Jalan kaki bagi orang
kampung seperti kami adalah hal yang lumrah, sejauh apapun itu. Bapak seorang Pembina
Pramuka yang juga pendaki gunung akut tentu saja mengajarkan anak-anaknya untuk biasa berjalan kaki. Sebuah alasan klise lain bagi anak-anaknya
yang ingin dibelikan motor tapi tidak punya cukup modal, sebenarnya. Beberapa fragmen
yang saya dengar dari kisah masa mudanya,
ia hampir setiap minggu mendaki Gunung Burangrang, naik dari Purwakarta lalu turun di
Bandung. Sementara jarak rumah kami ke
kaki gunung saja kisaran 6-7 kilometer. Terus seperti itu,
sampai gunung sudah dianggapnya sebagai kantor mingguan yang harus dikunjungi. Semacam
Pak Atdikbud yang setiap Rabu harus saya kirimi laporan mingguan, atau ia ingin bertemu,
atau apalah.
Sebelum ke Mesir, guru saya pernah bilang bahwa
di Cairo sana harus sering-sering berjalan kaki. Orang Mesir biasa jalan kaki
untuk jarak yang tidak terlalu jauh. Tentu saja, persepsi jauh dan dekat bagi orang
Indonesia dan orang Mesir akan berbeda. Silakan coba tanya arah ke seseorang yang ada
di Jakarta dan di Cairo.
“Lurus ke sana,
lalu belok kanan sedikit!”
Ketika mendengar saran tersebut,
bagaimana cara kita menerjemahkan kata ‘sedikit’? 5 meter? 50 meter? 1
kilometer? Interpretasi sedikit akan sangat bergantung pada level
mana tingkat kemalasan berjalan kita. Kira-kira begitu.
Dalam penelitian menggunakan data
smartphone untuk melacak aktivitas fisik yang dilakukan lebih 700k orang di 111
negara, penduduk China keluar sebagai warga paling aktif berjalan kaki. Begitu kata Kompas. Sedangkan warga paling tidak aktif berjalan adalah Indonesia. Sebuah prestasi baru
yang menunjukkan bahwa orang Indonesia cukup kaya
untuk memiliki kendaraan pribadi sejak pintu rumah sampai tempat manapun.
Universitas Stanford
dalam publikasi risetnya di Journal Nature Juli 2017 menyebutkan warga Indonesia
rata-rata hanya berjalan sebanyak 3.513 langkah, atau sekitar 2,5 kilometer
setiap harinya. Jika diasumsikan,
jarak tersebut adalah jarak Bawabat Satu sampai Pasar Asyir, atau Saqor-KPMJB via
Mutsallas. Lebih buruk lagi, untuk jarak tersebut tidak semua orang mau berjalan
kaki. Dari Gami ke Bawabat yang jaraknya hanya 630 meter saja harus naik utubis.
Sebaliknya, warga China rata-rata
berjalan 6.189 langkah atau sekitar 4,8 kilometer setiap hari,
diikuti penduduk Jepang, Spanyol, dan Inggris. Yang
diteliti dalam penelitian tersebut hanyalah jumlah langkah dan rasio keseimbangan aktivitas,
bukan cepat-lambatnya berjalan. Khawatirnya, dalam hal itu pun kita menempati urutan terakhir juga. Lihat saja Masisir
di waktu pulang Markaz Lughoh,
mereka biasanya berjalan beriringan dengan mahasiswa asing lainnya menuju tempat pemberhentian bis.
Tanpa perlu kenal, tanpa perlu tahu, saya merasa bersemangat ketika melihat orang-orang Turki berjalan begitu cepat. Terlihat punya semangat dan optimisme
yang tinggi sekaligus memperlihatkan karakter mereka yang barangkali gesit dan cekatan. Begitupun dengan orang Afganistan, atau orang-orang India
Saya percaya bahwa berjalan kaki
punya efek lain selain untuk tujuan menyehatkan. Jika ragu, silakan cari saja keyword
seputar itu dalam Google Scholar. Dalam Journal of Experimental Psychology disebutkan bahwa berjalan
kaki bekerja efektif untuk meningkatkan kreativitas. Dilaporkan di The New York
Times, para peneliti dari Stanford menyebutkan bahwa mereka yang berjalan kaki di
udara segar sebelum menyelesaikan tugas rutinnya dinilai 60% mengalami peningkatan kreativitas,
dibanding mereka yang melakukan tugas yang sama tapi hanya berdiam diri di
dalam ruangan.
Saya sempat punya waktu kongkow bersama beberapa teman. Mang Jamil biasa berjalan ke Bawabat dari Tabba yang jaraknya 3,5 kilometer.
Contoh lainnya, setiap kali
Bapak pulang dari gunung, ada kalanya ia bawa Paku Gunung, sejenis tumbuhan Plantae yang tumbuh di pedalaman gunung,
cocok ditumis untuk menu makan malam. Ia juga bawa beberapa jenis bunga yang tidak ada
di kampung, sebagai hadiah mingguan untuk Ibu dan kakak perempuan yang hobi berkebun. Seandainya Bapak tidak berjalan
kaki sesering itu, belum tentu ia akan tahu jenis-jenis bunga baru, rute-rute baru,
bahkan spot-spot tertentu di mana ia bisa menemukan kuntilanak dan sundel bolong menghadangnya.
Ketika ngobrol dengan mantan Presiden
PPMI lalu soal Asrama Indonesia,
saya sempat menggerutu tidak sepakat. Bukan soal harga dan fasilitasnya,
tapi alasan berjalan kakinya.
“Bayangin itu asrama jauh dari jalan,
ke DL juga jauh.Bayangin jalan sejauh itu! Kasian anak baru!”
Omaygat! Alasan ini tidak mau mendukung Masisir untuk bergerak lebih aktif? Masih terpenjara dengan
stigma mayoritas penduduk Indonesia yang menjadi urutan pertama sebagai yang
malas berjalan kaki? Cobalah sesekali main-main ke kampus lain, atau bahasa lainnya studi banding. Ke UI Depok yang halamannya seluas kebun binatang, UPI Bandung yang tanjakannya mengingatkan kita akan perjuangan
Settingan semua kampus besar nampaknya memang begitu, teman-teman. Semua kampus setidaknya punya alasan ilmiah mengapa mahasiswa dan para stafnya harus membudayakan berjalan kaki. Di AUC saja, baik yang di Tahrir ataupun New Cairo, selain area parkir di
halaman paling luar, tidak diperbolehkan ada kendaraan di dalam kampus sekalipun hanya sepeda. Semua
orang harus berjalan kaki dan harus terbiasa dengan budaya itu. So? Masih malas untuk berjalan
kaki?
26 Juli 2017.
Wkwkwkkw, sejak sering ikutan Kupretist saya jadi terbiasa jalan kaki minimal 3 Km, semisal dari Bab Futuh sampai Ibnu Tulun via Suq Silah, atau dari Amr bin Ash ke lokasi Fustat lama dll. Any way, walaupun di Mesir trotoarnya tidak mendukung, tapi banyak jalan bikin sehat, jadi tambah nafsu makan, tidur nerkuwalitas karena capek dan sepwrti yang antum bilang jadi tahu lokasi rahasia. Bahkan kita juga pernah keliling Qarafa dari mulai Maulin sampai Imam Syafii, sesuatu rasanya. Untungnya ga ketemu kuntilanak dam sundel bolong. Mamtap tulisamnya ��
BalasHapus