Sebut saja Siti Fatimah, seorang pelajar Markaz Lughah yang beberapa hari lalu baru memulai harinya di level Mutamayyiz. Ia punya perasaan yang nampak biasa saja; tidak senang, juga tidak sedih. Mutamayyiz baginya bukanlah level puncak di mana ia merasa kemampuan berbahasa Arabnya berada di titik tertinggi. Ia masih merasa kesulitan untuk berbicara dengan lancar dan cepat, tidak pernah punya pengalaman menulis Arab meski hanya untuk diary hariannya, tidak pula kunjung jatuh cinta pada pelajaran
qowaid yang sejak level Mutawassith selalu ia temui. Ia masih ragu apakah setiap pelajaran yang ia pelajari di Markaz Lugah benar-benar akan membuat hari-hari ke depan menjadi lebih mudah atau tidak. Melihat muqorror seniornya yang tebal-tebal dan bertumpuk, nyalinya selalu ciut. Apalagi jika mendengar romansa kakak-kakak yang stres selepas ujian, atau rosib di beberapa mata kuliah, nyalinya semakin ciut. Secara jujur ia mengatakan bahwa Markaz Lughah baginya hanya sebuah tuntutan rutinitas mengisi absen, menghadiri ujian, dan cepat lulus agar bisa segera kuliah.
Siti adalah satu dari sekian banyak mahasiswa Indonesia yang belajar di Markaz Lughah. Ada lebih dari seribu orang Indonesia yang belajar di Markaz Lughah Azhar. Menurut Siti, ia tidak sendirian berada dalam perasaan dan anggapan yang sama soal markaz. Banyak yang tidak antusias, bahkan cenderung tidak tertarik untuk menjalaninya. Mungkin karena alasan diwajibkan, mungkin karena harus bayar, mungkin karena suara kipas selalu lebih kencang dibanding suara duktur, atau mungkin karena pembelajarannya memang tidak menarik. Dalam lamunan panjang, ia pun bertanya alasan apa yang mendorong ketidak-antusias-annya.
Jika ditanya kapan masa-masa paling nikmat belajar selama di Azhar, justru jawaban saya adalah ketika duduk menjadi muridnya Ustadz Humaidah Abdul Aziz di Markaz Lughah. Untuk suatu alasan, saya sering kali kangen dengan cara ia menjelaskan suatu hal. Sampai sekarang, saya masih menyimpan beberapa rekaman suara, catatan dari setiap pertemuan, bahkan jokes sereceh apapun yang mungkin tidak lucu tapi masih membuat saya akan tersenyum ketika membacanya. Semua dokumentasi itu lebih dari sekadar kenangan, tapi mewujud kerinduan akan betapa nikmatnya berangkat sekolah dan duduk di kelas menyaksikan seorang guru yang mengajar dan membuat muridnya selalu menganggap setiap pertemuan sebagai cinta pertama.
Guru yang baik hanyalah satu dari sekian banyak faktor eksternal yang mampu mempengaruhi antusias belajar seorang siswa. Muhibbin Syah dalam Psikologi Belajar mengatakan beberapa faktor eksternal dapat mempengaruhi antusias belajar siswa, antara lain: lingkungan sosial (guru, staf, teman), lingkungan non-sosial (bangunan, cuaca, peralatan, alam, sarana prasarana, waktu belajar), dan pendekatan pembelajaran (metode, kurikulum, silabus, sistem). Jika setiap pembelajaran harus terdiri dari metode, materi, dan tujuan, apakah setiap unsur itu kita temukan secara kaffah di Markaz Syekh Zayyed Li Ta'liim al Lughah 'Arabiyyah Li Ghair an Naathiqiin Biha yang wajib kita selesaikan sebelum jadi mahasiswa S1 di Al-Azhar?
Markaz Lughah (saya lebih senang menyebutnya dengan istilah ML daripada Daurah Lughah atau Darul Lughah [DL], sebab pengistilahan DL adalah mispersepsi, salah sesalah-salahnya) adalah pre-university program yang juga banyak diberlakukan di beberapa negara. Program kelas bahasa ini diperuntukkan untuk mahasiswa asing yang dinilai pihak tertentu "belum siap" menjadi mahasiswa karena kemampuan bahasa pengantar perkuliahan yang belum dikuasai. Misalnya di Turki, Kuwait, dan Jerman, program serupa Markaz Lughah juga diberlakukan sebagai program wajib yang harus diselesaikan sebelum masuk perkuliahan S1/S2. Tujuannya sama, agar mahasiswa asing yang hendak menjalani program S1/S2 di kampus, bisa berjalan seiringan dengan kurikulum yang ada, sama rata dengan mahasiswa lokal dalam muatan materi, dan tidak menjadikan bahasa sebagai hambatan selama proses studi.
