Menelusuri Perjalanan Psikologis Seorang "Pria yang Mencuci Piring"

Apa jadinya ketika seorang psikiater, yang notabene tukang ngobatin orang-orang sedih dan kehilangan, malah mengalami kesedihan dan kehilangan? Buku ini menawarkan perspektif menarik tentang proses berduka melalui pengalaman pribadi seorang psikiater, dr. Andreas Kurniawan, Sp.KJ., yang menghadapi kehilangan anaknya. Dengan gaya penulisan yang sederhana dan penuh makna, buku ini mengajak pembaca untuk menyelami dunia psikis seseorang yang berjuang untuk mengatasi kesedihan dan menemukan kembali kekuatan untuk melanjutkan hidup. Buku ini disusun dengan gaya yang mudah dipahami, menggunakan diksi sederhana yang cocok untuk kalangan luas. Meskipun penulis adalah seorang profesional medis yang akrab dengan istilah psikologi dan kedokteran, ia berhasil mengemas konsep-konsep tersebut dalam bahasa yang sangat mudah dipahami, sehingga pembaca dari berbagai latar belakang dapat menikmati dan mengambil manfaat dari pembacaannya. Secara struktur, buku ini terdiri dari 16 judul, yang secara berur...

Yang Tidak Diceritakan yang Sudah Menikah


Postingan kali ini mau ngomongin orang-orang nikah yang tidak banyak menceritakan tidak-enaknya kehidupan setelah menikah. Banyak hal yang tidak diceritakan oleh mereka yang menikah, khususnya nikah muda. Yang mereka syiarkan selalu soal enak-enaknya, dan jarang sekali memberi kita pelajaran bagaimana tidak enaknya, atau masalah apa yang pada umumnya dihadapi. 

Saya bertemu dengan beberapa orang yang usia pernikahannya berbeda-beda. Ada yang baru seminggu, ada yang enam bulan, ada yang hampir dua tahun, ada yang delapan tahun, ada juga yang entah sudah berapa tahun pokoknya anaknya empat. Dari beberapa pasangan itu saya belajar banyak hal. Perbedaan pengalaman dalam usia mereka memberikan sudut pandang yang beragam soal pernikahan. Dari teman saya yang baru menikah satu minggu, ia (she) curhat bahwa ia belum bisa berdamai dengan suaminya yang kalau ngajak salat berjamaah, bacaannya suka panjang bikin pegel. Saya tanya, kamu sadar kan sejak sebelum nikah bahwa suami kamu itu hafidz quran? Jawabnya, iya tau. Tapi kan masih banyak cara untuk bisa romantis sambil ibadah selain salat dilama-lamain. Huft.

Ada juga seorang istri yang menggerutu karena teleponnya tak diangkat-angkat lantaran si suami sedang sibuk maen ML. Mobile Legend. Di saat seperti itu, si istri juga harusnya paham bahwa ML itu tidak bisa distop tiba-tiba, karena akan putus koneksi dan beresiko kalah. 

Dari yang usia pernikahannya hampir setahun, saya mendapati cerita si suami yang kerepotan menenangkan istrinya yang tak kunjung betah di Mesir. Dari urusan di pasar gak ada mecin sampai urusan kondisi negara yang tak seindah foto-fotonya, adalah keluhan harian istrinya yang tak cukup mudah untuk dihadapi. Katanya sok bijak, "pokoknya, Ziz, kalo ente mau nikah, ente harus seterbuka mungkin menceritakan kondisi hidup ente ke calon istri, biar ekspektasi dia gak terlalu tinggi. Ane harus jujur bahwa ia kecewa dengan ekspektasinya sendiri dan ane harus menghadapi itu."

Sewaktu saya tinggal di Pasangrahan, saya bertemu beberapa suami yang menghabiskan waktunya tidak di rumah. Ada yang ingin nonton Persib karena di rumahnya tidak ada tayangan Persib, ada yang ingin nonton film horor karena istrinya di rumah tak suka film horor, ada yang lagi bosen sama istri terus, ada juga yang sekadar ingin ngerokok demi tidak ketahuan istrinya. Di sisi yang lain, ada juga istri-istri yang merasa kesepian dalam kebersamaannya dengan suami. Apalagi jika sang istri adalah pendatang dari Indonesia yang bukan Masisir, tidak punya teman almamater, dan sedihnya tinggal di Tabah yang butuh ketabahan dalam menghadapi pelosoknya daerah tersebut. Barangkali kita perlu juga mendengar bagaimana cara para istri menghadapi kondisi di mana suami mereka kerja jadi pemandu wisata yang bisa empat hari gak pulang-pulang, atau mengalami kehamilan di masa-masa ujian kuliah, atau masih sangat ingin mengungkapkan segala kekecewaan lewat stories dan status sosmed tapi tertahan karena tuntutan label "istri yang baik tidak boleh mengumbar aib rumah tangga ke sosmed."


