Menelusuri Perjalanan Psikologis Seorang "Pria yang Mencuci Piring"

Apa jadinya ketika seorang psikiater, yang notabene tukang ngobatin orang-orang sedih dan kehilangan, malah mengalami kesedihan dan kehilangan? Buku ini menawarkan perspektif menarik tentang proses berduka melalui pengalaman pribadi seorang psikiater, dr. Andreas Kurniawan, Sp.KJ., yang menghadapi kehilangan anaknya. Dengan gaya penulisan yang sederhana dan penuh makna, buku ini mengajak pembaca untuk menyelami dunia psikis seseorang yang berjuang untuk mengatasi kesedihan dan menemukan kembali kekuatan untuk melanjutkan hidup. Buku ini disusun dengan gaya yang mudah dipahami, menggunakan diksi sederhana yang cocok untuk kalangan luas. Meskipun penulis adalah seorang profesional medis yang akrab dengan istilah psikologi dan kedokteran, ia berhasil mengemas konsep-konsep tersebut dalam bahasa yang sangat mudah dipahami, sehingga pembaca dari berbagai latar belakang dapat menikmati dan mengambil manfaat dari pembacaannya. Secara struktur, buku ini terdiri dari 16 judul, yang secara berur...

Muizz Street, Jalan Tertua di Cairo

Hasil gambar untuk azhar mosque cairo

Siang itu, kamu datang empat belas menit lebih cepat dariku. Aku membayangkan dalam waktu singkat itu, atau mungkin lama bagimu, kamu sedang misuh-misuh. Mungkin sambil duduk di pelataran Masjid Azhar sembari melamunkan sesuatu. Ketika aku datang memasuki pintu Azhar, kamu tengah siap berfoto bersama kawanmu, sementara menara berusia tua itu menjadi latarnya. Menara masjid yang ini bentuknya lain, pikirmu. Dunia harus tahu keunikan itu, lewat fotomu yang kemudian tersebar di beragam status sosial media.

Hari itu, aku suka warna kerudungmu. Warna CMYK, bukan RGB. Sesekali angin menerpa kain-kain di sekujurmu, tapi tetap saja, pesonamu tak hanyut terbawa hembusannya. Di antara banyak orang yang berfoto waktu itu, aku selalu tahu cantik milikmu berada di sebelah mana. 

"Makasih ya udah mau nunggu. Tadi bisnya kena macet jadi agak lama di jalan," sapaku beralasan,  "kamu udah lama nunggunya?" 
"Lama atau pun enggak, kalo aku udah liat kamu suka tiba-tiba lupa berapa lama."
"Ah, kamu. Ya udah kita gabung dengan yang lain!"

Lalu sapaan singkat itu mengawali kebersamaan kita siang itu, turut berbaur dengan belasan atau puluhan orang yang ikut Rihlah Tarikhiyah bersama Senat Bahasa Arab Univ. Al-Azhar. Wisata jalan kaki seperti ini selalu menyenangkan buatku. Nampaknya buatmu juga. Tidak perlu keluar biaya banyak, tak perlu jauh-jauh keluar Cairo, bahkan jauh lebih bermanfaat dibanding jalan-jalan kita minggu lalu ke Dream Park. Waktu kita ke sana dapat apa coba? Ilmu belum tentu dapet, yang jelas mah ilang kaca mata pas naik Roller Coaster. Ah elah...

Rihlah ini dipandu oleh Mas Miftah, sejarawan muda yang kalo sakit masih bikin teh manis sendiri. Di saat sebagian orang tak suka mengungkit-ngungkit masa lalu, berterima kasihlah pada Allah swt. yang telah menciptakan Mas Miftah. Ia menyukai masa lalu lebih dari siapapun, sampai-sampai jika ia belajar buku-buku sejarah, buku sejarahnya yang gagal move on. *apasih

Dari Masjid Al-Azhar, perjalanan dimulai. Katamu, Mas Miftah udah cerita cukup banyak soal sejarah Masjid ini. Tentang Dinasti Fatimiyah di tahun 970 M, tentang Abu Manshur Nizar, tentang awal mula berdirinya Universitas Al-Azhar, dan tentang hal lainnya yang kulewatkan. Tapi aku senang waktu itu datang terlambat, sebab dengan bagian yang hilang itulah aku jadi punya alasan untuk bertemu kamu lagi. Kita sering banget mengunjungi masjid ini untuk menunaikan salat, mengikuti majelis ilmu, atau sekadar melepas lelah. Masjid ini punya atmosfer yang bikin betah untuk berlama-lama, apalagi di terasnya. Sambil selonjoran, murojaah hafalan, atau baca buku, selalu menemukan kenyamanannya sendiri. Kalau saja aku tahu sejarah masjid ini, pasti bakal lebih greget lagi ketika berkunjung lagi ke sini. Kamu mau kan ceritain apa yang waktu itu Mas Miftah ceritain? Aku bakalan lebih ngerti penjelasan dari kamu, bukan dari Mas Miftah. Mau ya?

