"Hey Sayangku, hari ini aku syebel...."
Kamu bacanya pake irama lagu ya? Wajar. Aku juga sering gitu kalau nemu kalimat yang awalannya begitu. Dalam kondisi di mana sebuah tren tumbuh pesat, persepsi memang gampang berubah. Sama halnya ketika menemukan kalimat, "jalan-jalan ke kota Bandung..." mungkin aku atau kamu akan membacanya dengan gaya hendak berpantun. Padahal, bisa saja kalimat itu hanya sebuah premis biasa.
Tren itu bisa mengubah cara berpikir seseorang, sadar atau tidak. Dalam dunia perkamusan, banyak istilah yang memiliki pengertian baru dikarenakan perubahan tren yang terjadi di antara para penuturnya. Misalnya kata "sarjana", dulu digunakan untuk menyebut orang pintar atau siapapun yang dianggap pintar. Sekarang kata itu jadi gelar bagi yang sudah lulus perguruan tinggi. Kata "pendeta" dulu punya makna orang berilmu, lalu sekarang menjadi sempit digunakan hanya untuk menggelari ulamanya orang Kristen. Dalam skala yang lebih luas, di mana kehidupan sosial kita terus berputar dan berkembang, ada beberapa pertanyaan yang ingin sekali aku diskusikan denganmu soal bagaimana tren mengubah persepsi kita tentang sesuatu. Bolehkan aku bertanya pertanyaan-pertanyaan lain selain bagaimana kabarnya jiwaku yang sedang ngekos di hatimu?
Pertanyaanya begini:
Apakah cukup adil menilai baik tidaknya seseorang dari ada atau tidak adanya tato di tubuhnya? Apakah cukup adil menilai bertanggung jawab atau tidaknya seseorang dari kebiasaannya merokok atau tidak? Apakah aku cukup adil menilai besar tidaknya rindu yang terbalaskan hanya dari sepucuk surat yang kau kirim lewat jasa bagasi? Tiga pertanyaan itu mengintrogasiku belakangan ini. Kadang aku punya jawaban sesaat, kadang pula aku lupa di mana seharusnya menggunakan subjektivitas, objektivitas, atau akal sehat dan kesadaran yang penuh. Sebab, kau tahu, stereotip, tren, dan perasaan bisa mengubah pandangan apapun dengan seketika.
Suatu hari di usia enam atau tujuh tahun, aku diajak kakakku berkunjung ke sebuah pesantren di Bandung. Pesantren itu adalah tempat mondoknya Teteh semasa Aliyah, tapi bangunannya hilang. Benar-benar hilang dan tak dikenali. Hanya ada tanah lapang dan ilalang. Kami berdua bingung bukan main, sebab alamat yang kami kunjungi sesuai dengan memori dan kenangan yang dimiliki Teteh, tapi kenyataannya berbeda. Dalam kebingungan itu, kami melihat beberapa orang pemuda yang nongkrong di depan sebuah gang. Rambut mereka panjang, sedang merokok, beberapa memainkan gitar dan tertawa-tawa. Di usiaku waktu itu, aku begitu takut melihat pria berambut panjang. Sama takutnya ketika melihat mobil jip yang diasosiasikan sebagai mobil penculik. Dengan sedikit ragu, atau mungkin banyak ragu, Teteh menghampiri pemuda itu untuk mencari jawaban. Tak disangka, justru lelaki berambut gondrong, merokok, dan ternyata punya tato di tangannya itu yang memberi jawaban dengan ramah, bahasa Sunda yang lembut, bahkan mengantarkan kami ke alamat yang dituju. Lalu dari pria gondrong itu, kami tahu bahwa pondok kecil yang kami cari mengalami kebakaran, tidak ada lagi pondok yang kokoh berdiri seperti dalam ingatan Teteh, dan rumah Pak Kyai pindah ke bagian lain dari daerah tersebut. Mungkin sejak saat itu, aku tidak lagi takut pria berambut panjang.
Tidak banyak momen masa kecil yang bisa diingat dan diceritakan, tapi bagian itu adalah satu dari sekian yang masih aku ingat. Suatu hari nanti, cerita ini akan kembali aku ceritakan padamu; mungkin di balkon rumah kita yang menghadap deretan persawahan, atau di bagian belakang rumah di mana kita punya kebun vertikal. Jika kenangan masa kecil saja bisa mengubah cara pandangku tentang pria bertato dan berambut gondrong, maka kesimpulan sementaraku adalah ketakutan dan kecurigaan yang kita miliki, nampaknya selalu bersumber pada ketidaktahuan kita sendiri.
