Disklaimer: Bacalah tulisan blog ini dengan kondisi hati dan pikiran yang bahagia. Sebab segala kebaikan, kebijaksanaan, perenungan, dan kelucuan tidak akan datang pada pembaca yang sedang dirundung emosi jiwa.
Saya punya cerita konyol yang sebenarnya agak aneh untuk diceritakan. Di rumah saya ada dua mahasiswa baru yang baru datang beberapa hari lalu. Salah satunya adalah pria berbadan tinggi yang sudah tiga kali gagal masuk TNI, lalu banting setir jadi mahasiswa Azhar. Untung lulus tes. Mantan calon TNI ini mengingatkan saya pada seorang teman yang namanya Ahmad. Saya dan Ahmad bertemu waktu ikut Bimbingan & Tes (Bimtes) di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) sebelum ikut ujian masuk UIN Bandung. Ahmad berasal dari Subang, anak kepala sekolah yang katanya lebih disegani dari pada kepala desanya. Kulitnya coklat gelap, tinggi tegap, berotot karena sering latihan fisik, dan tiga kali gagal masuk TNI. Akhirnya ia banting setir kuliah di Fakultas Dakwah, karena katanya punya bakat bisa adzan subuh tanpa lupa bagian "ash shalaatu khoirun min an nauum". Pertemanan kami terbangun dengan baik sejak hari-hari Bimtes tersebut, sampai akhirnya pelaksanaan ujian masuk berlangsung dan akhirnya lulus tes.
Ketika melakukan registrasi, kami diharuskan pihak kampus untuk tes kesehatan yang salah satunya adalah tes urin. Di momen itu, Ahmad bilang bahwa ia sudah bosen dengan tes-tes macam ini. Mungkin karena masuk TNI ada banyak tes kesehatannya. Ia pun bercerita soal tes-tes yang telah ia alami selama percobaan masuk TNI tiga kali itu. Di saat tiba giliran Ahmad untuk kencing di toples kecil, Ahmad tiba-tiba bilang sedang tidak ingin mengosongkan kantung kemihnya. Lalu harus gimana?
Akhirnya dengan ide gilanya, Ahmad mengajak temannya, yaitu adalah aku, berbagi urin. Urin yang sama di dua toples berbeda. Lalu diperiksa petugas lab, dan kami pun lulus jadi mahasiswa UIN Bandung.
Pengalaman itu harap tidak dicontoh, sebab itu terjadi di zaman sebelum kenal dengan
Lukman Hakim, anak Syariah Islamiah yang solehnya tanpa cela. Saat itu belum terlalu mempermasalahkan apa hukumnya lulus tes dengan cara bertukar air urin. Mungkin yang ngambil jatah beasiswa Azhar-nya Si Lukman juga punya ketidaktahuan yang sama. *eh
Di kisah lainnya, saya punya teman lain yang nama panggilannya Rid. Minggu lalu beberapa Masisir bertanya, "Rid" itu siapa. Rid itu teman saya, namanya Farid, tapi nama sebenarnya adalah Riding Horse, karena ia punya cita-cita menjadi pria idaman sesuai ajaran Rasul: bisa berkuda-kudaan, bisa memanah asmara, dan bisa berenang gaya batu. Saya dan Farid pernah menyukai perempuan yang sama, pacaran dengan perempuan itu di periode yang berbeda, lalu akhirnya perempuan itu menikah dengan pria lain. Bukan dengan saya, bukan pula Farid. Dari titik itulah pertemanan kami menjadi semakin erat. Menjadi teman diskusi, teman bertukar pikiran, saling tukar buku, saling hutang-menghutangi, bahkan saling tukar kenangan tentang mantan yang sama.
Kata Quraisy Shihab ketika ditanya soal apa artinya pertemanan, beliau menjawab bahwa teman adalah cermin di mana kita melihat diri kita sendiri di tubuh orang lain. Mungkin ada keselarasan cara berpikir, cara pandang, hobi, gaya, referensi, pengalaman, termasuk selera yang sama pada perempuan yang sama. Saya tidak tahu apakah teman itu memang harus dicari sehingga muncul "saling mencari dan saling menemukan", atau memang datang dan dipertemukan begitu saja secara otomatis. Semisteri konsep jodoh yang entah harus dicari di tinder atau cukup ditunggu ngechat duluan.
Semakin kita dewasa, lingkaran pertemanan kita semakin mengecil. Mungkin kenalan memang banyak, tapi hanya kepada sedikit orang kita merasa aman untuk menyimpan kepercayaan dan cerita-cerita. Sejak lama sekali, saya tidak pernah khawatir soal ini. Soal tidak banyak teman, atau soal belum punya teman hidup. Kenapa? Karena tidak semua orang kita butuhkan, dan kalau pun belum punya teman hidup bukan berarti waktu kematian menjadi datang semakin cepat. Ada proses seleksi alam yang cara kerjanya cukup rahasia. Kita yang disisihkan, atau justru kita yang memang sengaja menyisihkan orang lain.
