|
Image taken from here |
Di tahun 90-an, Bapak saya pernah
mengalami pemindah-tugasan sebagai Kepala Sekolah. Ia dimutasi dari madrasah
yang dekat rumah ke madrasah di desa tetangga yang lokasinya lumayan berjarak.
Dalam kondisi kampung yang masih gagap teknologi, minim listrik dan tidak ada
sosial media, tak banyak hal yang bisa dilakukan para pemuda di kampung sana.
Beberapa hijrah ke kota sebagai kuli, sebagian lain berangkat ke sawah dan
menemukan hidupnya di sana.
Madrasah di kampung itu sepi peminat.
Untuk disebut sebagai pusat belajar, Madrasah itu lebih cocok dilabeli sebagai
pelengkap kebutuhan Pemerintah supaya ada bangunan sekolah di sana. Lalu Bapak
mengawali langkahnya di sana dengan mengajak para pemudanya untuk membuat grup
rebana, qasidah, lalu berkembang menjadi orkes kecil-kecilan. Langkah tersebut
membuahkan hasil. Setidaknya menurut para tetangga dan murid-murid Bapak waktu
itu, angka putus sekolah menurun dan anak-anak serta remaja mulai tertarik
untuk sekolah di madrasah itu.
Kisah itu saya dengar dari kakak
saya, di suatu malam ketika kami duduk berdua di teras rumah. Obrolan itu
membuat saya kagum atas apa yang pernah Bapak lakukan di masa produktifnya.
Kisah tersebut barangkali hanya
satu dari sekian banyak kisah bagaimana seseorang mampu mengubah lingkungannya
bermodalkan hobi, bakat, atau keterampilan yang dimiliki. Omar Khairat, seorang
komposer kenamaan Mesir, dalam sebuah wawancara di salah satu media Timur
Tengah mengatakan bahwa musik adalah bahasa yang menurutnya paling efektif
untuk menyampaikan pesan-pesan perubahan. Barangkali bahasa verbal mampu
mempertegas maksud-maksud, tapi ia akan selalu memiliki batas geografis. Bahasa
Arab hanya untuk mereka yang paham bahasa Arab, begitupun bahasa Inggris dan
lainnya. Sementara bahasa kebudayaan, dalam hal ini musik, adalah bahasa
universal yang bisa didengar oleh siapapun dan di manapun.
Di masa awal saya tinggal di
Kairo, saya pernah begitu mengagumi lagu-lagu Hamzah Namira, bahkan sampai
sekarang. Entah karena liriknya, entah karena aransemennya, entah karena spirit
yang melatarbelakangi setiap karyanya. Bahkan sempat terpikir suatu hari nanti
saya harus membuat tulisan serius tentang spirit humanisme yang dibawa Namira
di setiap lagu-lagunya. Sean Foley, seorang peneliti berkebangsaan Amerika,
pernah mengamini Hamza Namira sebagai “fannan at-thawra” [“Artist of Revolution”].
Semangat yang dibawa Namira dalam lagu-lagunya dinilai sebagai salah satu
faktor penting yang mampu menyatukan masyarakat Mesir saat Revolusi 2011 lalu.
Dalam tulisannya di jurnal Middle East Institute, Washington DC, Sean
mengangumi Namira sebagai sosok yang mampu mengubah arah begitu banyak
masyarakat Mesir dari keputusasaan menuju optimisme yang begitu besar. Sebelum
revolusi terjadi, menurutnya, sedikit sekali orang Mesir yang mampu bicara masa
depan hidupnya sebagai orang Mesir dengan percaya diri. Tapi sejak revolusi,
disertai kehadiran lagu-lagu Namira seperti “Ehlam Maaya” [“Dream with Me”] dan
“El-Midan” [The Square”], harapan baru nampak terbit di setiap dada orang
Mesir, dan lirik-lirik Namira pun berkumandang dari mulut ke mulut.
Dream with me
Tomorrow’s coming
And if it doesn’t come
We will bring it ourselves
All our steps will lead us to our
dream
No matter how many times we fail
We can always get up
We can break through the darkness
We can turn our night into a
thousand days.
Beberapa hari yang lalu, saya
melihat geliat semangat di raut teman-teman Masisir yang tertarik untuk belajar
bermain Angklung di Lingkung Seni Gentra Pasundan (LSGP). Mereka datang dari
berbagai daerah, berbagai usia, berbagai jenis kelamin (?), sehingga ketika
semuanya berkumpul dan memainkan sebuah alunan musik, semua nampak sama. Tidak
ada istilah kamu Jawa Barat/bukan Jawa Barat, junior/senior, anak DL/anak Lc,
semuanya berbaur dengan mudah tanpa pernah sedikitpun mempermasalahkan sekat di
antara mereka.
Semangat ini yang menurut saya
penting untuk disuarakan dalam banyak hal. Semangat bagaimana bahasa kebudayaan
adalah bahasa universal yang mampu membawa perubahan positif bagi komunitas.
Sejak beberapa tahun ke belakang, Mesir telah mulai menyuarakan itu melalui
berbagai festival kebudayaan dengan pesan serupa. Ada Mahrogan Thobul ad-Dawly,
sebuah festival alat musik tradisional dari berbagai negara, yang visi besarnya
untuk menyuarakan perdamaian melalui keberagaman alat musik dan tradisi lokal.
Ada pula Sama’a Festival, di mana setiap perwakilan agama duduk bareng di satu
panggung, mendendangkan lagu-lagu religiusnya masing-masing, dan dikomposeri
menjadi satu kesatuan irama. Tujuannya tetap sama, untuk menyampaikan pesan perdamaian
melalui musik lintas religi.
Membangun kebersamaan di suatu
komunitas bisa dimulai dengan apa saja, tentu saja musik hanya salah satunya. Hanya
saja, musik bagi saya punya peran lebih, dalam sudut pandang yang begitu
subjektif. Ketika ia dimainkan, orang hanya cukup mendengarkan dan meresapi
pesan yang dibawanya. Musik mampu menjadi jembatan bagi banyak orang untuk
mengekspresikan kebahagiaan, kesedihan, harapan, semangat, mimpi, dan berbagai
keterwakilan lainnya.
Kebudayaan adalah tema yang
sangat luas. Kesenian, peralatan, bahasa, sistem kemasyarakatan, sistem
pengetahuan, dan religi, merupakan poin-poin besar dalam payung kebudayaan yang
bisa dijadikan titik balik, dari arah mana kita akan memulai perubahan di
lingkungan kita. Ketika Bapak saya pernah mengubah kondisi sebuah madrasah
karena grup rebananya, saya jadi berpikir ulang selama ini masih salah menerjemahkan,
musik hanya sebagai alat untuk kesenangan semata. Padahal lebih jauh dari itu,
ia mampu menjadi musabab yang begitu berarti untuk menghadirkan
kebaikan-kebaikan baru.
Entah dengan musik atau bukan,
mari berinisiasi.
25 Oktober 2017
Komentar
Posting Komentar