Suatu hari saya pernah ikut interview untuk masuk Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI) di Bandung. Salah satu pertanyaannya adalah ‘apa
ekspektasi terbesar kamu bergabung himpunan ini?’. Jawaban saya pada waktu itu
adalah untuk mengubah banyak hal dalam diri, minimal dari introvert menjadi ekstrovert.
Sesederhana itu jawaban saya, karena untuk saat itu, itulah masalah terbesar
yang dihadapi setiap hari. Hidup di kota yang lingkungannya punya ribuan
komunitas, tapi saya malah menjadi orang yang terpenjara di balik idealism dan
kriteria-kriteria. Saking sulitnya keluar dari zona nyaman itu, terkadang saya
mencari pembelaan dan alasan-alasan apakah setiap orang untuk tidak disebut asosial
harus menjadi unintrovert dan melakukan banyak adaptasi yang menurut saya rada
sulit dan kagok?
Suatu ketika, saya menemukan sebuah video Kio Stark di TEDx
soal “why we should talk to strangers”. Saya tercerahkan dalam banyak hal,
utamanya soal usaha mengubah diri supaya jadi lebih terbuka dan menerima
hal-hal baru. Seringkali, sejak kita kecil, kita dididik untuk tidak
mengakrabkan diri terlalu dini dengan orang asing yang kita temui. Stigma itu
yang barangkali membuat banyak orang selalu beranggapan buruk terhadap orang asing
yang ada di sekitar kita. Sialnya, stigma itu kita pelihara sampai dewasa,
sampai pada titik di mana kecurigaan dan ketidakpercayaan memiliki batas dan
sekat tersendiri di alam bawah sadar kita.
Maka, ada yang perlu diubah dari cara kita bertinteraksi
dengan sesama, khususnya dengan orang-orang baru yang sama sekali belum kita
kenali sebelumnya. Sedikit demi sedikit saya belajar untuk mengikuti jejaknya
Kio Stark, belajar menyapa orang-orang baru yang duduk bersebelahan di bis, di
metro, di kafe, di taksi, di manapun kita punya momentum untuk menyapa. Awalnya
memang canggung, tapi sejauh ini selalu berjalan baik-baik saja.
Teman saya namanya Cep Badar, pernah duduk di suatu majelis
ilmu lalu membagikan kisahnya kepada saya. Katanya, cobalah untuk tidak
tenggelam di layar hape lalu ngobrollah dengan orang di sekitar. Cep Badar
praktikkan hal itu di bis 80/ dan saling tegur sapa dengan bapak-bapak yang
duduk di sampingnya. Secara otomatis mereka akrab, saling bertanya hal-hal
tertuga, membincang kitab dan ulama Azhar, dan pada akhirnya bapak itu
memberinya sebuah pulpen sebagai kenang-kenangan.
Di salah satu warung kopi di Abbas Akkad, saya celingukan
kehabisan tempat duduk. Seseorang melempar tatap lalu menawarkan kursi kosong
di hadapannya. Kami pun duduk berhadapan dan berkenalan. Pertanyaan pertama
saya waktu itu adalah, “Enta Mashry?” Ia hanya diam tidak paham. Saya tanyakan
itu karena parasnya tidak seperti orang Mesir pada umumnya. Tak lama ia bilang
bahwa ia tidak bisa bahasa Arab dan ia bukan orang Mesir. Ia seorang ateis
Jerman yang tidak betah dengan panasnya Cairo. Tunggu! Siapa sangka saya akan
duduk ngopi dengan seorang ateis, yang selama ini hanya saya tahu keberadaannya
dari internet atau diskusi-diskusi. Ia bertanya soal ayat ‘laki-laki lebih
utama dari perempuan’, soal perdamaian dan orang-orang yang berperang atas nama
agama, dan cerita-cerita singkat soal hidupnya di Cairo. Siapa sangka bahwa
obrolan itu menjadi awal pertemanan kami, sekalipun ia telah kembali ke
negaranya. Meskipun pada kenyataanya obrolan whatsapp kami setelah pertemuan
itu hanya sebatas “how are you?” dan “I’m great”, tapi saya senang pernah
bertemu dan menemukan segelas kopi yang bermakna.
Saya sepakat dengan Kio dan teori ‘talk to stranger’ yang ia
tawarkan, bahwa dengan saling sapa dengan orang yang tidak kita kenali akan membuat
kita lebih terbuka dalam cara berpikir dan memandang sesuatu. Bahkan tak jarang
saya temukan orang-orang yang baru kenal langsung percaya untuk mengungkapkan
sisi pribadinya. Ada sapaan yang dibalas sapaan, ada pengakuan yang dibalas
pengakuan.
