Ketika para penonton berdiri di atas kakinya masing-masing,
lalu tepuk tangan riuh bergemuruh mengantarkan kebahagiaan satu demi satu memenuhi
ruangan, saya menyepakati pikiran saya sendiri bahwa pentas ini tak seharusnya
berlalu dengan cepat.
Bagi saya pribadi, Gebyar Parahyangan (GP) memiliki makna
lebih dari sekadar pentas kebudayaan dalam durasi empat jam. Sebelum dan
setelah empat jam itu terjadi, ada ribuan jam kontemplasi dan proses kreatif
dari setiap pelaku dalam lingkaran tersebut. Dari kursi penata musik, misalnya,
mengawal laju bebunyian untuk sebuah lagu yang ditampilkan adalah produk dari
pengalaman ini itu, dan berbagai kali percobaan yang tak kelar sekali dua kali
latihan. Bahkan dalam keseharian, segala bebunyian yang disaksikan
pendengarannya akan selalu teralamatkan untuk mengonsep acara. Begitupun bagi
kawan-kawan yang duduk di kursi penata musik, konseptor desain panggung, juru
masak, tukang nyari dana, dan tukang-tukang lainnya.
Menjadi penulis naskah adalah pekerjaan yang memaksa saya
untuk mendalami lakon lebih dulu dari aktornya sendiri. Tentu saja ada banyak
kekhawatiran, seperti tidak mampu menguasai adegan, gagal memaknai apa yang
bersembunyi di balik teks, dan fatalnya, mengakibatkan para pemain akan
melakukan kesalahan-kesalahan dalam menerjemahkan naskah.
Sepura-pura apapun drama atau teater, tentu saja siapapun,
baik pelaku maupun penikmatnya, tidak
ingin melihat segala sesuatu yang terjadi di atas pentas hanya sebatas “pentas
pura-pura”. Yang saya sendiri inginkan
adalah para aktor tampil dengan penghayatan pada perannya, sehingga dialog
keluar sebagai kata-kata yang bermakna. Yang akan tersaji tidak hanya bentuk
semata, tapi juga berwarna dengan ragam gesture, ekspresi yang sesuai
takaran, phrasing kalimat dan kata yang tidak keliru, serta blocking
yang disertai dengan motivasi tidak asal bergerak.
Tahun 2014 lalu adalah awal mula belajar menulis naskah untuk
acara ini. Waktu itu, GP disajikan dalam bentuk Talkshow. Tentu saja talkshow
fiksi. Lalu tanpa sadar, mengonsep acara kebudayaan menjadi candu, capek tapi
nikmat, bahkan menagih untuk lagi dan lagi. Sejujurnya, semangat ini tak pernah
semembara ini ketika menyiapkan acara lainnya.
Lalu seiring berjalannya waktu, naskah 2014 juga dipentaskan
di tahun 2015. Hanya mengalami beberapa penyesuaian dan perubahan tokoh. Di
tahun berikutnya, saya berhenti menjadi penulis naskah, bahkan tidak sama
sekali berkontribusi dalam GP selain jadi penonton. Jika terpaksa harus tetap
eksis, tahun itu hanya membantu Emil menulis naskah monolog Tukang Cilok yang
ditampilkan di GP 5. Barulah di GP kali ini, saya kembali merasa berhasrat
untuk nulis lagi, ngelamun lagi, bergerak lagi meski hanya dan akan selalu
sebagai orang di balik layar.
Saya berterima kasih kepada Ziyad, Girnik, Iping, Rofi, dan
Irsal yang dengan keikhlasan hatinya telah mau saya “apa-apain”. Tidak bisa
dipungkiri, bahwa tak ada yang paling sulit diatur gerakannya selain Girnik,
atau tak ada yang paling sulit diatur tempo bernyanyinya selain Iping. Tapi
semua kesulitan yang telah dilalui, sedikit banyak telah membuat ceritanya
masing-masing. Ada sisi di mana saya tak cukup percaya diri untuk melakukan
lelucon-lelucon gila, adegan konyol, atau ekspresi hiperbolik lainnya, dan
kalian telah mengisi sisi itu dengan sangat baik.
Kepada tim penata musik yang sejak acara ini dikonsep, saya menitipkan
begitu banyak beban. Begitupun dengan Perlengkapan, Acara, dan bagian-bagian lainnya
yang tak bisa terpisahkan, saya ucapkan terima kasih telah melibatkan saya
dalam kebahagiaan ini.
Saya atau siapapun pelaku dalam acara ini, disadari atau
tidak, telah belajar banyak hal baru, wawasan baru, pengalaman baru, pertemanan
baru. Kepada Allah lah, semua itu kita titipkan, semoga kelak dapat kembali
dimanfaatkan untuk menjadi manfaat yang lebih besar. Amin.
11 November 2017.
Istimewaa pak direk ! 😀 berkaah.
BalasHapusSedikit terharu tulisan “ bangkit hasrat lagi nulis di GP VI “ nuhun pak direk ! Bangga jdi anak buah dirimu wkwk
BalasHapusHaturnuhun sebadag-badagnya mang maul 🙇 Hehehe
BalasHapusHatur nuhun bapak penulis naskah :)
BalasHapusMantap mantap, mabruk, tinggal nyari jodoh
BalasHapus