Beberapa tukang di dunia ini ditakdirkan untuk bisa tahu lebih dulu sesuatu yang belum diketahui banyak orang. Misalnya panitia tunangannya Raisa dan Hamish. Sebelum media tahu berita pertunangan mereka, si tukang ngukur baju sudah tahu lebih dulu. Begitupun tukang dekornya, tukang cateringnya, tukang fotonya, dsb. Contoh lainnya adalah tukang Cutterme. Tahun lalu ada pasangan yang sedang menggebu-gebu dimabuk cinta, lalu sang pria memesan Cutterme untuk pujaan hatinya. Menariknya tanggal sembilan bulan ini, sang wanita penerima Cutterme itu akan menikah tapi dengan pria lain. Bahagianya, ada juga yang tahun lalu melakukan pendekatan dengan Cutterme, dan hari ini mereka sudah resmi tidur berdua, menanti detik-detik menjadi ibu dan ayah bagi keturunan mereka.
Menjadi tukang adalah sesuatu yang patut dibanggakan. Untuk menyandang gelar tersebut bukanlah sebuah proses perjalanan yang pendek dan instan. Gola Gong pernah mengaku dirinya sebagai Tukang Dongeng. Gus Mus tidak pernah mau mengaku sebagai Ulama, tapi tapi tak membantah sebagai Penyair, Tukang Puisi. Seno GA pernah berpendapat di Kompas, bahwa dia menganalogikan dirinya sebagai Tukang. Kata Seno, “Ya, tukang. Bukan robot. Untuk jadi tukang, keterampilan saja tidak cukup. Ada pergulatan intens. Tukang kayu harus kenal kayu secara personal. Petani harus kenal cuaca, tanah, air, dan benih secara personal. Keangkuhan para intelektual saja yang membuat rendah profesi tukang.”
Hemat saya, seorang pemimpin adalah tukang. Ia harus mengalami dan menjalani pergulatan intens, butuh keahlian khusus, dan bukan sosok yang tiba-tiba muncul laksana asap yang keluar dari kendi tukang sulap. Pemimpin lahir dari rahim dinamika yang panjang, yang secara personal kenal dengan kepemimpinan, kenal hal-hal teknis semacam administrasi dan perundangan, juga kenal hal-hal implisit dan transenden, semisal diversitas masyarakat yang terdiri dari ribuan kepala dan hati dengan isi yang berbeda-beda. Sebagai tukang, pemimpin harusnya tahu lebih dulu milestone apa yang hendak dicapai, tupoksi apa yang mendukung kepemimpinannya, program apa yang hendak dikerjakan. Jangan sampai kita melabelinya sebagai ‘tukang’, tapi semua visi, misi, dan program unggulannya adalah buatan Timses dan orang-orang terdekatnya saja.
Bulan ini, Masisir akan mencari Tukang baru bagi Persatuan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia di Mesir. PPMI merupakan garda terdepan yang mencerminkan kehidupan akademik mahasiswa Indonesia di Mesir. Kamu mau tahu bagaimana kehidupan organisasi pelajar di sini, tinggal lihat saja PPMI-nya. PPMI seperti Bandara Internasional, gerbang pertama yang menyambut banyak orang yang ingin mengenal isi negaranya. PPMI adalah wajah yang mencitrakan diri dan identitas pemiliknya. Baik buruknya citra PPMI mewakili baik buruknya citra Masisir. Yang ikut Simposium PPI Dunia setiap tahunnya adalah PPMI, bukan kekeluargaan atau komunitas hobi dan kegemaran.
PPMI sebagai 'persatuan' juga seyogyanya menjadi payung yang menyatukan berbagai perbedaan. Jika menyatukan adalah sesuatu yang sulit, semisal maksain Masisir ikut tahlilan padahal gak semuanya suka tahlilan, atau terlalu sering ngadain acara main bola padahal akhwat gak suka main bola, maka carilah benang merah yang mampu menyatukan. Semisal meningkatkan intensitas kegiatan akademik dan kegiatan peningkatan keterampilan yang bisa diaplikasikan di kehidupan mendatang. Meminjam kalimat Soekarno, tanyakan pada dirimu apa yang sudah kamu berikan untuk negerimu? Atau kata Habibie, apa yang sedang kamu siapkan untuk tanah air?
Contoh sederhana misalnya, saya belum pernah menemukan ada program PPMI yang mampu mendorong anggotanya untuk bisa ngomong di depan publik, presentasi ilmiah, pelatihan dai-daiyah, atau hal-hal lain yang benar-benar mahasiswa butuhkan tapi tidak tersedia di kelas perkuliahan.
Saya menyadari hal itu ketika ikut sekolah di The American University in Cairo (AUC). Setiap pertemuan harus presentasi, dan sialnya saya belajar bagaimana hal itu dilakukan dengan mencari tahu sendiri. Padahal kalau ada peran PPMI di sana, misalnya karena saya pernah belajar public speaking di PPMI, jadi tugas presentasi apapun bukan masalah, saya pasti dengan bangganya bilang “ya! PPMI punya andil yang besar bagi prestasi akademis saya!” Kalau PPMI punya acara semacam itu, dengan menghadirkan narasumber yang kompeten, tidak menutup kemungkinan suatu hari nanti, program tersebut akan mendorong Masisir lebih siap untuk bersaing dengan alumni negara manapun, lulusan kampus manapun, bahkan bisa jadi kemampuannya itu mengantarkan ia pada takdir berdakwah kewasatiahan Azhar di forum United Nation, di Tedx, di Multinational NGO, di berbagai konferensi, di dunia yang lebih luas di banding majelis taklim dan ceramah kajian di ruang-ruang Youtube.