Tahun lalu ketika saya menunggu stand Cutterme di Cairo Int’l
Trade Expo, ada seorang kakek-kakek datang ke stand dengan senyum penuh
antusias. “You made it by yourself?” katanya pertama kali. Lalu ia pun bertanya
tentang proses pembuatan, proses menemukan ide, sampai cara memotong. Setelah
semua jawaban diungkapkan, saya giliran bertanya tentang kesibukannya dan
tempat tinggal. Hanya dengan dua pertanyaan itu, ia memberi saya lebih banyak
hal. Ia cerita anaknya yang baru mendapatkan pekerjaan di bank, soal
cucu-cucunya yang berkumpul di rumahnya setiap hari raya, soal masa lalunya
sebagai insinyur, dan berakhir dengan nasehat “lakukan banyak hal selagi muda
dan produktif! Setelah tua dan pensiun seperti saya, tak banyak yang bisa
dilakukan selain menghindari kebosanan dan menunggu kapan mati.”
Seorang tutor kursus bahasa Inggris di pertemuan pertama
bilang, kita harus saling kenal satu sama lain karena setiap dari kita seperti
partikel air, tak ada yang sama satu sama lain. Untuk saling mengenal keunikan
tersebut, kita harus berani bicara. Bicara pada diri sendiri bahwa setiap kita
diciptakan berbeda dan harus harus selalu siap dengan perbedaan itu, dan bicara
pada lingkungan tempat kamu berada dan berkenalan dengan perbedaan yang ada.
Ketika kita hanya diam saja ketika saat itu memungkinkan untuk berbicara dengan
orang baru, kita telah melewatkan sesuatu yang bisa jadi sangat berharga.
Saya tidak punya kelas khusus untuk belajar Bahasa Amiyah,
sementara saya hidup di negara yang dari Presiden sampai rakyatnya berbicara
bahasa Amiyah. Maka untuk menjawab kebutuhan itu harus ada usaha untuk
memenuhinya. Bisa dengan lagu, bisa dengan kawan Mesir di kampus, bisa juga
dengan praktik ‘talk to stranger’. Misalnya dengan supir Uber. Ada banyak
sekali mufrodat yang saya dapatkan dari supir Uber. Dari bahasa Arabnya sabuk
pengaman, handuk mandi, sampai nama makanan tradisional Mesir yang dikonsumsi oleh
perempuan yang baru melahirkan. Beberapa
kali secara sengaja saya bertanya soal hal-hal yang tidak saya tahu,
seperti tradisi pernikahan di Mesir, biaya pernikahan, syabkah (uang
hantaran), poligami, bahkan ada juga supir Uber yang memberi tahu Red Light
District-nya Cairo. Apakah semua wawasan itu direncanakan sebelumnya? Tentu
saja tidak, karena obrolan dengan orang yang baru kita kenal adalah sesuatu
yang spontan dan mengalir begitu saja dengan topik apa saja.
Pada akhirnya, mengakrabkan diri di tempat umum dengan orang
baru adalah suatu pilihan. Tapi pilihan untuk mengakrabkan diri dengan orang
baru, nyatanya cukup menyenangkan. Malahan mengungkapkan persoalan pribadi kepada orang
asing dirasa jauh lebih aman, dibanding curhat ke teman yang diekspektasikan
akan memberi solusi tapi malah nikung. Untuk memulai itu, kita bisa
mengawalinya dengan berbagi senyum dengan orang yang berpapasan, menyapa dan
menanyakan kabar, atau mengomentari sesuatu yang menjadi perhatian kita dan
lawan. Lebih sederhananya, kita perlu
lebih mengakrabkan diri dengan teman-teman kita sendiri. Salah satunya dengan
tidak selalu memainkan hape ketika momen kumpul bareng, makan bareng, atau
diskusi bareng.
Yuk kita kenalan dengan lebih banyak hal baru!
Ramadan, 1438/ 02 Juni 2017
Menjadi pribadi yg ramah dan selalu berfikir positif terhadap apa yg terjadi bisa membuat lingkungan sekitar jg berdampak hal yg sama. Itu memang sangat menyenangkan dan mengesankan.
BalasHapusI like it :))
Menjadi pribadi yg ramah dan selalu berfikir positif terhadap apa yg terjadi bisa membuat lingkungan sekitar jg berdampak hal yg sama. Itu memang sangat menyenangkan dan mengesankan.
BalasHapusI like it :))