tinggi, perbedaan cukup jadi bahan lucu-lucuan aja. Yang tegang-tegang kan biasanya hidupnya kurang lucu. Saya tidak pernah marah tuh ketika teman-teman akhi mengharamkan Cutterme, sebagaimana tidak tersinggungnya mereka ketika saya ledek bertahun-tahun di Mesir tapi gak tahu makam Imam Hussein karena gak pernah ziarah. Saya tidak pernah tersinggung dibully Salman karena pernah mencintai orang PKS dan gagal, sebagaimana tidak tersinggungnya Salman ketika diajak maen tapi gak bisa karena ada kewajiban liqo. Santai aja, Bro.... baru ditoel dikit kok udah tegang aja. Eummmm...   

Mungkin, kebetulan saya kenalannya sama Wagaring, alias Wahabi Garis Miring. Wagaring adalah akhi-akhi gaul di mana mereka tetap punya Instagram, suka dm-dm-an sama sesama Wagaringwati Indonesia yang modus-modus nanya-nanya Mesir lalu berujung ngebahas nikah muda, kadang nyinyir sama Masisir yang pacaran tapi dia suka teleponan tengah malam sama pasangan haramnya, dan suka pasang earphone ke mana-mana. Bedanya, kalo akhi-akhi garis lurus dengerinnya murotal Alquran, kalau yang miring-miring dengerinnya Nisa Sabyan. Ada juga yang dengerin Miriam Eka. Ah wikwik.  

Yang saya garis bawahi adalah, ternyata masih banyak orang-orang di lingkaran saya yang masih belum siap menghadapi perbedaan-perbedaan, bahkan menganggap perbedaan sebagai sebuah ancaman. Ketika saya ketemu teman yang lama tak jumpa, lalu dia menanyakan alamat rumah saya, dia spontan kaget ketika saya jawab bahwa saya tinggal bersama akhi-akhi. Maklum, rumah saya sebenarnya sekretariat almamater pondok, yang emang pondoknya akhi-akhi. Gua masuk kandang macan, Bro! "Mang Maul.... ternyata akhi-akhi?" katanya heran. Saya kira itu pengalaman cukup sekali, ternyata berkali-kali. Memangnya kenapa kalau saya jadi akhi-akhi? 

Suatu malam di saat ada kumpulan para akhi-akhi di ruang tamu rumah, saya sedang ngegambar Cutterme di kamar. Lalu seorang akhi yang tidak pernah saya temui, berbisik pada teman sekamar saya: "itu yang di kamar siapa? dia akhi juga bukan?" Pertanyaan saya akan senada, memangnya kenapa kalau saya bukan akhi-akhi?

Perbedaan seruncing apapun, saya kira menjadi tidak penting ketika alasan kita datang ke Mesir sama-sama menjadi anak Azhar. Sama-sama belajar di atap yang sama, di kampus yang sama, antri di kantor syuun yang sama, dan ngurus visa di Viktif yang sama. Ya meskipun ada juga yang terpaksa ke Azhar karena gak lolos ke Madinah tapi ngebet tetep pengen ke luar negeri. Ya kan?

Udah ah, ini malam jumat. Saya mau ritual dulu, sebelum lupa kalau saya ini NU. 

21 Februari 2019.
   
  

Komentar

Posting Komentar