Menelusuri Perjalanan Psikologis Seorang "Pria yang Mencuci Piring"

Apa jadinya ketika seorang psikiater, yang notabene tukang ngobatin orang-orang sedih dan kehilangan, malah mengalami kesedihan dan kehilangan? Buku ini menawarkan perspektif menarik tentang proses berduka melalui pengalaman pribadi seorang psikiater, dr. Andreas Kurniawan, Sp.KJ., yang menghadapi kehilangan anaknya. Dengan gaya penulisan yang sederhana dan penuh makna, buku ini mengajak pembaca untuk menyelami dunia psikis seseorang yang berjuang untuk mengatasi kesedihan dan menemukan kembali kekuatan untuk melanjutkan hidup. Buku ini disusun dengan gaya yang mudah dipahami, menggunakan diksi sederhana yang cocok untuk kalangan luas. Meskipun penulis adalah seorang profesional medis yang akrab dengan istilah psikologi dan kedokteran, ia berhasil mengemas konsep-konsep tersebut dalam bahasa yang sangat mudah dipahami, sehingga pembaca dari berbagai latar belakang dapat menikmati dan mengambil manfaat dari pembacaannya. Secara struktur, buku ini terdiri dari 16 judul, yang secara berur...

Menyambut Kedatangan Maba yang Tidak Diharapkan

Hasil gambar untuk seleksi timur tengah

Beberapa hari yang lalu saya membuat pesan siaran kepada hampir semua kontak di ponsel saya. Saya kirim secara masif kepada teman-teman yang mewakili komunitasnya masing-masing. Ada anak Markaz Lughah, mahasiswa S1 dari tingkat satu sampai tujuh (rosib 3x), mahasiswa S2 dan S3, alumni Azhar, Local Staff KBRI, dan beberapa orang yang bukan Masisir seperti dosen di Indonesia, teman-teman BEM kampus, dan Salman Ghois yang mewakili kaum Pengangguran. Pesan tersebut berupa survey kecil-kecilan yang bunyinya:

Setuju atau enggak jika tahun ini Kemenag RI lolosin Mahasiswa Baru (Maba) ke Mesir dalam jumlah banyak seperti tahun sebelumnya (di atas seribu orang)?

Meskipun tidak semuanya menjawab, setidaknya ada 200 tanggapan dari nomor dan orang berbeda dengan alasan-alasan yang berbeda. Kesimpulan dari survey tersebut adalah sebanyak 156 orang (78%) tidak setuju jika tahun ini Kemenag RI dan Panitia Seleksi meloloskan Maba dalam jumlah banyak seperti tahun lalu yang sampai angka 1700 orang, termasuk "buangan" Maroko dan Lebanon yang entah kenapa dilolosinnya ke Mesir. Sebanyak 14 orang (7%) menjawab setuju bersyarat, yang sebenarnya jika ditinjau lebih jauh, yang 7% ini juga termasuk grup tidak setuju. Sementara sisanya sebanyak 30 orang (15%) mengatakan setuju dan mendukung Kemenag RI untuk meloloskan Maba dalam jumlah banyak. Meskipun tidak sampai 10%-nya dari jumlah Masisir yang lebih dari 4000-an, setidaknya inilah deskripsi yang saya temukan di lingkungan terdekat. Kira-kira apa alasan teman-teman saya mengatakan setuju dan tidak setuju?

Saya setuju, karena ...

Alasan paling umum adalah karena menuntut ilmu di manapun tempatnya adalah hak setiap orang, apalagi ilmu agama. Kenapa kita harus membatasi anak-anak Indonesia yang ingin belajar ilmu agama di Azhar? Azhar sejauh ini masih punya citra yang cukup baik di mata orang-orang Indonesia pada umumnya, dan masih menjadi cita-cita bersama bagi para calon mertua supaya anak-anaknya bisa berjodoh dengan alumni Azhar. Lulusan Luar Negeri! Dari Mesir!Secara umum, banyak lembaga pendidikan yang ingin melahirkan banyak kader untuk memperkuat eksistensinya. Karenanya, perlu lebih banyak orang Indonesia yang belajar di Azhar supaya kader Azhari bisa lebih banyak tersebar di masyarakat.

