Review Novel Laut Bercerita karya Leila S. Chudori

Untuk pembaca yang belum tahu kengerian masa Orde Baru, novel ini bisa jadi intro yang baik. Laut Bercerita adalah novel fiksi sejarah yang epik dan mengharukan. Novel ini mengambil latar di Indonesia pada akhir 90-an, masa yang ditandai dengan represi politik, perlawanan, dan gejolak sosial. Ceritanya berfokus pada tokoh Biru Laut, seorang aktivis mahasiswa yang menentang rezim otoriter Soeharto, bersama kelompok teman-temannya yang terlibat dalam gerakan pro-demokrasi di Indonesia. Melalui pengalaman Laut, novel ini mengeksplorasi tema-tema pengorbanan, keluarga, ketangguhan, dan dampak traumatis dari penganiayaan politik. Di bagian awal, Chudori secara singkat sudah memberi klu tentang apa yang hendak diceritakan dalam novel ini. Tulisnya, kepada mereka yang dihilangkan dan tetap hidup selamanya . Kalimat singkat ini, buat saya pribadi, seperti sebuah aba-aba untuk bersiap-siap bahwa apa yang akan dibaca kemudian adalah kisah kengerian-kengerian yang dihadapi para tokohnya. Dan ke

Seberapa Peduli Kita Terhadap TKW di Mesir?


Di awal-awal tinggal di Mesir, saya lebih banyak berteman dengan orang-orang yang lebih senior secara usia dan pengalaman, dibanding dengan teman seangkatan. Teman main saya waktu itu adalah mahasiswa S1 tingkat akhir, bahkan tingkat empat keempat kalinya, atau mahasiswa S2. Berteman dengan orang-orang yang usianya sudah "dinilai matang" untuk menikah, membuat obrolan kami sehari-hari tak jauh-jauh soal nikah, termasuk bagaimana modus-modus perempuan yang ingin dinikahi, salah satunya Tenaga Kerja Wanita (TKW). Motto: berangkat sebagai TKI, pulang-pulang bawa Azhari. 

Di masa Hayyu Asyir hanya punya pilihan mat'am Bobby, La Tansa, Baraya, dan Bariklana, saya dan senior saya pernah makan di salah satu warung makan tersebut yang kebetulan, waktu itu, beberapa meja terisi oleh TKW. Lalu entah bagaimana caranya, satu dari beberapa TKW yang ada di sana menaksir Si Senior. Ngajak kenalan, ngajak ngobrol, bahkan setelah berpisah pun, ternyata perempuan itu benar-benar "mengejar" dan mengepoi senior saya lewat beberapa orang yang ada kaitan dengan senior saya. Suka tiba-tiba ada nomor telepon asing yang masuk, ada kiriman makanan ke Pasanggrahan, ada titip-titip salam, bahkan sampai senior saya ini sering sembunyi ke sana ke mari. 

Berangkat dari pengalaman itu, saya jadi suka was-was sendiri ketika bermuamalah dengan TKW, karena keseringan "didoktrin" bahwa bergaul dengan TKW bukan hal yang lumrah bagi anak Azhar.  Padahal jika dipikir-pikir, apa salahnya dengan TKW? Sebagaimana kita, sama-sama manusia biasa yang tidak bisa dinilai kadar tak terlihatnya dengan hal yang terlihat. Bisa jadi TKW punya level ketakwaan lebih tinggi dibanding ketakwaan anak Azhar, kan? Ada banyak mahasiswa yang nikah dengan TKW dan kehidupan rumah tangga mereka nampak baik-baik, rukun, harmonis, sejahtera, bahkan sampai punya warung makan. Ya meskipun dari penampilan luar akan sangat mudah dibedakan mana mahasiswi dan mana TKI. Eh tapi di Darosah aja sekarang ada mahasiswi suka keluar rumah pake baju tidur dan itu bukan TKW. Gimana dong?

Mahasiswa dalam bermuamalah dengan TKW dapat dikategorikan menjadi berbagai tipe. Ada yang sangat akrab dengan TKW, bahkan mungkin sudah pada level teman curhat, atau minimal tempat yang akan dikunjungi ketika perut lapar. Ada mahasiswa yang biasanya saja, semi apatis, seakan-akan memang ada batas yang memisahkan dunia mereka. Ada juga yang sangat menghindari untuk bermuamalah dengan TKW, seperti anak-anak rumah saya. Saking menghindarinya, ditawarin mau ditraktir makan sepuasnya pun tidak mau lantaran di warung tertentu ada banyak TKW sedang berkumpul. 

