Panel II Simposium PPI Timur Tengah dan Afrika 2018
Islamic Corporate Social Responsibility
Oleh: Bambang Suherman
Ketua Forum
Badan Zakat Nasional
Corporate Social Responsibility
(CSR) atau dikenal juga sebagai Tanggung Jawab Sosial Perusahaan adalah sebuah
bentuk tanggung jawab perusahaan terhadap sosial maupun lingkungan di mana
perusahaan itu berada dengan melakukan serangkaian kegiatan-kegiatan acara dan
konsep yang dapat memberikan efek yang berarti kepada masyarakat luas,
khususnya masyarakat di sekitar perusahaan itu berada.
CSR turun atas dasar dua
kepentingan. Pertama, untuk mengangkat brand. Kedua, sebagai manajemen konflik
perusahaan di wilayah eksplorasi. Dua jenis kepentingan tersebut memiliki pola
yang transaksional. Misalnya ketika suatu perusahaan mengakibatkan suatu
masalah di wilayah eksplorasinya, perusahaan secara langsung menemui tokoh
masyarakat, mengeluarkan biaya tertentu, dan memberikan pernyataan “pokoknya lu
atur dah!”, dan menganggap permasalahan selesai. Jika pola tersebut terus
menerus terjadi di banyak tempat, maka tujuan CSR yang sejatinya turut membantu
menyejahterakan masyarakat sekitar perusahaan akan sulit tercapai.
Karenanya, Lembaga Zakat bisa
menjadi alternatif solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut. Berbagai
perusahaan, baik swasta maupun pemerintah semakin mempercayakan penyaluran
kewajiban CSR-nya melalui Lembaga zakat, seperti Badan Amil Zakat Nasional
(Baznas) dan Dompet Dhuafa.
Dengan skema tersebut, lembaga zakat
(fasilitator) menjadi pihak yang menengahi antara perusahaan (masyarakat sumber
daya) dan target penerima bantuan (masyarakat terbantu). Perusahaan membayarkan
dana/sumber daya ke lembaga zakat, lalu lembaga zakat yang menyalurkannya
kepada berbagai hal sosial strategis yang dipandang perlu untuk mendapat
bantuan perusahaan.
CSR di tengah masyarakat dapat
diimplementasikan dalam tiga hal:
- Ruang untuk menumbuhkan modal.
- Ruang produksi yang mencakup mutu produk dan volume produk.
- Akses terhadap pasar yang luas. CSR sebagai hal yang
mempertemukan ruang pasar dan ruang modal.
Menghadirkan fasilitator dalam
alur penggunaan CSR dinilai penting karena fakta yang ada, banyak
perusahaan/pemilik sumber daya yang tidak benar-benar peduli terhadap isu
lingkungan yang terjadi di ekosistem perusahaannya. Hal ini menyebabkan pemilik
perusahaan terus memperkaya diri, sementara masyarakat di sekitarnya tetap
dalam kondisi yang sulit berkembang.
Kesenjangan di masyarakat
memiliki dampak yang cukup siginifikan terhadap perubahan social. Beberapa
dampak tersebut antara lain penurunan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM),
melemahnya wirausaha, deharmonisasi, dan terjadinya kriminalisasi. Semakin
besar jurang kesenjangan antara pemilik modal dan masyarakat miskin, akan
semakin besar pula kemungkinan terjadinya konflik dan perpecahan.
Perlu dicatat bahwa kehadirah
fasilitator dalam penyaluran CSR tersebut bukan sebagai pihak yang juga
mengambil bagian (take to have), tetapi hanya sebagai pihak yang
menyalurkan (take to share).
CSR sangat berpotensi untuk
mengatasi permasalahan kemiskinan yang ada di Indonesia. Hal tersebut
diutarakan Bambang Suherman atas dasar kalkulasi banyaknya jumlah perusahaan
yang ada di Indonesia, dan masih besarnya sumber modal yang bekum sepenuhnya
tergali dan tersalurkan oleh berbagai lembaga ZIS yang ada. Sinergi pengentasan
kemiskinan tersebut dapat dilakukan dengan dua hal: filantropi atau social
enterprise.
Filantropi bisa berbentuk
penyalurah dana untuk pembangunan gedung sekolah, madrasah, masjid, rumah
sakit, panti asuhan, pusat belajar masyarakat, pengairan air dan irigasi, reboisasi
hutan, dan lain sebagainya. Sementara Social Enterprise berwujud dalam
upaya menumbuhkan kesadaran masyarakat supaya menjadi masyarakat yang tadinya
pasif menjadi produktif. Sebagai contoh kasus, masyarakat yang tinggal di
daerah pembuangan sampah biasanya hanya mengumpulkan sampah dari berbagai
tempat, lalu menjualnya ke juragan sampah. Pola itu tidak cukup berhasil untuk
membuat masyarakatnya bisa melakukan banyak hal dalam hidupnya, termasuk
memenuhi kebutuhan ekonominya. Melalui program berskema Social Enterprise, fasilitator
hadir di tengah mesyarakat tersebut, melakukan kajian lingkungan, melatih
mereka untuk mampu mendaur ulang sampah, mengolahnya menjadi suatu produk baru,
dan menjadi hal baru yang memiliki nilai jual yang lebih tinggi dari sekadar
menjual sampah mentah kiloan kepada pengumpul sampah.
Peran fasilitator dalam skema Social
Enterprise tersebut mecakup melakukan advokasi legal, melakukan
pendampingan, dan memetakan jaringan sampai masyarakat target CSR benar-benar
bisa mandiri.
Tidak banyak orang yang memiliki
perusahaan menyadari betul akan pentingnya melakukan tanggung jawab social bagi
lingkungannya. Tidak banyak pula
perusahaan yang sudah menyadari pentingnya CSR, tapi tidak benar-benar
menjadikannya sebagai kepentingan untuk melakukan perubahan sosial bagi
masyarakatnya. Lembaga zakat bisa menjadi alternatif solusi untuk kondisi
tersebut, dan sudah menjadi tugas Bersama untuk sama-sama menyelesaikan
berbagai permasalahan social yang ada di lingkungan kita masing-masing.
Islamabad, 3 Maret 2018
Komentar
Posting Komentar