Jika diihat dari data jumlah pendaftar Seleksi Timur Tengah beberapa waktu lalu, ada lebih dari 9000 pendaftar dari seluruh Indonesia yang berencana melanjutkan studi S1-nya di Timur Tengah. Tentu saja Mesir paling banyak, karena nama Fahri, Aisyah, dan Azzam masih jadi kisah favorit di kalangan Generazi Z yang padahal belum tentu semua pernah baca novelnya, atau nonton filmnya.   

Selain itu, mereka juga percaya bahwa semakin banyak orang Indonesia belajar di Azhar, manhaj wasathi yang digemakan Azhar akan lebih cepat menyebar, mengingat jumlah penduduk Indonesia yang sangat banyak sehingga butuh lebih banyak Azhari untuk memenuhi kebutuhan tersebut. 

Menurut teman saya yang kuliah di Indo, ia setuju karena menurutnya mahasiswa di Indonesia sudah sangat banyak. Dari kampus negeri sampai kampus yang kelasnya di deretan ruko, semuanya mahasiswa Indonesia. Biar lebih merata, menurutnya sebagian anak muda Indonesia perlu dikirim ke luar negeri, sekalian ekspansi mengurangi jumlah penduduk di Indonesia yang setiap tahun semakin padat. 

Uniknya, ada juga alasan-alasan nyeleneh mengapa harus banyak Maba yang datang ke Mesir. Kata  salah satu tukang tiket pesawat, mahasiswa bertambah pertanda peluang untung makin besar. Begitupun kata salah seorang pegawai rumah makan Indonesia, dan tukang Cutterme. Ada juga yang mengatakan bahwa Maba harus banyak yang diloloskan supaya Asrama Indonesia tidak kosong dan jumlah penghuni tetap berkesinambungan dalam jumlah yang sama. Paling egoisnya, ada yang setuju diloloskan semuanya asal "semuanya harus berangkat pake broker saya". Setujukah dengan pendapat demikian?

Saya tidak setuju, karena ...

Salah satu responden menjawab bahwa pertanyaan yang saya ajukan adalah pertanyaan yang tidak butuh mikir lama: gaaakk setujuuu!! Bahkan banyak responden yang langsung menjawab tidak setuju, lalu mengutarakan alasan ketidaksetujuannya beberapa menit kemudian, bahkan beberapa jam kemudian. Pokoknya yang penting "gak setuju" dulu. Jika saya jadi mahasiswa kedatangan 2017 atau 2016, saya akan malu membaca alasan-alasan ini, karena dua angkatan ini menjadi sampel paling kuat di ingatan para responden untuk mengatakan tidak setuju. Dari angka 78% ini, bisa saya simpulkan berasal dari mahasiswa yang sudah tinggal di Mesir minimal dua tahun ke atas, yang barangkali dalam jangka yang cukup lama itu, melahirkan cara berpikir yang sama ketika memandang teman-teman juniornya.Orang-orang yang tidak setuju menuliskan alasan yang jauh lebih panjang dibandingkan mereka yang setuju. Dari sekian banyak alasan, saya mencoba merangkumnya menjadi beberapa poin berdasarkan similaritas.1. Mesir Tidak Aman

Alasan pertama mengapa pemerintah harus membatasi jumlah Maba adalah kondisi negara tujuan yang capruk. Mesir bukan termasuk kategori yang selalu menyenangkan untuk dihuni. Polisinya, lalu lintasnya, administrasinya, muamalah dengan penduduk lokal, dan lain sebagainya. Dengan tingginya kriminalitas, pencopet di bis, begal jalanan, rampok masuk rumah, polisi asal tangkap, adalah beberapa hal yang dijadikan alasan supaya pemerintah mempertimbangkan dengan baik keamanan warga Indonesia di Mesir. Jika Kemenag meloloskan banyak maba, sama halnya dengan mengirimkan lebih banyak anak-anak Indonesia ke kandang macan, kata salah seorang responden. 

Beberapa orang yang masih belajar di Markaz Lughoh mengatakan jawaban yang hampir senada bahwa Mesir gak aman dan banyak razia visa. Mungkin karena mereka harus ngurus visa tiap beberapa bulan sekali, jadinya perihal visa menjadi hantu nomor satu yang harus dipertimbangkan Kemenag. Apalagi dengan prosedur pengurusan visa yang cukup makan waktu, merupakan suatu hal yang tidak bisa dianggap remeh sebagai sebuah masalah.