Beberapa bulan ini, saya sering secara sengaja makan di warung makan dekat rumah yang memang sering jadi tempat nongkrongnya TKW. Alasannya bukan karena TKW-nya, tapi karena warung itu bergaya warteg, makanannya siap saji jadi tidak perlu waktu tunggu ketika sedang sangat lapar. Plus, sejauh ini cuma warung itu yang selalu sedia semur jengkol sepanjang bulan. Warung itu memang menjadi tempat di mana para TKW bersilaturahmi, karaokean dangdut Iis Dahlia atau Rhoma Irama, ngebandingin Jokowi dan Prabowo, curhat perjuangan nyikat WC, video call-an dengan anaknya yang sudah mulai masuk SD dan minta dibeliin sepeda, bermain smule, transaksi beli tahu tempe dan bumbu-bumbu masak Indonesia, janjian dengan tukang jasa transfer uang, atau sekadar datang untuk makan dan menyimak apa yang TKW bicarakan dan bercandakan, seperti yang saya lakukan. 

Bagi saya, makan di warung itu punya pengalaman yang unik karena mampu menawarkan banyak hal yang tidak didapati ketika nongkrong bareng sesama mahasiswa. Jika nongkrongnya bareng anak-anak PKS, tentulah saya akan diajak milih Prabowo dengan segala alasannya. Jika saya ngopi dengan teman-teman NU, saya akan disuguhi berbagai alasan untuk milih Jokowi dan keutamaan Kyai Ma'ruf dibanding Sandiaga. Jika nongkrongnya dengan Mang Utay, tentu saja saya akan ditunjukkan hal yang indah-indah soal kisah rumah tangga. Dan hanya jika saya nongkrong sendiri di warung TKW itulah, saya mendengar banyak hal tidak saya dapati di selain tempat itu. Salah satunya saya jadi sangat sadar bahwa kita bisa belajar bahasa Arab dan fasih ngomel-ngomel tanpa harus tahu bagaimana bahasa tulisnya, sebagaimana yang saya temukan dari para TKW. 

Minggu lalu, saya dapat pesan masuk di Facebook dari sebuah akun yang tidak saya kenali, bahkan tak ada satu pun teman yang sama. Setelah salam dan basa basi singkat, empunya akun ini memperkenalkan diri sebagai tetangga satu kampung di Purwakarta. Satu desa, beda RT. "Saya kerja di sitta oktober sudah 10 tahun," katanya. Meskipun datang dari desa yang sama, saya benar-benar tidak kenal, karena katanya, si teteh ini terakhir kali ketemu saya sewaktu saya masih TK. Bahkan pernah turut mengasuh saya di masa itu, sebab Si Teteh ini adalah penjaga kantin TK. Waw! Kami bertemu ketika saya belum disunat dong wkwkw.....

Lalu komunikasi kami pun mulai menemukan titik terang. Dari obrolan Mesengger beralih ke Whatsapp, lalu obrolan telepon, dan tak butuh waktu lama untuk menjadi topik tersendiri di obrolan grup keluarga. Sampai akhirnya kami membuat janji untuk bertemu. Sayangnya, Si Teteh yang ternyata diketahui sebagai janda ini tidak datang di hari yang kita tentukan (padahal aku eksaitid wkwkwk), namun ia mengirim delegasi, yaitu dua orang TKW lain yang tinggal serumah dengannya. Dengan wasilah itulah, saya jadi kenal dua TKW lain yang ternyata punya ceritanya masing-masing. Satu dari Purwakarta, satu dari Subang. 

Pertanyaannya, apakah yang saya rasakan ketika bertemu atau melihat TKW di Mesir? Dalam lubuk hati terdalam, saya sedih. Syedih. Syyeeeeeeedddiii. Kenapa?

Pertama, pada umumnya banyak orang Indonesia menjadi TKW di Mesir, atau di negara lainnya,  menjadi pekerja kasar, bukan ekspatriat. Sebagai nanny, bersih-bersih rumah, tukang kebun, dsb. Mengapa harus orang Indonesia yang menjadi pembantu rumah tangganya orang lain? Mengapa mereka tidak jadi konsultan ahli atau CEO atau manager di perusahaan-perusahaan Mesir saja? 