Saya yakin bahwa kegiatan skill dan akademik akan terasa lebih bermanfaat dalam menunjang kebutuhan masa depan Masisir dibanding program lain yang sifatnya temporer. Toh kita semua sepakat kok bahwa PPMI bukanlah Ormas, bukan Partai Politik, bukan Asosiasi Bisnisman. PPMI adalah komunitas akademik, yang isinya semuanya adalah pelajar, yang seyogyanya semua program PPMI tidak lepas dari Tri Dharma Perguruan Tinggi: Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian kepada Masyarakat. Ya salawatan dan rihlah mengunjungi Grand Syekh ke Luxor juga banyak manfaatnya, tapi ada manfaat lain juga yang harus dikejar. Kalau ngadain forum diskusi tapi di kafe gimana? Manfaat gak? Ya jelas manfaat, tapi kalau sampai semua pengunjungnya harus dibayarin makan minumnya, itu namanya mubadzir. Sumbangin aja anggarannya buat kekeluargaan yang Temusnya sedikit. Kan lebih membahagiakan kedengarannya.
Ada yang menarik dari Pemilu PPMI Mesir setiap tahunnya, di mata saya. Lantaran calon Presiden dan Wapresnya selalu bukan teman dekat saya, atau teman sealmamater (ini jelas gak mungkin), atau teman seapa kek yang bisa membuat saya yakin mengatakan, ya saya kenal dia dengan baik bagaimana kualitas kepemimpinannya. Dulu zamannya Agususanto nyalon jadi Presiden PPMI, saya kenal dia hanya tahu nama dan muka karena pernah jadi tour guide waktu pertama kali ke Sinai. Gimana caranya saya menilai kepemimpinan dia hanya dari penampilannya sebagai pemandu wisata, untuk jadi Presiden PPMI? Lalu berikutnya Bang Gobe. Saya tau namanya saja di acara Pemaparan Visi Misi, dan baru ngeh bahwa Gobe dan Abdul Ghofur Mahmudi itu orang yang sama. Berikutnya Ahmad Baihaqi. Namanya tahu, orangnya tahu, bukan karena teman dekat, tapi karena beberapa fotonya pernah muncul di akun @pria_tampan_masisir. Hanya karena dia tampan, jadi ia layak jadi Presiden PPMI? Hah?
Milih pemimpin tanpa ta'arufan dulu itu mungkin mirip-mirip dengan dijodohin sama orang yang belum kita kenal. Gitu gak sih? Tiba-tiba dia datang dengan segudang visi misi masa depan lalu ngajak berumah tangga. Hey! Hidup ini butuh perencanaan yang matang, dan masalah gak otomatis terselesaikan hanya dengan jawaban “Insya Allah khoir”.
Tapi ada sisi baik tatkala kita tidak mengenal siapa calon pemimpin yang akan dipilih. Dengan tanpa tahu dia sebelumnya, kita akan menilai dengan kaca mata paling objektif, meskipun akan selalu subjektif pada akhirnya. Kalau dalam penelitian sastra ada istilah kualitatif struktural, atau di referensi Arabnya al-Manhaj al-Fanniy di mana dalam mengkaji teks murni mengkaji apa yang disajikan naskah tanpa mempertimbangkan faktor historis, politik, ekonomi, dan sosial tertentu. Persis seperti itu, dalam pemilu PPMI yang calonnya tidak kita kenal sebelumnya, kita akan mampu menilai mereka murni karena programnya dan kapasitas yang dikenalkannya. Tak perlulah kita peduli dengan siapa timsesnya, siapa teman-teman dekatnya, bagaimana masa lalunya yang mungkin pernah gak ikut salat ied karena telat bangun, atau di Open House KBRI pernah salah ngambil makanan dikiranya rendang yang sudah basi ternyata lengkuas, atau minta difotoin tapi hasilnya burem.
“Masisir mau Pemilu ya?”
"Iya, udah mulai rame nih setelah sepi gegara ujian."
"Anak Azhar mah suka serius banget ya kalau masanya ujian teh, padahal kita mah yang di Indo biasa aja. Mau UAS juga masih sempet dugem dulu."
"Iya, kita mah bener-bener gak punya waktu buat selain belajar. Ngegosip aja gak sempet. Kita mah dididik untuk bisa serius. Emangnya kamu mau dibercandain terus? Mau diseriusin kan?"
"Ah, kumaha sia weh! BTW, siapa yang nyalon PPMI? Banyak gak?"
"Yang rame sih sejauh ini baru dua nama."
"Aku kenal gak sama mereka?"
"Kayaknya sih kenal. Yang satu pernah ikut Simposium PPI di Madinah bareng kamu"
"Wah, siapa? Balqis?"
"Jeggerr.... bukan. Namanya Ikhwan Hakim. Kenal gak?"
"Oh iya kenal. Kamu nanti pilih dia aja ya, dia lumayan ganteng kok buat jadi Presiden! Ada aura ke-abi-abi-an gitu."
"Ari kamu masih waras?"
"Masih. Aku mah suka gitu da, kalau gak kenal calonnya, ya pilih weh yang paling ganteng. Teorinya, yang ganteng itu punya wibawa, dan wibawa itu penting dalam diplomasi."
"Kalau ganteng tapi serigala?"
"Sunatan dua kali weh yang kaya gitu mah! Eh tapi seserigala-serigalanya Masisir mah masih Azhary meureun ya, haha... "
***
01 Juli 2017.
Untuk versi yang lebih singkat dan serius, silakan baca di Buletin Informatika edisi Juli 2017.
Komentar
Posting Komentar