2. Seleksi yang mudah tidak menghasilkan kualitas

Proses seleksi yang "terlalu mudah" dengan passing grade yang rendah, membuat Mesir justru dinilai kalangan akademis sebagai negara tujuan studi yang tidak "mahal" dan "seksi". Bahkan seorang responden mengatakan, tes yang mudah malah menjatuhkan wibawa Azhar. Atuh passing grade cuma 60 doang mah nanaonan? kata salah seorang responden. Seorang teman saya mengatakan, "orang-orang di pondok pada heboh pas tahu adik kelas ane lolos ke Mesir. Adik kelas ane itu orang yang rada tiktok, bahkan biasa aja dalam hal akademik maupun komunikasi sosial. Tapi gara-gara lolos ke Mesir, guru-guru jadi pada bilang 'tesnya kaya gimana sih, sampe orang kaya dia aja bisa lolos?'" katanya meragukan. Entah meragukan tesnya atau murid tiktoknya. Atau pake orang dalem? *ups

Harus saya akui bahwa tes ke Mesir itu lebih mudah dibanding tes seleksi luar negeri lainnya. Teman sekamar saya bilang, yang paling butuh doa dan ikhtiar dalam hidupnya bukan ketika mau tes ke Mesir, tapi ketika mau nembak ceweknya. "Tes Mesir mah cuma Alquran 2 juz sama ngerjain soal Bahasa Arab. Wawancara juga cuma ditanya kenapa pengen ke Mesir, itupun dijawab 'pengen belajar ilmu agama' juga cukup, atau ditanya kalo lolos tanpa beasiswa mau berangkat atau enggak." Tantangannya gak segreget nembak cewek ane, Mang, yang bapaknya itu ngeharamin pacaran ke anaknya. Boom!

Responden saya mengatakan, harusnya Kemenag ganti bentuk soalnya tiap tahun, jangan sama terus polanya biar peserta tes agak terangsang otaknya buat mikir. Atau jika ingin tetap dengan soal-soal yang sama, passing grade-nya naikkan. Misalnya 85, biar yang lolos ke Mesir punya kemampun dasar yang siap masuk kuliah, bukan siap masuk kursus lughoh. Barangkali banyak teman-teman kita yang karena dipaksain lulus tes, padahal bahasa Arabnya biasa saja, di Mesir jadi gelagapan karena semua hal terhambat di bahasa.Saya pernah ngobrol dengan mahasiswa asal Brunei ketika bertemu di suatu acara. Katanya, mahasiswa Brunei yang studi di Mesir hanyalah mereka yang ranking satu di sekolahnya. Jumlah total mahasiswa Brunei di Mesir hanya kisaran 250 orang, sementara untuk Masisir, jumlah orang Bekasi aja masih jauh lebih banyak dari itu. Kerajaan mereka memang punya prinsip tak apa sedikit yang penting berkualitas, daripada banyak tapi ..... ah sudahlah.  

Tahun 2012 saya pernah ikut tes beasiswa ke Turki. Ada banyak tahapan yang harus dilalui, sehingga persiapan mengikuti seleksi benar-benar harus dipersiapkan dengan matang. Pertama seleksi berkas. Di Tes Mesir ada proses pemberkasan, tapi bukan bagian dari seleksi administrasi. Jika lolos screening berkas, baru bisa ikut tes tulis. Waktu itu, selain berkas-berkas ijazah dkk., perlu juga menyertakan motivation letter, nilai TOEFL, esai dengan topik tertentu, dan salinan form pendaftaran. Seandainya ada kriteria dalam berkas yang kurang, seperti TOEFL di bawah 450, atau nilai rata-rata UN di bawah 75, maka ia gugur. Tahap selanjutnya, peserta yang jauh lebih sedikit membuat proses seleksi lebih serius. Waktu itu saya ikut wawancara di Kedutaan, diwawancara selama 40 menitan oleh lima orang. Yang satu meriksa berkas, yang satu ngetik-ngetik di laptop, yang satu megangin kamera buat ngerekam proses wawancara, sisanya nanya-nanya. Pertanyaannya bukan "kalo lolos non beasiswa, mau berangkat atau enggak?" tapi banyak. Waktu itu yang saya ingat ada pertanyaan mengenai rencana lima tahun mendatang, rencana dua puluh tahun mendatang akan jadi apa, apa pengaruhnya beasiswa tersebut untuk kemajuan negara, kontribusi yang sudah dan akan dilakukan untuk masyarakat, keaktifan berorganisasi selama sekolah, kenapa lebih butuh studi di Turki dibanding di dalam negeri, dan banyak lagi.Saya tak tahu apakah dalam wawancara ke Mesir ditanyakan soal riwayat penyakit atau tidak. Jika iya, sebenarnya saya heran kenapa banya Maba tahun lalu masuk rumah sakit karena ketidakjujuran soal penyakitnya sendiri sebelum berangkat ke Mesir. Gara-gara nafsu ingin ke Al-Azhar, malah jadi masuk Rumah Sakit Taysir, Tamin Shihi, atau Shodr Abbasiah. 