Dari cerita senior yang anaknya empat, ia menuturkan betapa sulitnya menyelesaikan proposal disertasi meski hanya muqoddimahnya saja. Tiap kali nyalain laptop, anak-anak datang menyerbu, meminta Youtube, dan mungkin anak-anak itu ingin menonton kelanjutan episode Lucinta Luna yang belum kelar. Untuk bisa membaca buku saja, Si Akang ini harus menyepi di perpustakaan, di Masjid, atau meminjam kamar di rumah teman lalu mengunci kamar dari dalam. 

Saya tidak tahu terminologi pasti dari istilah nikah muda. Apakah istilah itu untuk yang nikah di bawah umur, atau masih sekolah, atau baru lulus sekolah, atau masih kuliah, atau apa? Menurut saya, tidak ada batas pasti kapan seseorang benar-benar punya momen untuk dirinya disebut sudah waktunya menikah. Jika usia kamu masih 17 tahun dan sudah punya wawasan dan bekal yang cukup untuk menikah, kenapa tidak? Jika ada yang di usianya yang hampir 40 belum juga menikah, dan punya alasan belum siap mental untuk menikah, ya kenapa juga kita mempersoalkan? 

Menikah, muda atau tua, adalah hal yang tidak bisa dilihat secara parsial. Pernikahan Alvin yang anaknya kyai itu, barangkali terlihat manis harmonis dan bahagia karena publikasi media. Tapi kebahagiaan yang diekspos media itu tidak serta merta menjadi motivasi kita untuk melakukan hal yang sama hanya demi keselamatan akhirat. Ada sisi lain yang harus dipahami. Finansial misalnya, atau kesiapan mental misalnya. Apa kabarnya perempuan-perempuan yang nafsunya ingin segera punya foto berdua dengan pasangan, seperti teman seangkatannya yang sudah pada menikah, tapi belum siap mental untuk hamil dan punya anak? Apa kabarnya pria-pria yang nafsunya ingin segera disebut suami, tapi mentalnya belum siap untuk menjadi penanggung jawab kehidupan seorang perempuan yang bukan dari keluarganya.  

Saya termasuk orang yang tidak begitu mengamini alasan nikah muda karena alasan daripada zina mending nikah. Hina sekali jika makna pernikahan hanya untuk tujuan menjaga nafsu manusia. Itu merupakan alasan yang sangat bagus, logis, dan syar'i  Ada juga alasan untuk menyempurnakan separuh agama. Itu juga sangat bagus dan sangat syar'i. Tapi kenapa tidak kita hadirkan paradigma lain bahwa salah satu cara untuk tidak berzina adalah dengan melakukan hal-hal positif yang bisa mematangkan diri sebagai individu, memberdayakan sosial, atau rajin masuk sekolah.

Saya bukan mahasiswa yang rajin kuliah, talaqi juga hanya beberapa kali, baca buku juga jarang. Bukan aktivis, bukan juga mahasiswa ideal yang sebagaimana diharapkan KBRI. Tapi coba kita buat analogi. Jika kamu rajin kuliah lima hari dalam seminggu, dari jam sembilan pagi sampai jam dua siang, sorenya disambung talaqi sampai isya, lalu malamnya adalah waktu istirahat sampai hari esok datang lagi untuk melakukan hal yang sama, apakah benar-benar ada waktu untuk memikirkan menikah? Jika kamu punya sponsor finansial yang kuat, mungkin iya. Tapi jika hanya punya kemampuan menafkahi diri sendiri, saya kira tidak akan. Mengapa teman-teman Masisir banyak yang berani menjadikan nikah sebagai satu-satunya solusi dari label "daripada zina mending nikah" karena aktivitas kemahasiswaannya tidak dihadirkan sebagai pertimbangan. 

Beberapa hari lalu, saya diwawancara oleh seorang Kru Informatika terkait acara simposium. Dari sekian banyak pertanyaan, salah satunya adalah, apa pendapat saya soal Masisir jika dibandingkan dengan teman-teman PPI negara lain? Jawaban saya adalah, mahasiswa di negara lain tidak banyak yang menikah.

Hal itu yang saya temukan dari teman-teman PPI negara lain. Banyak dari teman-teman kita dari PPI lain yang sedang S2 atau S3 dan mereka belum menikah. Di Jordan, misalnya, hampir semua mahasiswa S2-nya belum menikah. Begitu kata delegasi HPMI Jordania dalam suatu obrolan di acara simposium kemarin. Hal senada juga saya temukan dari kawan saya yang kuliah di Prancis, Jerman, dan Tiongkok. Banyak jomblo akademis S2 yang saya temui, bahkan mahasiswa S3 yang belum menikah, karena alasan belum selesai dengan hidupnya sendiri sebagai individu. Ada ilmu yang harus lebih digali, ada banyak buku yang harus dibaca, ada pengalaman yang harus diperluas, ada banyak hal yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang belum menikah.