Hasil gambar untuk abu dahab mosque cairo

Dari Azhar, kita beranjak ke halaman Masjid Abu Dahab yang berdiri persis di samping Al-Azhar. Masjid ini unik, lantainya agak naik sehingga tidak satu level dengan jalanan. Mirip Gereja Gantung. Katanya, masjid ini dulunya dibangun sebagai madrasah tempat tinggalnya para pelajar dari berbagai daerah yang sedang belajar di Al-Azhar. Yang menarik dari masjid ini adalah bentuk kubahnya yang semi persegi. Selain berfungsi sebagai masjid, bangunan ini dulunya juga berfungsi sebagai tempat bermalamnya para pedagang dari luar kota yang berdagang ke Cairo.

Waktu itu jam dua seperempat siang. Cuacanya sedang bagus. Matahari memang menyengat, tapi angin sepoi-sepoi selalu beriringan mengikuti perjalanan kami menelusuri Syari' Muiz Li Dinillah, salah satu jalan tertua di seantero kota. Jalan ini membentang sepanjang kurang lebih satu kilometer, dengan Bab Zuwayla di sisi selatan dan Bab Futuh di bagian utara. Menyeberang dari Abu Dahab, ada Masjid Sayyidina Husein. Dibandingkan Masjid Azhar, masjid ini selalu terlihat lebih ramai. Maklum, ada makamnya Sayyidina Husein bin Ali di sana. Tak berlebihan rasanya untuk mengatakan masjid ini tak pernah menemukan rasa sepinya sepanjang tahun. Ditambah lagi dengan lokasinya yang berada tepat di permulaan Khan Khalili, pasar oleh-oleh yang menjadi tempat kunjungan pasti para wisatawan. Ketika melewati Masjid Husein dan menerobos jalan kecil di antara himpitan pertokoan Khan Khalili, kamu memintaku untuk berjalan di bagian paling belakang. Biar bisa foto-foto tanpa diliatin yang lain, katamu. Di gang sempit itulah, di depan pintu Naguib Mahfouz Cafe, kamu berpose syalala bumbum.

"Kalau punya duit nanti, kita makan di sini yuk, A!" ujarmu.
"Kenapa harus di sini? Mahal tau!"
"Soalnya tempat ini banyak disebut di novel-novel, kan Aa pernah cerita. Siapa tahu kalo makan di sini bakal ketularan kerennya Naguib Mahfouz."
"Bukan soal bersejarah atau enggak, masalahnya mahal aja."
"Aa gak mau berkorban untukku?"
"~"

Perjalanan berlanjut menuju Syari Muiz, satu dari sedikit jalan di Cairo yang mengunakan paving block. Jalan sore di Syari Muiz selalu menyenangkan. Keramaiannya, kehangatannya, pemandangan arsitekturnya, selalu mengantarkan kita menuju cerita baru. Bahkan dalam lubuk hati yang paling dalam, menelusuri Syari Muiz ini sama halnya seperti menelusuri rongga-rongga di hatimu, kapanpun selalu terasa seperti cinta pertama. Berjalan di rute ini memang harus dengan tempo yang lambat, menikmati langkah demi langkah dengan beberapa pertanyaan perkenalan dan pendekatan. Sambil menuju titik berkumpul untuk kembali mendengarkan penjelasan Mas Miftah, saat itulah aku menemukanmu sebagai sosok yang lain. Yang lebih membuatku yakin bahwa kamu adalah calon ibu yang cerdas untuk calon anak-anakku kelak.

"Aa, katanya pemerintah Mesir telah merenovasi jalan ini beserta seluruh bangunannya sejak tahun 1997. Tahun 2008 jalanannya mulai direnovasi ulang, dipasang paving block seperti aslinya. Maksudnya diseriusin gitu jadi museum terbuka. Tuh, A, jalanan aja diseriusin, Aa seriusin aku kapan?" sampai kalimat ini, kamu yang nampak cerdas kembali terlihat bego lagi seperti sedia kala.

"Malah Unesco PBB pernah bilang bahwa jalan ini pantas disebut sebagai konsentrasi terbesar harta arsitektur abad pertengahan di dunia Islam. Tuh liat deh bangunannya, keren ya!"