Jika tujuan utama dari Markaz Lughah Azhar adalah agar lulusannya siap menjadi mahasiswa S1 Azhar, maka parameternya akan mudah kita sebutkan; dari sisi mahaarat qiraa'ah (reading) mampu membaca dan memahami muqorror dengan baik, sehingga istilah bimbel dengan senior tidak berarti senior bacain muqorror dan jelasin maksudnya setiap bab; dari sisi mahaarat kitaabah (writing) mampu menulis insya' sehingga tidak panik ketika menjawab soal-soal ujian yang semuanya butuh insya'; dari sisi mahaarat istima' (listening) mampu menikmati setiap penjelasan dosen di kelas, sehingga tidak ada alasan malas masuk kelas karena dosennya kalau ngomong seperti orang kumur-kumur; dan dari sisi mahaarat kalam (speaking) mampu mengutarakan pendapat ketika orang-orang Mesir pada saingan ingin ngomong ketika perkuliahan berlangsung, atau minimal bisa menjawab ujian lisan tanpa ya'ni eih ya'ni eih.
Saya penasaran dengan kurikulum yang dipakai oleh Markaz Lughah Azhar dalam implementasi proses belajar mengajarnya. Rasa penasaran ini muncul setelah belakangan saya tertarik dengan metode pembelajaran bahasa Arab yang diasosiasikan orang-orang bule bukan karena motif memahami suatu agama tertentu. Mereka melihat bahasa Arab sebagaimana kita melihat bahasa Inggris, Jerman, Jepang, Mandarin, atau lainnya. Sebagai alat komunikasi untuk tujuan tertentu, misalnya memperluas jaringan pencarian jodoh.
Ada banyak sekali kurikulum pembelajaran bahasa Arab yang digunakan di seluruh dunia. Di skala internasional misalnya, ada Common European Framework of Reference for Languages (CEFR) for Arabic Language, American Council on the Teaching of Foreign Languages Proficiency Guidelines (ACTFL) for Arabic Language, Sisilah Ta'liim Lughah 'Arabiyyah, atau ada juga yang menggunakan buku sebagai acuan levelnya, seperti buku 'Arabiyyah Baina Yadayk, atau di versi pendidikan Indonesia ada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) atau Kurikulum 2013. Setiap lembaga pendidikan punya hak prerogatif untuk menentukan kurikulum mana yang dipakai, atau mungkin membuatnya sendiri. Akan tetapi, menggunakan kurikulum yang sudah ada dengan parameter yang terukur baik dari segi kuantitas dan kualitasnya, akan jauh lebih baik.
Misalnya di Markaz Lughah Azhar, level pembelajaran terdiri dari Mubtadi Awwal & Tsani, Mutawassith Awwal & Tsani, Mutaqaddim Awwal & Tsani, dan Mutamayyiz. Belakangan saya belajar bahwa suatu ketidakadilan jika di ruang kelas yang mana kamu bayar di dalamnya, di sebuah lembaga formal, kamu tidak mendapatkan penjelasan mengenai silabus pembelajaran dari level yang sedang dijalani. Ketika kamu berada di level Mutawassith Awwal, tahukan kamu target apa yang hendak dicapai, kemampuan apa yang akan dikuasai, dan materi apa yang akan dipelajari. Sejauh yang saya ingat selama belajar di Markaz Lughah Azhar dari Mutawassith sampai Mutamayyiz, saya tidak pernah mendapat penjelasan itu, sehingga pembelajaran dari level ke level benar-benar hanya mengalir tanpa target penguasaan yang jelas.
