Saya menemukan beberapa teman saya tidak cukup percaya diri
di depan teman-temannya yang datang dari lain negara. Terlebih jika mereka
berasal dari negara yang jauh lebih ‘kaya’ dari Indonesia. Sebut saja misalnya
Malaysia. Tentunya kaya dalam pengertian yang sempit. Mata uang mereka punya
nilai tukar yang lebih tinggi, mayoritas mereka yang studi di Mesir mengambil
Fakultas Kedokteran, dan gaya hidup mereka yang sulit diimbangi, tatkala kita
baru bisa kebeli Iphone 4s dan mereka sudah selfie dengan Iphone X.
Sebagai pengantar, biar saya terangkan apa yang saya tahu
soal bagaimana kondisi orang Malaysia di Mesir. Pertama, pelajar Malaysia
adalah pelajara asing dengan jumlah terbanyak di Mesir. Mereka datang ke Mesir
tidak hanya untuk studi Studi Islam di Al-Azhar, tapi mayoritas mengambil
kuliah Kedokteran di beberapa kampus seperti Univ. Al-Azhar, Univ. Ain Syams, Univ.
Cairo, Univ. Mansoura, Univ. Tanta, dan Univ. Alexandria. Sementara orang
Indonesia, tidak sampai lima puluh orang yang studi di luar kampus Al-Azhar
(untuk S1).
Kedua, Malaysia punya banyak asrama untuk mahasiswanya.
Hampir setiap kerajaan daerah (mungkin provinsi) punya asrama. Tidak gratis,
tapi murah. Untuk Dewan Malaysia Abbasiah Kairo (DMAK), setiap orang dikenakan
biaya 48 Le/bulan, sudah termasuk semua fasilitas kecuali internet dan makan.
Di Cairo, ada banyak
Minat orang Malaysia untuk studi di Mesir cukup tinggi,
didorong oleh berbagai alasan. Di antaranya, biaya lebih murah dibanding di
Malaysia atau negara lain. Biaya kuliah Kedokteran di Mesir tahun 2017 sebesar
8000 USD/tahun, lalu naik menjadi 9300 USD/tahun. Biaya itu, kata dua orang tua
Malaysia yang pernah saya tanya, masih lebih murah dibanding di negaranya atau
di negara lain. Jika biaya SPP kamu di Al-Azhar hanya 120 EGP/tahun, maka itu
hanya sepernol koma sekian persennya dari SPP mereka yang kuliah Kedokteran. Saya
punya kawan Malaysia yang kuliah di Ain Syams. Kisahnya, dia mengalami rosib
(tidak naik tingkat) dua kali. Artinya, sekali rosib sama dengan nambah 8000
USD. Dua kali rosib bisa setara untuk ONH Plus dua kali.
Kata salah seorang dokter spesialis Malaysia yang waktu itu
menghadiri wisuda anaknya di Kedokteran Ain Syams, bahan ajar Kedokteran di
Mesir jauh lebih berisi dan lengkap, meskipun minim praktik. Itu menjadi alasan
lainnya mengapa banyak dari mereka yang memilih studi di negara ini. Alasan
lainnya, karena sulitnya mendapatkan bangku kuliah
Untuk urusan mata uang, 1 Ringgit Malaysia bisa ditukar
dengan 4 Pound Mesir. Sementara Rupiah Indonesia, 1 Pound Mesir hanya setara
750 Rupiah. Ketika mereka dikirimi orang tuanya hanya 500 Ringgit, mereka bisa
punya uang bulanan 2000 Pound. Sedangkan kita jika dikirim 500 ribu Rupiah,
kita hanya akan dapat 650 Pound. Barangkali perbedaan ini menjadi faktor
tersendiri mengapa
Saya kira, urusan dompet adalah penyebab utama mengapa kita
merasa minder di hadapan teman-teman yang datang dari negara-negara khaya.
K.H.A.Y.A. Nilai mata uang kita yang gitu-gitu aja, ditambah jumlah nol yang
berjejer banyak, menjadi faktor yang kadang bikin kita, atau saya, ngeluh “Tuhan,
kenapa Indonesia namanya bukan German aja? Kenapa Rupiah itu namanya bukan Euro
aja?”.
Minggu lalu, secara kebetulan saya ikut jalan-jalan ke Sinai
bareng Taqy Malik. Iya, Taqy Malik. Taqy Malik. T-A-Q-Y-M-A-L-I-K. Yang kata
teman perempuan saya, Zis tolong bilangin ke dia “Kutunggu dudamu” tapi aku gak
berani bilanginnya. Di rihlah itu ada dua orang Malaysia yang ikut dan duduk
tepat di belakang kursi saya. Lalu ada seorang Indonesia yang menyapa mereka.
Kira-kira begini:
Ustadz namanya siapa? Saya Fit***.Dari mana asalnya?Kami dari Malaysie.Oh Malaysia? Kuliah apa di sini?Saya Medic di Azhar dan ini kawan saya Medic di Ain Syams.Oh! Kedokteran? Mahal?
