Marhaban fi Oman!
Negara Oman atau Sultanate Oman adalah salah satu negara di teluk Arab yang sebenarnya bukan destinasi yang banyak dikunjungi orang. Alasan utamanya adalah karena kemahalan, dibandingkan negara tetangganya seperti UAE atau Qatar yang jauh lebih terjangkau. Hal ini dikarenakan negara-negara di teluk Arab punya jenis destinasi wisata yang sama. Safari gurun pasir, naik unta, wisata budaya Arab Badui, pantai dari laut yang sama, dan beberapa atraksi lainnya. Pastinya ada perbedaan dari masing-masing negara, tapi menurut saya, kalau tujuannya hanya ingin berfoto-foto di padang pasir, Oman bukan alternatif yang tepat.
Saya berkunjung ke Oman sebenarnya di luar rencana. Kebetulan terbang pake maskapai Oman Air menuju negara lain, dan transit di Oman selama 20 jam. Dari pada menghabiskan 20 jam di dalam bandara, bakalan lebih seru untuk keluar jalan-jalan. Apalagi negara ini memfasilitasi Visa On Arrival untuk pemegang paspor Indonesia, jadi tinggal ngurus visa di Muscat International Airport.
Kedatangan
Waktu itu saya mendarat di Oman sekitar pukul lima pagi. Seperti yang saya
ceritakan sebelumnya, sebenarnya saya sudah sewa mobil untuk keliling Oman seharian karena katanya lebih murah. Cuma karena tidak ada kartu kredit, penyewaan pun tidak bisa dilakukan.
Di hall kedatangan itu, sayangnya bandara Oman tidak punya layanan Wi-Fi gratis. Padahal waktu itu niatnya mau googling alternatif transportasi publik dari bandara. Meskipun sempat galau syahdu karena gak bisa sewa mobil, pagi itu tidak mengurangi semangat saya untuk menjelajahi Kota Muscat yang sudah digoogling beberapa hari sebelumnya.
Pagi itu saya menukar uang di salah satu gerai penukaran. Waktu itu nilai tukarnya 1 Omani Rial (OMR) setara 2,6 US Dollar, alias 36k IDR. Warbiyazza ya... Sambil nukar uang, saya pun bertanya ke pegawainya tentang transportasi yang bisa dipakai menuju pusat kota. Katanya, tidak ada akses lain selain taksi. Lalu dengan ramah sekali dia menyarankan untuk berjalan ke luar bandara agar mendapat harga taksi yang lebih murah.
Atas saran itu, saya pun keluar bandara dan langsung diserbu supir taksi. Dari bandara Muscat menuju destinasi pertama saya yang jaraknya 10 Km-an, taksi di pintu bandara menawarkan harga 7 OMR. Sementara taksi yang agak jauh dari bandara (area gerbang masuk menuju bandara), saya dapet taksi yang harganya hanya 4 OMR. Lumayan setengah harga bedanya.
Grand Mosque Sultan Qaboos
Destinasi pertama saya adalah Masjid Sultan Qaboos. Masjid ini adalah salah satu masjid yang bikin saya gak berhenti ngerasa wah dan kagum. Bangunannya sangat luas, tamannya warna-warni beraneka bunga, lingkungannya sangat bersih dan tertata, bahkan tak nampak sama sekali ada debu di setiap sisi bangunannya. Ketika itu masjid ini nampak cukup ramai oleh para wisatawan, karena masjid ini memang terbuka untuk dikunjungi oleh siapapun secara gratis, kecuali di waktu-waktu salat. Security di sana bilang, hari Jumat masjid ini tutup untuk wisatawan. Maksudnya tutup di sini adalah untuk wisatawan non muslim. Untuk kamu yang beragama Islam, kapanpun bisa mengunjungi masjid ini.
Jujur aja, bangunan masjid ini saking luasnya bikin lupa arah. Waktu itu saya nyimpen sepatu di loker barang, dan ternyata ada banyak gerbang masuk dan ada puluhan loker barang di setiap pintu masuk itu. Ini sih kekonyolan yang haqiqi. Apalagi dengan bentuk loker dan desain gerbang yang sama, benar-benar tidak bisa dibedakan antara yang satu dengan yang lainnya. Mungkin karena waktu itu saya terlalu eksaitid, jadinya lupa untuk mengingat detail-detail yang ada di sekitar.
Ketika masuk bangunan utama masjid, di sana ada hamparan karpet biru yang lurus membelah bangunan utama masjid, dari pintu masuk utama menuju sajadah imam di samping mimbar. Di sepnajnga karpet biru itu terdapat pagar tali di kedua sisinya yang membatasi area yang boleh diinjak oleh wisatawan. Waktu itu saya bertanya sekaligus minta izin ke petugas keamanan di sana untuk menginjak bagian karpet di luar karpet biru. Kata petugasnya, kamu dipersilakan jika kamu muslim dan mau salat tahhiyah masjid.
Betapa bersyukurnya! Pengalaman yang luar biasa, sebab itulah pertama kalinya saya menemukan karpet masjid yang sangat empuk, kaya akan ornamen, wangi tidak bau kaos kaki, dan bikin betah. Sempat intip-intip ke seorang tour guide pengunjung lain, katanya masjid ini pernah menjadi masjid dengan karpet rajutan tangan tanpa sambungan, terluas di dunia. Dan karpet empuk dan wangi yang saya lihat hari itu adalah juga asli buatan tangan dan tanpa sambungan. Maksudnya, karpet di lantai masjid itu bukan beberapa karpet yang dipasang secara terpisah, tapi satu geblegan gitu, Bro!