Kedua, jika kita membincang soal pencitraan negara, maka sebenarnya kita punya keseimbangan yang sempurna. Ada ribuan orang Indonesia yang datang ke Mesir sebagai penimba ilmu di Al-Azhar, ada juga ribuan orang Indonesia yang datang ke Mesir sebagai TKW. Ada ribuan orang Indonesia datang ke Saudi sebagai jamaah haji dan umroh, ada juga ribuan orang Indonesia datang ke negara itu sebagai TKW. Pertanyaan satirnya, kita sebagai warga negara yang punya cukup ilmu dan pengalaman, apakah punya kepedulian terhadap isu-isu tersebut? Tidakkah kita punya keinginan untuk menciptakan lapangan kerja di tanah kita sendiri supaya ribuan TKW di Mesir atau di negara lainnya bisa tetap bekerja di tanahnya sendiri, bisa tetap kaya dari keringatnya sendiri tanpa harus meninggalkan anak, suami, mantan suami, orang tua, dan atau tanpa ancaman keamanan dan pelecehan seksual dari majikan. 

Ketiga, saya tahu bagaimana tidak bahagianya masa kecil yang tidak didampingi orang tua. Tidak ada pengalaman bermain bersama, tidak banyak kenangan berhaha-hihi, dan tidak punya cerita yang harus diceritakan ketika mendapat pertanyaan, "apa kenangan terindah dengan orang tua semasa kecil?". Hal tidak menyenangkan itu membuat saya khawatir terhadap banyaknya anak-anak yang ditinggalkan oleh orang tuanya, utamanya ibunya yang hijrah ke luar negeri sebagai TKW. Omaygat! Nelepon seminggu sekali dan dikirimi transferan uang tiap bulan aja belum tentu memenuhi kata "cukup" untuk membahagiakan anak. Ini fakta bahwa banyak TKW yang berangkatnya ke luar negeri meninggalkan anak yang masih kecil. Contohnya adalah kisah dari Si Teteh Gargir (nama samaran), TKW asal Cianjur yang saya temui. Ia menjanda di Indonesia, meninggalkan anak yang masih balita, lalu kerja di Mesir, bertemu jodoh keduanya, lalu menikah. Kata Si Teteh Gargir ini, "kadang suka gak tega, Ustadz, kalo denger anak saya ngeluh di telepon, kangen minta saya pulang. Dulu dia masih kecil, sekarang sudah masuk SD kelas empat," katanya suatu waktu. 

Selain itu, ada banyak alasan lain kenapa saya sangat tidak mengamini kehadiran TKW di manapun. Suatu hari ketika masih jadi pengurus Pasanggrahan Jawa Barat, ada seorang ibu yang nyeker tanpa alas kaki datang ke sekre, dengan muka lusuh kehilangan senyuman. Pakaiannya kotor, nampak sangat lesu. Kabur dari majikan, katanya. Siang itu si ibu bercerita kronologi kaburnya, pengalaman ditampar majikan, dikurung di rumah, dan pengalaman masa lalunya yang ternyata pernah jadi TKW di beberapa negara teluk. Di lain hari ketika saya sedang kerja di loket pelayanan Atdik, ada sebuah mobil hitam yang berhenti di depan konsuler, beberapa orang keluar membopong seorang ibu yang nampak sakit dan lemas. Dengan sangat cepat, sang ibu diletakkan di lobby gedung lalu ditinggal pergi begitu saja. Singkat cerita si ibu meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit. Usut punya usut ternyata ginjalnya sudah tidak ada. Di pintu kedatangan bandara Cairo, seorang polisi memanggil teman saya yang sedang menunggu kedatangan temannya. Polisi itu mengajak teman saya ke bagian dalam ruang kedatangan untuk menghampiri seorang ibu-ibu Indonesia yang tidak bisa ditanyai sama sekali. Bukan karena terkendala bahasa, tapi karena ibu itu punya pandangan yang sangat kosong, melamun, berjalan layu, dan tak ada barang yang dibawa selain paspor. Ketika ibu itu diberi pulpen dan kertas, ibu itu hanya menggambar sebuah pohon. Disinyalir, ibu itu adalah calon TKW korban perdagangan orang. 

Kisah-kisah pilu seperti itu adalah alasan kenapa saya merasa sedih dan syedih dan sssyyyyeeeedddiihh terhadap fenomena kehadiran TKW di Mesir. Saya tidak tahu apa solusi pasti untuk membuat masyarakat Indonesia bisa kaya tanpa harus jadi TKW. Menurut saya, bukan hanya tugas Prabowo atau Jokowi saja, tapi juga tugas kita bersama, sebagai generasi muda, sebagai mahasiswa, sebagai insan akademis, sebagai manusia yang seharusnya punya kepedulian terhadap hal-hal yang terjadi di sekitar kita. 

Ini adalah pengalaman saya sebagai mahasiswa Indonesia di Mesir, yang hidup bertetangga, literally bertetangga dengan banyak TKW. Apakah kamu punya cerita atau pandangan serupa?

19 Februari, 2019.






Komentar

Posting Komentar