Kamu nampak antusias hari ini. Sering kali menunjukkan jari ke beberapa sudut bangunan, hanya untuk menunjukkan alasan di balik binar matamu. Arsitektur di sepanjang Syari Muiz memang menakjubkan. Hampir sebagian besar merupakan bangunan peninggalan Dinasti Mamluk, yang tetap dibiarkan keasliannya meskipun Dinasti Utsmani berhasil berkuasa setelahnya. Malahan, bangunan tandingan yang hadir di masa Utsmani menjadi warna dan corak baru yang membuat jalanan ini semakin menarik untuk ditelusuri.    

Langkah kita berhenti di satu belokan besar dengan area halaman bangunan yang cukup luas. Titik itu disebut Kompleks Qalawun, sebuah area bertetangga yang terdiri dari rumah sakit (moristan), madrasah, dan monumen makam (mausoleum). Kompleks ini berdiri di bekas istana Fatimiyah dulu, yang dibangun pada masa pemerintahan Sultan al-'Adil Katbugha sekitar tahun 1295 M. Entah benar atau tidak, sebagian dari bangunan madrasah di kompleks ini memakai batu-batu yang diambil dari piramida yang merupakan makam Fir'aun.



"Ih, A, liat deh! Menara di komplek ini bentuknya kaya menara gereja, ya!" katamu heran sekaligus kagum. 
"Iya, ya! Menarik!" sahutku singkat. 

Sayangnya kita berkunjung ketika hari masih siang, jadi gagal untuk mengabadikan momen saat lampu-lampu menyala. Lain kali kita ke sana lagi ya, pas lampunya nyala, bangunan di sekitar kompleks ini selalu tampak eksotis dan menawan.

Di sela-sela perjalanan, kamu bertanya soal banyaknya bangunan bersejarah di sepanjang jalan ini. Katamu, mengapa orang Mesir menjaga semua peninggalan ini sementara di Indonesia, menemukan jejak Majapahit atau Samudra Pasai saja sulitnya luar biasa. Soal itu, aku tak punya jawaban ilmiah. Mungkin ada sejarah yang harus diabadikan, mungkin juga pelaku sejarah setelahnya merasa perlu untuk meniadakan. Entahlah, Dek, ada kalanya pertanyaan itu juga ada di pikiranku, ketika aku baru menyadari bahwa foto mantanku sudah kuhapus di galeri hapeku, tapi ternyata masih ada di Google Drive. Apakah hal itu termasuk sejarah yang harus aku abadikan? Apakah kamu punya saran?


Tak jauh dari kompleks Qalawun, ada Masjid Al-Aqmar yang terkenal karena bagian depan pintu masuknya. Bagian depan masjid ini memiliki corak gaya Fatimiyah yang menggunakan pintu masuk masjid sebagai prasasti dengan ukiran geometris. Bahkan gaya tersebut disebut-sebut sebagai yang pertama di sejarah arsitektur bangunan di Cairo. Jika diperhatikan dengan seksama, kaligrafi Arab yang menghiasi pintu masuk tersebut bukan sembarang pola, melainkan tulisan berupa pujian untuk Allah, nama penggagas pembangunan masjid, tahun dibangun, penggalan ayat Alquran, dan doa singkat yang menyantumkan nama Muhammad dan Ali di bagian tengahnya. Dibandingkan dengan masjid lainnya, ukuran masjid ini memang kecil. Seandainya tidak ada kisah di balik pintu masuknya, mungkin kamu bakal ngeliatnya sebagai masjid biasa aja.


Salah satu yang ikonik dari Syari Muiz ini adalah adanya Sabil-Kuttab Katkhuda, sebuah bangunan seperti menara persegi yang berdiri di tengah jalan. Sabil ini dulunya berfungsi sebagai tempat air yang bisa digunakan untuk minum atau sekadar bersingggah dalam perjalanan. Sabil satu ini dibangun tahun 1744 oleh pionernya arsitek Mesir, Abdurrahman Katkhuda. Karena bangunannya di tengah jalan, jadinya asik buat spot foto. Foto sambil loncat-loncat gitu. 


Karena banyaknya peserta yang menghalangi lalu lintas suara antara suaranya Mas Miftah dengan telingaku, tak banyak penjelasan beliau yang bisa kutangkap dengan baik. Nampaknya kamu pun mengalami hal yang sama. 