Souq Mutrah
Dari masjid, saya melanjutkan perjalanan ke Souq Mutrah. Souq ini berjarak sekitar 20 Km dari Grand Mosque. Saya pun kembali mencari taksi di pinggir jalan, dan akhirnya menemukan taksi degan harga 4 OMR. Dengan jarak segitu, ternyata lebih murah dibanding taksi dari bandara tadi ya...
Souq, yang dalam bahasa kita berarti Pasar, adalah pusat oleh-oleh yang menjual beraneka macam barang. Ada pakaian, makanan, minuman, pernak-pernik, tas, sepatu, gantungan kunci, magnet kulkas, minyak wangi, buah-buahan, sampai bumbu-bumbu dapur khas Oman juga ada. Souq ini meskipun cukup ramai dan padat pengunjung, lingkungannya sangat bersih dan tertib. Tidak ada sampah, tidak ada air tumpah atau jalan becek, tidak ada lalat, bener-bener kaya pasar tradisional di dalam mall padahal bukan mall.
Oh ya, 1 OMR itu terdiri dari 100 Baitsa. Nah di pasar ini banyak barang-barang yang dijual dengan harga di bawah 1 OMR. Misalnya gantungan kunci paling murah harganya 300 Baitsa, magnet kulkas 800 Baitsa, sticker cetakan heena 500 Baitsa, kurma isi almond atau kurma dibalut coklan satuannya 100 Baitsa, dan sebagainya. Untuk pakaian harga kisarannya di atas 2 OMR. Kaos-kaos bertulisan "I Love Oman" dan sejenisnya rata-rata dijual 2,5-3 OMR. Begitupun dengan peci atau topi dan pashmina. Untuk pakaian yang agak besar seperti jubah dan abaya, pedagang di sana menawarkan harga rata-rata 4 OMR ke atas.
Souq Mutrah ini areanya lumayan luas. Saya pun berjalan kaki keliling sana-sini lumayan menguras tenaga. Sampai akhirnya saya menemukan sebuah ujung (karena pasar ini bentuknya seperti lorong panjang), yang langsung berhadapan dengan bibir pantai.
Pantainya melengkung dengan jalan raya di sepanjang sisinya. Ada banyak sekali burung yang entah apa namanya, berwarna putih, dan romantis sekali rasanya jika bisa dinikmati denga seseorang. Saya pun menghabiskan sekitar dua jam di pinggir pantai hanya untuk ngasih makan burung-burung ini. Awalnya iseng ngelempar roti, eh ternyata mereka pada nyamperin. Akhirnya ketagihan ngabisin sebagian roti dan beberapa makanan pesawat yang tadi dibungkus.. haha..
Di pinggir pantai ini ada banyak sekali toko makanan dan minuman. Saya pun sempat mengisi tenaga dengan menikmati segelas Jus Kiwi seharga 1,200 OMR. Saya menghabiskan waktu cukup lama di cafe ini, karena benar-benar cukup lelah udah kebanyakan jalan. Apalagi di hari sebelumnya belum tidur cukup, lalu disambung oleh penerbangan yang cuma sempat tidur bentar di pesawat, dan dari subuh udah langsung jalan tanpa jeda.
Setelah puas duduk di kafe, akhirnya saya memutuskan untuk kembali ke bandara tapi pengen cari alternatif lain selain taksi. Sebenarnya dari awal udah penasaran sering liat bis warna merah yang mondar-mandir di jalan raya. Seperti Bis Transjakarta. Tapi gak tau kalau mau naik itu harus dari mana. Dengan modal tanya sana-sini, akhirnya tahu bahwa bis itu ada transportasi publik yang haya berhenti di halte-halte tertentu. Akhirnya saya pun mencari halte terdekat yang ternyata berjarak sekitar 400 meteran dari kafe yang saya tongkrongi. Bis itu namanya Muwasalat Oman. Datangnya 20 menit sekali, dan sangat nyaman untuk digunakan. Yang lebih asiknya lagi, bis ini sangat murah! Saya naik bis ini hanya 200 Baitsah untuk menuju halte transit, lalu naik lagi jurusan bandara seharga 500 Baitsah. Wah, kalau tau ada bis ini dari bandara pastinya udah pake bis ini aja dari awal. Ketipu tukang penukaran uang nih! Ada transportasi murah tapi gak bilang-bilang.
Halte bandara ternyata berjarak beberapa meter dari pintu masuknya, terhalang bangunan jadi gak begitu keliatan. Saran saya kalau mau pake bis umum, keluar bandara langsung naik jembatan penyebrangan, sebab halte menuju pusat kota terlihat ada di ujung jembatan penyebarangan dekat bandara.
Oh ya, saya sempat membeli makanan selama di sana. Satu porsi nasi ayam kari dengan satu botol air mineral harganya 2,3 OMR.
Ketika hari sudah gelap, saya pun sudah kembali berada di bandara untuk kembali melanjutkan penerbangan selanjutnya. Sebenarnya saya belum puas, karena masih ada beberapa tempat yang sudah masuk list kunjungan tapi tidak sempat dikunjungi karena terbatasnya waktu yang dimiliki. InsyaAllah mudah-mudahan ada rizki dan umurnya bisa kembali ke negara ini dengan kondisi keuangan yang jauh lebih baik lagi hehe....
08 Maret 2018
Komentar
Posting Komentar