Menelusuri Perjalanan Psikologis Seorang "Pria yang Mencuci Piring"

Apa jadinya ketika seorang psikiater, yang notabene tukang ngobatin orang-orang sedih dan kehilangan, malah mengalami kesedihan dan kehilangan? Buku ini menawarkan perspektif menarik tentang proses berduka melalui pengalaman pribadi seorang psikiater, dr. Andreas Kurniawan, Sp.KJ., yang menghadapi kehilangan anaknya. Dengan gaya penulisan yang sederhana dan penuh makna, buku ini mengajak pembaca untuk menyelami dunia psikis seseorang yang berjuang untuk mengatasi kesedihan dan menemukan kembali kekuatan untuk melanjutkan hidup. Buku ini disusun dengan gaya yang mudah dipahami, menggunakan diksi sederhana yang cocok untuk kalangan luas. Meskipun penulis adalah seorang profesional medis yang akrab dengan istilah psikologi dan kedokteran, ia berhasil mengemas konsep-konsep tersebut dalam bahasa yang sangat mudah dipahami, sehingga pembaca dari berbagai latar belakang dapat menikmati dan mengambil manfaat dari pembacaannya. Secara struktur, buku ini terdiri dari 16 judul, yang secara berur...

Usia 24 dan Belum Sarjana



September lalu, usia saya tepat 24 tahun. Saya memulai usia itu dengan duduk di sebuah balkon menghadap Laut Mediterania, sambil mengingat-ngingat apa saja yang sudah dilakukan selama 24 tahun terakhir. Laut pagi itu sedang biru-birunya, dan langit tampil menawan dengan warna biru yang lain. Mengingat momen pagi itu, saya baru menyadari bahwa pagi itu adalah salah satu pagi terbaik yang pernah saya miliki. Berkali-kali ke Alexandria, belum pernah sekalipun menikmati indahnya matahari Alexandria di pagi hari, dari satu tempat yang membuat saya tahu betul bagaimana setiap presisi terjadi, lengkap dengan sepoi angin dan gemuruh ombaknya. Pagi itu saya menulis sesuatu dalam Jurnal, dan kembali menemukan tulisan itu hari ini: setelah hari ini berakhir, akankah hidup saya sebagaimana biasanya, atau akan menjadi berbeda? 

Saya punya banyak ikatan dengan angka 24. Dulu ketika lulus pesantren dan hendak masuk kuliah, kakak saya pernah menyarankan untuk merencanakan pernikahan di usia 24. "Seenggaknya usia 22, kamu udah lulus S1. Terus kerja atau cari pengalaman dulu atau kuliah lagi dua tahun, pas usia 24 bisa nikah." Kira-kira begitu yang saya ingat. Lalu karena kuliahnya amburadul dan mengulang kembali segalanya di Mesir dari nol, targetnya jadi berubah, oke, gue bakal sarjana di usia 24. Tapi karena perjalanan hidup yang penuh tikungan, dan si kampret gue ngalamin rosib (gak naik tingkat), cita-cita bisa sarjana di usia ini gagal tercapai. Apa harus kembali ke rencana awal ya, nikah aja?

Dengan kondisi kuliah yang belum selesai, juga rencana nikah yang entah dengan siapa, saya banyak berpikir apa iya dua hal semacam itu layak dijadikan target hidup? Benar-benar menjadikan angka-angka sebagai target hidup? Kadang saya membayangkan jika waktu itu saya tetap tinggal di Bandung, meneruskan hidup sebagai mahasiswa di sana, ikut-ikutan demo di sana, mungkin sekarang udah kaya temen-temen saya yang lain: udah ngerasain rasanya jadi sarjana, udah ngerasain jadi masa-masa ngelamar kerja, ikutan sibuk tes CPNS, atau minimal, mungkin, ngerasain gimana nikmat dan tidaknya pacaran di dalam kosan. Tapi seandanya skenarionya seperti itu, setelah kuliah dan kerja itu, lalu apa lagi? Apakah setelah lulus kuliah, saya akan jadi guru dan entah sampai kapan profesi itu akan dimiliki? Apakah itu akan membuat hidup begitu menyenangkan? 

Di skenario kedua, saya membayangkan tahun ini sudah sarjana, sudah Lc, sudah unggah-unggah foto dengan caption ala-ala, "Alhamdulillah akhirnya perjuangan dan segala jerih payah ini terlewati, segalanya kusembahkan untuk bla bla bla....". Lalu apa lagi setelah itu? Lanjut S2 di Azhar dengan hati yang mengamini "setengah mustahil bakal selesai", atau pulang lalu kembali ke pesantren, jadi guru Bahasa Arab, misalnya, atau seperti banyak alumni yang lain, bikin usaha travel, atau bagaimana? Bahkan saya sendiri tidak tahu rencana apa selanjutnya jika skenario-skenario fiksi itu beneran terjadi saat ini. 