"Kakaknya ngomong apa sih?"
"Gak tau! Gak kedengeran!"
"Aa aja deh yang jelasin!"
"Aku gak ngerti gini-ginian. Dari pada susah merhatiin sejarah orang, gimana kalau kita bikin sejarah kita aja?"
"Iya, bener! Eh, A, liat deh!" tanganmu menunjuk ke bagian tengah Sabil, "nanti kalau kita bangun istana kita, kita tambahin corak itu yuk!"
"Boleh. Emangnya kenapa dengan corak itu?" 
"Ya bagus aja, biar ada kenangannya juga, dulu kita pernah terinspirasi corak itu pas jalan bareng di Syari Muiz." 
"Kalau aku gak bisa wujudin istananya di dunia tapi di surga aja, gimana?"
"Mau di dunia atau pun di akhirat, yang jadi imam aku tetep Aa, kan?"
"~"

Tak lama setelah obrolan gombal sampah itu, rombongan mengarah ke salah satu masjid terdekat untuk menunaikan salat Asar. Sambil menunggu antrian wudu yang mengular, saat itulah kita melipir ke sebuah kedai minuman di satu sudut jalan. Kita memesan dua gelas Tamr Hind sore itu. Sekilas, Tamr ini nampak sama seperti minuman asam di tempat lainnya. Namun ketika cairannya mulai berkenalan dengan lidah, seketika kamu menemukan cara lain menikmati segelas Tamr Hind. Asamnya lebih kuat, namun tak mengurangi kenikmatannya. Entahlah, aku menikmati asamnya dari Tamr Hind, juga manisnya gelak tawamu sore itu secara bersamaan. 


Destinasi berikutnya adalah Masjid Al-Hakim bi Amrillah. Duduk berbincang di halaman masjid ini punya kenyamanannya tersendiri. Sambil menikmati pemandangan anak-anak bermain bola, pedagang berlalu lalang, wisatawan berswafoto di sana-sini, dan detail lainnya yang mengesankan kota ini sedang dalam kebahagiaannya. Bisa dibilang, masjid ini merupakan salah satu yang terbesar yang ada di sepanjang Syari Muizz. Nama masjid tersebut dinisbatkan kepada khalifah keenam Dinasti Fatimiyah yang berkuasa saat itu. Konon katanya, masjid ini awal pembangunannya sejak masa Al-Aziz Billah, yang meninggal dunia di tengah proses pembangunan. Pembangunan masjid pun dilanjutkan oleh putranya, yang merupakan khalifah berikutnya. Masjid ini berbentuk kotak persegi, sekilas nampak sama luasnya dengan Masjid Al-Azhar. Sama halnya dengan Masjid Azhar, masjid ini juga menjadi pusat penyebaran ilmu dan berbagai kajian keislaman berdasarkan paham Syi'ah yang dianut oleh dinasti saat itu. Mungkin ini jadi jawaban pas sore itu kamu nanya, "kok di masjid ini banyak orang India dan Bangladesh ya?", karena sampai saat ini masih menjadi wisata religi bagi orang-orang Syi'ah dari kedua negara tersebut. 

Masjid ini punya banyak bukaan berupa lengkung pintu tanpa tutup. Dengan kain hijau di setiap bukaannya, menjadikan masjid ini punya ciri khasnya tersendiri.

"Aa, masjid ini bagus juga ya kalau buat foto-foto pake baju wisuda! Nanti kalau aku wisuda, fotoin di sini ya!"
"Iya, tapi aku dulu wisudanya. Kamu fotoin aku duluan. Lagian kan kamu baru lulus DL. Gimana sih?" 
"Oh iya ya, hehe..."


Perjalanan kita berakhir di Bab Futuh, sebuah gerbang besar yang dulunya menjadi batas terluar Kota Cairo. Dulu sekali, Cairo hanyalah sebuah kota kecil yang hanya berada di dalam lingkaran besar antara Bab Futuh dan Bab Zuwaela, bukan sebesar Cairo yang kita kenal saat ini. Bab Futuh ini mengingatkanku pada permainan-permainan digital bertema heroik seperti Crusaders, atau gerbang-gerbang di kerajaan Games of Thrones. Keaslian bangunan ini membuatmu takjub dan terpana sekaligus, seketika membawamu pada masa lalu di saat masyarakat Cairo membangun gerbang tinggi ini tanpa bantuan teknologi secanggih saat ini. 

Di Bab Futuh pula lah, aku dan kamu berpisah arah, melangkah menuju haluan yang berbeda. Sementara waktu, perpisahan selalu nampak menyakitkan. Tapi bukankah dengan perpisahanlah, manusia menjadi punya kenangan? Di lambaian terakhirmu, sepenggal kalimat meluncur dari sorot matamu. Cinta itu tidak pernah pergi, Aa! Ia hanya berpindah dari hati menjadi memori. Maukah membuat kenangan lainnya bersamaku lagi?

Cairo, Oktober 2018.
  

Komentar

Posting Komentar