Dalam qiraah misalnya, selama di Markaz Lughah tidak pernah dikenalkan istilah-istilah kontemporer yang mana pada kenyataannya banyak ditemui di muqorror S1. Dalam kitabah misalnya, kita tidak pernah diajari bagaimana menulis insya' yang baik, yang sesuai kaidah, yang punya dzawq 'araby, yang sekiranya ketika dibaca orang Arab, mereka akan paham apa yang hendak kita maksudkan. Bukankah kendala kita semua di setiap ujian adalah kesulitan menulis jawaban soal ujian yang semuanya butuh kemampuan menulis? Bagaimana jika seandainya cara kita berpikir ternyata tidak dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dengan baik? Tentu saja fakta ini mengalihkan tujuan awal Markaz yang hendak membantu mempermudah studi. Begitupun dengan topik dan isu yang menjadi materinya, hemat saya akan lebih baik jika pembelajaran di Markaz mengangkat isu-isu yang sedang hangat dibicarakan, atau yang merangsang daya kritis pelajarnya. Tentang sosial media, misalnya, atau tentang kemerdekaan Alquds, tentang ekonomi, bisnis, pendidikan modern, bukan melulu kisah Ahmad menggembala kambing lalu ketemu serigala, sehingga para pelajar lebih aktif untuk berargumen dan maksimal melatih setiap aspek kebahasaannya. Sejujurnya saya tak pernah diajari bagaimana ngomong di depan kelas, memberikan presentasi singkat dalam bahasa Arab, menulis paragraf/insya' yang baik dan benar, dan sebagainya. Dengan adanya fakta pembelajaran yang hanya satu arah dan teacher-oriented ini, mengesankan bahwa kita yang belajar di Markaz sebenarnya masih dianggap sebagai anak SMP yang sedang belajar bahasa, bukan sebagai calon mahasiswa yang harusnya dirangsang untuk berpikir kritis, diasah kemampuan berkomunikasinya secara matang, dan disiapkan mentalnya benar-benar sebagai calon mahasiswa yang mandiri.
Saya ingin beranalogi. Silakan kamu ukur sendiri kemampuan berbahasa Arabmu melalui analogi ini. Jika Mubtadi Awwal itu setara A1 (Beginner) dalam CEFR, maka ukuran dasarnya adalah dapat membaca huruf arab, memahami qawaid nahwu dasar, mampu mengekspresikan ucapa sederhana (selamat pagi, selamat datang, dll.), bisa memperkenalkan diri sendiri, bertanya hal-hal sederhana (5W+1H), dan bisa berinteraksi dengan orang lain secara lambat tapi jelas.
Jika Mubtadi Tsani setara A2 (Elementary) dalam CEFR, maka ukuran dasarnya adalah mampu memahami kalimat yang sering digunakan dalam kehidupan sosial, mampu belanja ke warung sendirian, mampu berkomunikasi sederhana dalam aktivitas rutin, dan mampu mendeskripsikan ide/pendapat sederhana mengenai hal-hal yang terjadi di lingkungannya.
Jika Mutawassith Awwal setara B1 (Intermediate) dalam CEFR, maka ukuran dasarnya adalah dapat memahami konteks dan poin dari hal-hal yang terjadi di lingkungan sosial, memahami informasi dan mampu mengutarakannya, dapat menghadapi berbagai kondisi dan situasi yang membutuhkan kemampuan berbicara, mampu mengutarakan melalui lisan atau tulisan mengenai hal-hal yang ia sukai/geluti, dan dapat mendeskripsikan pengalaman, kejadian, mimpi, ambisi, atau alasan dan argumen mengenai opini dan perencanaan.
Jika Mutawassith Tsani setara B2 (Upper-Intermediate) dalam CEFR, maka ukuran dasarnya adalah dapat memahami ide utama dari topik-topik abstrak dan kompleks dalam spesialisasi bidang tertetu, dapat berinteraksi secara spontan dan lancar tanpa banyak hambatan, mampu adu mulut dengan orang Mesir, dan dapat mengutarak ide/pendapat/sudut pandang dengan diksi yang luwes, kosa kata yang beragam pada topik-topik yang membahas keuntungan/kerugian dalam berbagai masalah.
Jika Mutamayyiz setara level C1 (Effective Operational Proficiency/Advance) dalam CEFR, maka ukuran dasarnya adalah memahami teks yang panjang dan rumit dengan makna yang implisit, mampu mengekspresikan ide secara fasih dan spontan, dapat menggunakan bahasa secara fleksibel dan efektif untuk tujuan sosial, akademik, dan profesional, dan dapat membuat produk lisan/tulisan yang terstruktur, jelas, detail, terkontrol, dan bercita rasa penutur aslinya.
Di negara-negara berbahasa Inggris, biasanya level A2 diasosiasikan pada seseorang yang kemampuan bahasa Inggrisnya "memperbolehkan" ia untuk jalan-jalan ke luar negeri. Level B1 "memperbolehkan" seseorang untuk melamar kerja di negara-negara berbahasa Inggris. Level B2 "memperbolehkan" seseorang untuk bisa daftar kuliah. Level C1 "memperbolehkan" seseorang untuk jadi guru bahasa atau jadi penerjemah. Dengan analogi yang saya lamunkan di atas, kira-kira setelah kita lulus dari Markaz Lughah Azhar, di level mana sebenarnya kemampuan bahasa Arab kita berada?
Agustus, 2018.
Komentar
Posting Komentar