Kamu tahu? Belakangan ini aku bertemu dengan orang-orang yang sering menilai orang hanya dari tampilannya. Bahkan orang bisa begitu saja jatuh cinta dengan orang asing hanya karena melihat matanya, senyumnya, gaya busananya, atau fotonya yang dipasang di aplikasi Tinder. Sebegitu besarnya kekuatan penampilan, seorang lelaki yang baru beberapa minggu aku kenal di tempat kursus mengatakan pepatah populer yang katanya, "bagi wanita cantik, setengah dari urusan hidupnya akan beres." Apakah tampilan luar itu benar-benar berarti segalanya? Apakah banyaknya broadcast-an suatu acara menunjukkan acara itu benar-benar meriah dan perlu dihadiri? Apakah kamu benar-benar jatuh cinta di saat pertama kali melihatku dengan kemeja biru kotak-kotak lalu memintaku memakai kemeja itu lagi dan lagi? Aku ingin mendengar jawabanmu di percakapan selanjutnya.
Jika kamu masih ingat ceritaku tempo lalu, aku pernah merasa heran pada orang-orang yang dalam masa pemilihan ketua organisasi, mereka memunculkan pertanyaan apakah calon ketua itu merokok atau tidak, suka nyisha atau tidak. Jika sebatang rokok bisa menimbulkan masalah krusial bagi sebuah komunitas sosial, lalu bagaimana caraku menanggapi Soekarno yang konon menghembuskan asap rokok kreteknya ke hadapan pejabat Belanda sambil mengatakan, "aroma ini yang kau cari berabad-abad lalu, sampai rela menyeberang samudera demi sampai di tanah kami." Lalu bagaimana dengan Menteri Susi yang dengan rokok dan tatonya, justru ia yang menerbitkan kesadaran publik untuk menjadi perhatian terhadap laut dan kehidupan di hamparannya. Sayangku, bukankah yang lebih berbahaya dari jantung dan paru-paru seorang perokok, atau lapisan kulit yang bertato, adalah isi dari pikiran-pikirannya? Apakah menurutmu cara berpikirku salah? Apakah setelah paragraf ini, orang-orang akan bertanya apakah aku merokok? Apakah mereka tahu bahwa canduku bukan pada asap tar dan nikotin, tapi aroma parfum yang selalu kau semprotkan ke surat-suratmu? Jika kertas saja bisa wangi, bagaimana dengan aroma pemilik kertas itu? Pertanyaan-pertanyaan ini.... maukah kamu berbagi pikiranmu denganku?
Eh aku jadi penasaran, jika aku datang menghadap bapakmu dengan sebungkus martabak, akankah ia menanyaiku tentang rokok? Atau bangun subuh jam berapa? Atau ia akan melupakan detail itu dan menggunakan pertanyaan umum seperti kerja apa dan gaji berapa? Ah, bapakmu.... Aku sering cemburu padanya. Bagaimana bisa ia bicara denganmu dengan berbisik, begitu dekat ke telingamu, bahkan ia bisa melakukan sesuatu yang belum bisa aku lakukan; merangkulmu?
Jangankan ke bapakmu, ke hal-hal sepele saja aku bisa cemburu. Pada gelas yang kau pakai untuk minum, bolehkan aku jadi bagian ujung gelas yang selalu menempel ke bibirmu? Pada kerudung yang menutup rambutmu, yang mana sepanjang hari bisa melindungi rambutmu yang penuh rahasia, pada tangan ibumu yang selalu jadi halaman abadi untukmu menemukan kehangatan dan kenyamanan. Pertanyaan selanjutnya: haruskan aku istigfar untuk imajinasi ini?
Aku tidak punya kalimat penutup untuk tulisan ini. Satu hal yang pasti aku tunggu adalah jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas. Hidupku punya banyak sekali pertanyaan, dan aku ingin memastikan bahwa kamu memang jawaban dari semua pertanyaan itu. Apakah aku juga bisa jadi jawaban bagi pertanyaan-pertanyaanmu?
05 September 2018.
Mas ajarin saya dong bikin Blog hhhhh
BalasHapus