3. Yang ada di sini aja gak keurus

Saat ini, jumlah pelajar dan mahasiswa Indonesia di Azhar saingan jumlah dengan Malaysia. Perihal kuantitas, hampir semua responden mengatakan bahwa kuantitas bukan segalanya. Jumlah yang terlalu banyak justru banyak dianggap hanya sebagai kelebihan Masisir. Apa kelebihan Masisir? Jumlahnya banyak! Apakah semuanya berkualitas? Setiap dari kita lebih tahu jawabannya masing-masing. Jumlah yang banyak ini menimbulkan berbagai hal yang menurut mayoritas responden tidak dapat diatasi secara maksimal. Misalnya, semakin banyak jumlah mahasiswa yang tidak dibarengi dengan kesiapan Azhar untuk mengontrolnya secara komprehensif. Akhirnya banyak mahasiswa astral dan alumni-alumni yang bervariasi (tidak satu manhaj). Dari pemerintah kita pun (KBRI), kekuatan kontrol menjadi menipis ketika dihadapkan pada banyaknya kasus kriminalitas yang menimpa WNI.

Selain itu, terlalu lepas kontrol juga menaikkan angka disorientasi di kalangan mahasiswa. Malah fokus kerja, fokus latihan futsal buat pertandingan lawan mahasiswa Thailand, pindah kuliah ke organisasi jadinya hanya part-time di Azhar, dan lain halnya. Apakah pemerintah menjadikan berbagai fenomena ini sebagai sebuah pertimbangan?Dampak paling dekat yang dirasakan dari jumlah yang banyak adalah lamanya pengurusan visa. Secepat apapun Tim Visa Kolektif (Viktif) bekerja, harus kita akui bahwa pejabat Mesir belum mampu mengimbangi kinerja cepat itu. Jika dengan jumlah saat ini saja membuat pengurusan visa antri bertumpuk, akan selama apalagi jika jumlahnya ditambah lagi dengan kedatangan Maba tahun ini?Menurut seorang responden, jika Kemenag meloloskan Maba dalam jumlah yang banyak, pada hakikatnya bukan menambah jumlah mahasiswa Azhar, tapi menambah orang Indonesia yang tinggal di Mesir. Semakin banyak yang tinggal di Mesir, nyatanya belum menunjukkan sinyal positif terhadap efektivitas program-program pemberdayaan, baik dari PPMI maupun KBRI.Muncul penilaian bahwa ciri semakin tidak terurusnya Masisir adalah pudarnya praktik nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari. Awal mula kehadiran DKKM adalah sebagai polisi syariah dalam menerapkan nilai-nilai Islam sebagai implementasi pelajaran yang kita dapatkan di Azhar. Tapi karena kuantitas yang terlalu wah, dan subjek untuk mengisi posisi DKKM susah, maka tujuan awal yang mulia ini menjadi teralienasi.4. Banyak mahasiswa yang datang untuk bekerjaSeorang responden meyakini bahwa jumlah yang banyak bukan menjadikan citra Azhar semakin baik, tapi justru semakin absurd. Hal ini terjadi karena jumlah yang ada saat ini saja tidak semuanya fokus belajar mengkaji isu-isu keislaman, tapi sibuk nyambil kerja karena tidak adanya kesiapan secara ekonomi ketika diloloskan Kemenag dan datang ke Mesir.Kunjungi saja anak-anak asrama. Berapa banyak di antara mereka yang jualan jubah, jualan dzuriat, atau kerja di mat'am, dengan alasan untuk biaya hidup, untuk gaya hidup, atau untuk bayar Markaz Lughoh. Mereka yang belum genap satu tahun di sini, tidak sedikit yang menjadikan kerja sebagai tujuan besar, bahkan lebih utama dibandingkan masuk kelas. Yang sudah mahasiswa pun, ada yang rela tidak ikut ujian demi bisa pulang bawa bagasi.Lagian kenapa sih baru tahun pertama udah sibuk bisnis. Banyak responden yang mengatakan bahwa anak-anak baru tahun kemarin saja banyak yang bekerja dan berbisnis, dan lalieur. (Saya gak tau bagaimana cara mendefinisikan lalieur ke dalam bahasa Indonesia yang tepat). Lieur itu begini: di saat grup sedang posting berita duka dan bela sungkawa, tiba-tiba dia masuk ngiklan bagasi. Atau di grup Madhyafah Syekh Ismail yang isinya orang-orang diskusi dan kajian, dia juga nyempil ngiklan bagasi. Ada juga yang ngutang gak bayar bagasi, pas ditagih malah jawab "maaf tadz, orderan jubah lagi banyak banget nih jadi saya gak ada waktu buat bayar hutang ke antum." (seriously, ini anak asrama). Di Azhar aja, Fikih Muamalah itu dipelajari di Tingkat Dua. Kalau sudah paham ilmunya, baru praktiknya. Tingkat Satu itu fikihnya masih Bab Thaharah, jadi kalau belum sampai najah tingkat dua, sebaiknya jangan berbisnis dulu. Belajar mandi junub aja dulu yang bener!Beberapa hari dalam ramadan ini saya bukber di salah satu rumah makan Asia di Sabik. Waw-nya adalah hampir semua pelayannya yang orang Indonesia adalah anak-anak DL semua! Maba cuy! Maba! Yang tinggal di Asrama kan sudah dijamin makan dan tempat tinggalnya, tapi kok masih kerja nyari duit? Makanan Asrama gak enak ya? Atau gak bikin kenyang?