Menentukan siapa yang ada di lingkaran kecil itulah yang menurut saya menarik. Lingkaran kecil itulah yang menjadi support system, kontributor sekaligus pengawas dalam berbagai hal yang kita lakukan. Mereka tidak selalu setuju, tidak selalu sepakat, tapi selalu ada saat dibutuhkan atau enggak. Dan setiap orang punya lingkaran kecilnya masing-masing, yang akan selalu bertahan sebagai nama-nama yang tak pernah kemana.
Saya sering merasakan kehangatan lingkaran kecil itu dalam kondisi-kondisi yang menurut arus besar tidak seharusnya melawan arus besar. Ya, kadang blog ini disebut liberal, kadang disebut cenderung menjatuhkan Azhar, kadang disebut penyebar kebencian, atau perusak citra Masisir. Ya gitulah pokoknya. Susah jadi Mang Maul mah. Di dunia ini gak ada yang mau dilahirkan sebagai Mang Maul.
Bersyukurnya, lingkaran kecil saya adalah orang-orang yang tidak percaya pada kesimpulan yang diambil dari suatu proposisi "yang benar karena dipercayai oleh banyak atau kebanyakan orang." Istilahnya Argumentum ad populum. Dengan kata lain, ide dasar dari argumen adalah: "Jika banyak yang percaya hal itu, maka hal itu adalah benar.", yang padahal belum tentu benar, bahkan belum tentu teruji empiris.
Kita sering menyebut mobil putih Asyir-Sabi atau Asyir-Ramsis itu namanya Tremco, yang padahal orang Mesir sendiri menyebutnya Utubis. Sebab yang disebut Tremco adalah mobil berwajah kaku yang biasanya beroperasi di Husein-Ramsis, Juaeah-Husein, atau Sabi'-Sayyidah 'Aisyah. Karena terlalu banyak Masisir menyebut itu Tremco, maka kita pun percaya bahwa Utubis adalah Tremco, tanpa melakukan konfirmasi empiris terhadap orang Mesir yang lebih tahu. Lalu kita menurunkan itu ke generasi Masisir berikutnya, dan terus seperti itu. Beberapa tahun lalu polisi Mesir sempat keliru membaca data terkait pelaku pembegalan yang menyebabkan hilangnya nyawa seorang Masisir, karena katanya pembegalan terjadi di dalam "Tremco", padahal harusnya "Utubis".
Contoh lainnya adalah Markaz Lughoh yang sering disebut DL. Daurah Lughoh, atau bahkan Darul Lughoh. Sejak kapan lema Daurah dan Darul punya similiaritas semantik? Asatidz di Markaz itu pun menampik penamaan DL karena lembaga itu memang jelas namanya Markaz Lughoh. Tapi karena banyak Masisir yang menyebutnya DL, lalu terwariskan dari generasi ke generasi, maka kita meyakini bahwa DL adalah pengistilahan yang tepat.
Saya tak pernah khawatir jika saya punya opini dan argumen yang sering melawan arus, sebab lingkaran kecil saya adalah support system yang mendukung itu. Toh, tujuan menulis dan berargumen bukan untuk nyari tambahan teman gak penting apalagi fans, kan? Nambah haters sih iya.
Yang pasti, menentukan teman seringkali bukan proses yang gampang, apalagi jika kita punya banyak kriteria. Teman atau pacar atau apalah itu biasanya hanya punya dua dari tiga hal: Cakep, pinter, waras. Ada yang ganteng/cantik, pinter, tapi biasanya orangnya aneh, rada-rada, bahkan abnormal. Seperti hobi makan nugget pake nuttela, makan apel pake merica, atau mandi sambil bawa air minum. Katanya kalo mandi suka haus di tengah-tengah. Ada yang pinter, gak aneh-aneh, tapi gak cakep. Penampilan luarnya biasa aja, tidak suka make up, tapi isi otaknya seluas perpus Alexandrina. Hafal Alquran dan tafsirnya, baca bukunya minimal satu buku per minggu, tahu judul-judul kitab, juga tahu judul-judul film. Ada yang cakep, waras, tapi gak pinter. Gitu kan?
Teori ini sama kaya bisnis. Hanya ada dua dari tiga hal: murah, cepat, bagus. Yang murah dan cepat biasanya gak bagus, yang murah dan bagus biasanya gak cepat, dan yang bagus dan cepat biasanya gak murah.
Terakhir buat Lukman dan Fudholi yang whatsapp-nya belum saya bales, memang benar seperti yang sering kita bilang bahwa Masisir adalah orang-orang pilihan. Cuma kalimat kita ternyata belum sampai tuntas. Orang-orang pilihan dari berbagai kategori. Ada yang terpilih dari kategori orang-orang berprestasi, ada yang terpilih dari kategori orang-orang saleh, ada yang dari kategori orang-orang biasa aja tapi rajin, tekun, dan berkeinginan kuat, dan yang terakhir ada dari kategori yang kalau kata Lukman mah, kategori orang-orang ber-IQ selusin sendok. Contohnya yang beli tiket tiket pesawat sejak sebelum ujian termin dua kemaren dan baru bayar kemaren-kemaren.
08 Desember 2018.
This is maul
BalasHapus