Saya yang diam-diam menyimak obrolan jadi bertanya-tanya,
kenapa responnya harus bilang “Mahal?”? Memangnya kalau mahal kenapa? Jadi
pengen nyleding otaknya lalu teriak, ekspresinya biasa aja dong! Makanya ngopi
napa ngopi!
Untuk urusan dompet, kita memang kalah. Tapi harga diri,
kita harus lebih tinggi. Meninggikan harga diri tidak berarti harus sombong,
tidak pula harus menjadi superior atau bahkan etnosentris. Untuk konteks kita
yang belajar berdampingan di Mesir, cukuplah kita berinteraksi sebagaimana
wajarnya. Sebagaimana wajarnya orang Jawa Barat berkenalan dengan orang
Sumatera Utara. Sebagaimana wajarnya orang Kalimantan bertemu dengan orang
Bali. Bahkan kewajaran ini, saya kira, yang juga harus ada ketika kamu mencintai
lawan jenis berbeda negara. Kalau mau gombal, ya gombal aja. Mau ngemodus, ya
ngemodus aja. Jangan karena dia perempuan Malaysia, misalnya, atau perempuan
Mesir, atau perempuan Eropa, atau perempuan Nigeria, kamu menjadi minder dan
kehilangan kepercayaan diri.
Sebenarnya saya gak begitu suka dengan orang yang
stereotipnya, menikah dengan orang asing adalah untuk memperbaiki keturunan.
Memangnya ada masalah apa dengan keturunan kita sendiri? Kita harus percaya
diri bahwa sebenarnya mereka lah yang memperbaiki keturunannya dengan menikahi
kita. Bibit-bibit inferior ini harus dibasmi sejak dalam pikiran, karena jika
pikirannya sudah inferior, nanti akan merambat menjadi sifat, lalu
terterjemahkan menjadi sikap, dan parahnya berakhir menjadi ideologi. Kalau
sudah jadi ideologi, paradigma itu akan menetap dalam otak kita, mendarah
daging, lalu jadi gen. Gen itu turun ke anak kita, lalu cucu kita, lalu
lahirlah satu generasi berpikiran sama.
Konsep superioritas dan inferioritas sempat muncul di awal
kelahiran Bani Abbasiyah. Ketika Islam menyebar ke daerah Asia Tengah dan pusat
kekuasaan negara Islam sudah bukan di Madinah lagi, sebagian orang-orang Arab
merasa dirinya paling unggul dibanding orang-orang Persia yang baru belajar
Islam dan bahasa Arab. Ada saat di mana orang-orang non-Arab merasa minder
untuk mengambil bagian dalam tatanan sosial masa itu, lantaran berbagai faktor.
Maka muncullah
Jadi, kalau ketemu orang Malaysia, biasa aja ya.
Ekspresinya, pertanyaannya, basa-basinya, pokoknya biasa aja. Kalaupun ada yang
agak songong, karena beberapa di antara mereka ada juga yang songong dan merasa
Tujuan saya menulis ini sebenarnya didorong atas kondisi
teman saya yang baru ditikung. Ia sempat depresi karena jumlah perempuan
Masisir hanya seperempatnya jumlah laki-laki. Persaingan yang ketat ini
membuatnya harus berekspansi mengincar negara tetangga, tapi terkendala sindrom
kepercayaan diri. Semoga tulisan ini bisa menguatkan tekadnya untuk
mengekspansikan perasannya ke perempuan impiannya. Amin.
27 Januari 2018.
makasih sharingnya
BalasHapusGimana caranya sleding otak? Hahaha
BalasHapusHahahaha itu yg bagian temenmu pake ekspressi gimana gitu nanya MAHAL, aku bisa kebayaang :p. Aku 4 thn kuliah di Malaysia. Dan sbnrnya yaaa, orang2 sana itu walo kadang ada yg ngeremehin Indonesia, tapi beda sikapnya kalo tau ada student dari Indonesia sekolah di Universitas swasta :D. Aku pernah ngalamin agak dilecehin ama polisi sana. Gara2 wkt itu kluar beli makan siang, pake kaos belel butut tapi enak banget dipake :p, trus ga bawa pasport :p. Tercyduck lah saya... Pak polisi lgs curiga kalo aku tkw ilegal. Dan lgs dong, aku dikawal, dia naik motor, aku disuruh jalan kaki balik lagi ke tempat kos :p. Ambil pasport ceritanya. Dan begitu pasport dengan visa pelajar terpampang nyata di matanya, lgs sikapnya berubah. Minta maaf, dan bilang, "waaah you pasti kaya yaa, bisa kuliah di private university sini. Di sana maaahaaal"
BalasHapusRasa2 pgn aku pites mukanya :p. Ga inget kalo barusan dia anggab remeh aku