4. Tidak ada kesiapan dari Al-Azhar

Saya gak tahu pasti kenapa Azhar tidak membatasi jumlah mahasiswa baru yang masuk tiap tahunnya, sementara tidak nampak ada pembangunan infrastruktur berkelanjutan untuk mendukung kebijakan tersebut. Jika kondisi ini tetap demikian, maka kuliah di Azhar akan nampak sama dengan jumatan di Masjid. Duduk dempetan, cowok semua, dan pake bahasa Arab. Kelas yang terlalu padat tidak menghasilkan susana belajar yang tepat guna dan tepat sasaran. Dalam kondisi bukunya bahasa Arab, dosennya ngomong Amiyah, kelasnya desek-desekan, apalagi pas musim panas kegerahan, di mana fokus belajarnya? Jika ingin tahu seberapa kurang kelas di Azhar, maka lihatlah lamanya jadwal ujian setiap termin. Setiap jurusan saling pinjam gedung karena di gedung sendiri tidak muat, bahkan sampe depan WC juga masih dipepet-pepetin ada bangku buat peserta ujian. Begitupun dengan Markaz Lughoh. Banyak teman-teman kedatangan tahun lalu yang jadwalnya diundur-undur, karena ketidaktersediaan ruang kelas untuk belajar. 

Bagaimanapun, proses belajar mengajar yang demikian adanya harus dipertimbangkan oleh kedua belah pihak. Oleh Pemerintah RI, juga oleh Azhar. Sadar atau tidak, infrastruktur punya peran penting dalam membangun efektivitas suasana belajar. Syukur kalau mahasiswanya kreatif dan inovatif dalam mengembangkan diri ketika dihadapkan dengan kondisi kampus Azhar yang demikian. Jika tidak, mereka akan lari mencari alternatif yang lebih menyenangkan.Hal ini di luar faktor lain mengenai ketersediaan jumlah tempat tinggal di Cairo. Nyari rumah untuk disewa bukan hal yang mudah, apalagi buat mahasiswa yang pengennya di area Sabi, ber-AC, aman, bangunan bagus, tapi harga Mutazawwij di Tabah. 