Dalam kondisi yang semi-desperate ini, saya bertemu dengan video-video dan tulisannya Brian Tracy. Semacam motivasi tapi tidak se-bikin-geli kata-katanya Mario Teguh. Dari rentetan pengalaman itu, saya mulai percaya soal konsep timing-nya seseorang yang berbeda-beda. Sebastian Kurz menjadi Presiden Ukraina di usia 31 tahun, sementara di usia yang sama, Al-Muktafi menghembuskan napas terakhirnya sebagai Khalifah Abbasiyah ke-17. Ketika para orang tua mulai pensiun di usia 60-an, Mahathir Mohamad baru memulai karier sebagai Perdana Menteri Malaysia di usia 92 tahun.

Setidaknya saya menyadari bahwa yang perlu dikejar dalam hidup ini bukan momentum, tapi materi untuk mengisi suatu momentum. Misalnya, saya harus narget ketika mau nikah nanti, kapasitas keilmuan saya soal nikah sudah berada di titik aman. Minimal, khatam dan paham fikih munakahat. Untuk mencapai ke sana, saya harus talaqi. Atau, dengan fakta nilai akademik yang buruk akibat kuliah di Azhar yang cuma dengan spirit part-time, saya harus punya skill lain yang bisa menciptakan banyak peluang ketika ijazah Azhar tidak cukup ampuh untuk membangun masa depan. Untuk menghadirkan peluang itu, saya harus bisa baca koran Arab tanpa bantuan Google Translate, skor IELTS saya harus di atas 8.5, serius membuat setiap Cutterme sebagai master piece, atau belajar menambah skill baru biar hidup makin ahiw. 

Dari salah satu tulisan Brian Tracy, juga beberapa sumber lain yang sangat acak, saya menandai tiga hal penting yang lebih penting untuk dijadikan target ketimbang nargetin jadi sarjana kapan atau nikah kapan. Kematangan Emosional (Emotional Independent),  Kebebasan Finansial (Financial Freedom), dan Kemandirian Pengambilan Keputusan (Making Decision Independent).

Kematang Emosi diterjemahkan sebagai kedewasaan dalam berpikir dan bertindak. Jika saya masih mudah marah, mudah memaki, gampang tersulut, masih lebih senang ngomongin orang dibanding ngomongin ide, menunjukkan belum adanya kematangan mengelola emosi. Bahkan dalam batas yang paling sulit dicerna, saya tidak tahu apakah ada perbedaan ketika mencintai seseorang, karena nafsu atau karena hati? Apakah ketidaksukaan saya pada seseorang, membuan=t saya berhenti mengulurkan tangan ketika orang itu butuh bantuan? Dalam hal finansial, tidak peduli apakah kamu sudah sarjana atau belum, menikah atau belum, memerdekakan diri dari ketergantungan finansial kepada orang tua perlu dipertimbangkan dengan serius. Apalagi jika kamu bukan anak dari seorang ayah pengusaha kaya, atau kyai besar yang dapurnya tak pernah berhenti ngepul, untuk menuju tahap kita mampu memberi untuk orang tua, maka perlu kita percepat proses mampu memberi kepada diri sendiri.

Saya kira, merencanakan dan menghadirkan nilai (value) di suatu usia akan jauh lebih bermanfaat ketimbang menarget kerja apa atau nikah dengan siapa. Dan saya berpikir untuk mencari lebih banyak nilai dan manfaat di usia 24 ini, juga di usia-usia selanjutnya. 

Ini kisah saya di tiga bulan pertama usia 24. Bagaimana denganmu?

11 November 2018.





Komentar

  1. jangan bersedih brader.
    ehehe

    yang usia segini dan belom lulus bukan lu aja kok. tenang.
    saat-saat kayak gini memang harus diisi dengan menonton video motivasi biar ga depresi. walaupun ujung''nya selalu ngerasa, 'Fak. bisa diulang ga sih nih waktu'

    pengen juga nih sekali'' ke alex bisa bangun pagi terus liat indahnya mentari pagi. kayaknya sih keren. tapi susah terealisasikan.

    perdana main kesini gara-gara liat storynya marintul

    BalasHapus
    Balasan
    1. Thanks bro udah mampir ;) Seru juga baca blog antum huhehehe

      Hapus
  2. salam kenal kak, aku new reader eaak....
    mwhehe

    kata kebanyakan orang hidup itu harus punya target. biar lo hidup lebih terarah katanya. ya... gak salah juga sih. tapi terkadang dengan adanya target lo juga bisa menjadi orang yang ambisiusan. karna dengan target lo pasti akan mengebu-ngebu , dan mendorong sekeras mungkin dirimu agar dapat tercapai target-target itu. maka jika sudah tercapai yang satu maka ada lagi target yang lainnya menunggumu. seolah itu memaksa diri kita untuk mencapai itu.
    maka dari itu aku lebih memilih untuk gak mau jadi orang yang ambisiusan karna harus mencapai target'' itu (hmm bener gak sih yang kayak gini?). tapi aku merasa nyaman dengan keadaan yang kayak gini.

    "bukan masalah secepat apa kamu menuju kesana tapi....
    bagaimana kamu menikmati proses perjalanannya yang pada akhirnya akan membuat kamu matang dan siap ketika kamu nanti sudah disana."

    jangang sedih kak.... nanti semua ada saatnya kok (lah.... jadi sok bijak padahal mah kagok juga)hehe


    BalasHapus

Posting Komentar