Salah satu kawan sesama delegasi simposium bertanya, kok gak ada anak S2 atau S3 dari Mesir yang jadi delegasi atau ikutan simposium? Saya harus jawabnya gimana selain bilang gak tahu? Boleh gak kalau saya jawabnya, karena simposium itu harus ngeluarin duit banyak, apalagi kalo negara tujuannya gak menarik, mereka gak minat? Atau karena rata-rata mereka sudah menikah jadi tidak begitu tertarik lagi dengan dunia organisasi mahasiswa? Minal maklum, semakin tinggi jenjang pendidikan, organisasi mahasiswa semakin terlihat tidak seksi di Mesir. Mahasiswa tahun pertama bisa jadi pengurus kekeluargaan, pengurus Ormas, atau pengurus almamater. Tahun kedunya bisa jadi pengurus PPMI. Yang tahun ketiga? Nikah aja dah nikah... Ya kecuali jika semuanya ditimbal dengan janji Temus, mungkin akan lain cerita. 

Ada seorang Masisir yang minta saran dan bilang ke saya bahwa ia mau menikah. Ya alasannya karena ingin menyempurnakan separuh agama. Kalau urusan finansial, Insya Allah, katanya, bisa ikut jualan jubah, buah dzuriat, hagar jahannam, minyak dob, kurma muda, atau jualan bagasi. Dalam hati, omaygat! Kamu baru selesai ujian Mutaqaddim Awwal! Markaz Lughah aja belum kelar udah mau nikah? Kamu konsultasi ke saya aja merupakan kesalahan besar. Serius mau dengerin saran saya? Kamu curhat nikah ke orang yang belum nikah? Pernah tahu gimana rasanya ada rantang dalam perut?

Saya kira, langkah apapun yang hendak diambil haruslah dipertimbangkan secara komprehensif. Bukan hanya positifnya saja, tapi juga negatifnya. Bukan hanya enaknya, tapi juga tidak enaknya. Yang enaknya pasti akan dialami dengan sendirinya, tapi yang tidak enaknya belum tentu siap dihadapi. Jika orang tua ingin tahu apakah Mesir adalah negara tujuan studi yang cocok buat anaknya, maka semua hal positif akan didapatkannya jika bertanya pada broker/mediator. Wah pokoknya kalau anak ibu kuliah di Mesir, nanti bisa jadi kaya Ust. Abdul Somad, bisa kaya Quraisy Shihab, kalaupun jadi politikus bisa kaya Gubernur NTB. Tapi kalau bertanyanya pada mereka yang gagal studi, yang pernah dideportasi, tentu akan lain responnya. Begitupun dengan menikah. Saya tahu dengan nikah, kamu punya alasan halal untuk bisa menunggu malam jumat. Saya tahu bahwa hidupmu jadi ada yang merhatiin (kalau pasangannya perhatian). Tapi saya juga tahu bahwa setelah menikah nanti, tanggung jawab hidupmu akan bertambah sebagai manusia. Ada tanggung jawab sebagai suami, sebagai istri, sebagai ayah, atau sebagai ibu. 

Jadi, sudahkah kamu tahu banyak hal sebelum memutuskan untuk menikah?

April, 2018.


Komentar

  1. Sangat membuka pikiran, lanjutkan akang

    BalasHapus
  2. Wah jadi begini tah kang...

    Jadi tau kang kenapa di mahasiswa Indonesia yang di Mesir banyak yg menikah muda. Pas awal cerita baca wahabi tak kira akang yg menikah, eh ternyata cuma se rumah dengan orang wahabi...

    Eh serius itu wahabi kang?

    BalasHapus
  3. "belum menikah, karena alasan belum selesai dengan hidupnya sendiri sebagai individu. "

    Paling suka quote yang ini.
    Hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih mbak sudah berkunjung ;) Semoga bermanfaat

      Hapus
  4. Saya pengen tahu rasanya ada rantang di dalam perut? hehe, keren tulisannya, barakallah..

    BalasHapus
  5. mashaallah kakak naik,debest👏

    BalasHapus
  6. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  7. Hhh udah baca tapi emang benar realitanya. Maka sampe sekarang kalau ada yg mau serius jangan cuma ngomong serius tpi dgn bukti kesiapan, mental dll 😆 itu belum seberapa lagi ada yg sampe mau ngelahirin belum cukup dana untuk bayar rumah sakit. Malamnya kita cari dana sumbangan karna istrinya mendadak melahirkan. Ini miris dan gak tau mau ngomongnya gimana yg kasian istrinya, dan parahnya lagi setelah lahiran istri yg kerja cari uang. Nggak tau dah ilmu apa yg dipake itu suami. Jangan sampe Ya Allah 😭

    BalasHapus
  8. Analoginya bagus , baru ngeh paling suka klau mgaitkan dengan realita makasih ka

    BalasHapus
  9. maa sya Allah
    syukron jazaakumulloohu khoiron

    BalasHapus
  10. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  11. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  12. Banyak alasan pasangan untuk menikah,,
    Yg pnting belajar untuk terus belajar sebelum maupun sesudah menikah.

    Suka dengan tulisannya :))

    BalasHapus
  13. Banyak alasan pasangan untuk menikah,,
    Yg pnting belajar untuk terus belajar sebelum maupun sesudah menikah.

    Suka dengan tulisannya :))

    BalasHapus
  14. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus

Posting Komentar