5. Tidak seimbang antara yang datang dan yang pulangJumlah peserta wisuda PPMI dalam beberapa tahun terakhir masih tidak lebih dari 500 orang, meskipun pelaksanaannya di ACC yang kapasitasnya ribuan orang. Jika dalam satu tahun jumlah yang masuk berkali lipat dari jumlah yang lulus, muncul penilaian bahwa porsi sirkulasi tersebut tidak baik dan tidak sehat. Jika mau ditelaah lebih rinci, peserta wisuda yang satu angkatan tertentu biasanya didominasi perempuan dibanding laki-laki. Jika perempuan faktanya lebih cepat lulus studi dibanding laki-laki, dan pemerintah ingin Masisir bisa pada cepat lulus, maka perbanyak loloskan perempuan dibanding laki-laki. Selain alasan logis tersebut, salah seorang responden menyebut bahwa ada alasan emosional yang harus dipertimbangkan. Kebanyakan cowok membuat angka persaingan tidak sehat ketika menyukai perempuan yang perbandingan jumlahnya dengan cowok 1:4.6. Antri Musa'adah makin panjang

Semakin banyak orang, antrian musa'adah semakin panjang. Jika sedang sial, materi musa'adah akan habis duluan sebelum antrian usai. Atau jika sedikit beruntung, kita tetap kebagian tapi dengan porsi yang lebih sedikit karena pihak panitia membagi rata agar kebagian semua. Yang harusnya 200 Le jadi cuma 50 Le. Bukannya bersyukur, tapi jadi kesel.

7. Belajar bahasa Arab jadi makin sulitJika orang Indonesia makin banyak di Mesir, di mana-mana akan ada orang Indonesia, dan selalu ngomong bahasa Indonesia. Beberapa orang tidak setuju jika bahasa Indonesia "merajalela" di Mesir, karena tujuan ke Mesir untuk praktik bahasa Arab, bukan bahasa Indonesia. Ya mau gimana lagi, lingkungan yang terlalu Indonesia akan menjadi faktor kurang baik bagi mahasiswa yang dalam dirinya memang tidak ada keinginan untuk berkembang.8. Alasan-alasan anehKalau Maba banyak, nanti makin banyak yang cadaran (?).Bosen liat orang Indo mulu, gak ada yang bener-bener cantik kaya Nisa Sabyan (?).Pengiriman Maba harus dihentikan, karena calon istri ane gak lolos tahun lalu (?).Gak usah ngadain tes. Kemenag cuma buang-buang anggaran negara!Gak usah datengin lagi, nanti oksigen Mesir bakal abis.Gak usah banyak-banyak, cukup lolosin adik ane aja.Mau banyak mau enggak, yang penting Kemenag harus ngadain seleksi hape, ada aplikasi tiktoknya atau enggak.Itulah hal-hal yang dapat saya simpulkan, yang barangkali selama ini hanya berkumpul sebagai asumsi dan opini mulut ke mulut. Saya tidak mengatakan bahwa yang mayoritas adalah yang benar, atau yang sedikit adalah yang tidak benar. Survey kecil-kecilan ini adalah hal yang juga perlu dianggap kecil, karena metode dan pendekatan yang digunakan masih jauh dari kata ilmiah. Terima kasih sudah membaca ;)

14 Juni 2018.

Komentar

  1. yang kayak gini harus viral nih, lanjutkan bang

    BalasHapus
  2. Yang kyk gini justru membuat down para camaba yg mempunyai cita dan harapan tinggi, masih mending anak-anak indonesia banyak ke mesir dengan niatan belajar daripada niatannya jadi TKI, sungguh memalukan klo negara kaya jadi budak negara lain.
    Masih mending banyak anak-anak Indonesia ke mesir dengan semangat belajarnya, daripada di Indonesia, kuliah hanya jadi formalitas, sisa habis buat pacaran, jalan-jalan, bahkan tawuran.
    Ada yang semangat belajar ke luar negeri kok dilarang, Soal permasalahan sosial, ekonomi, dll. pasti selalu ada jalan keluarnya, klo mempermasalahkan hal ini, seakan orang yang tidak punya tuhan saja.

    BalasHapus
  3. Bilang aja para senior iri dengan para junior, karena junior sekarang masuk ke Al Azhar dipermudah dan dibantu oleh pemerintah, sedangkan para senior dulu bersusah payah, karena pemerintah hanya menganggap sampah negara.

    BalasHapus
  4. Sepakat. Mari kita berbenah bersama dalam bingkai musyawarah dan diskusi perbaikan2. AllohuAkbar.

    BalasHapus
  5. Gak Juga @Uknown , Karena Setelah Taun 2011 , Senior 2 Udeh Ga Ribet Lagi ..

    BalasHapus
  6. Bisnis calo kursi Al-Azhar gimana nih mang? Cahaya terang atau lubang hitam?

    BalasHapus

Posting Komentar