Menelusuri Perjalanan Psikologis Seorang "Pria yang Mencuci Piring"

Apa jadinya ketika seorang psikiater, yang notabene tukang ngobatin orang-orang sedih dan kehilangan, malah mengalami kesedihan dan kehilangan? Buku ini menawarkan perspektif menarik tentang proses berduka melalui pengalaman pribadi seorang psikiater, dr. Andreas Kurniawan, Sp.KJ., yang menghadapi kehilangan anaknya. Dengan gaya penulisan yang sederhana dan penuh makna, buku ini mengajak pembaca untuk menyelami dunia psikis seseorang yang berjuang untuk mengatasi kesedihan dan menemukan kembali kekuatan untuk melanjutkan hidup. Buku ini disusun dengan gaya yang mudah dipahami, menggunakan diksi sederhana yang cocok untuk kalangan luas. Meskipun penulis adalah seorang profesional medis yang akrab dengan istilah psikologi dan kedokteran, ia berhasil mengemas konsep-konsep tersebut dalam bahasa yang sangat mudah dipahami, sehingga pembaca dari berbagai latar belakang dapat menikmati dan mengambil manfaat dari pembacaannya. Secara struktur, buku ini terdiri dari 16 judul, yang secara berur...

Ngobrol dengan Orang Asing

Gambar terkait

Suatu hari saya pernah ikut interview untuk masuk Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di Bandung. Salah satu pertanyaannya adalah ‘apa ekspektasi terbesar kamu bergabung himpunan ini?’. Jawaban saya pada waktu itu adalah untuk mengubah banyak hal dalam diri, minimal dari introvert menjadi ekstrovert. Sesederhana itu jawaban saya, karena untuk saat itu, itulah masalah terbesar yang dihadapi setiap hari. Hidup di kota yang lingkungannya punya ribuan komunitas, tapi saya malah menjadi orang yang terpenjara di balik idealism dan kriteria-kriteria. Saking sulitnya keluar dari zona nyaman itu, terkadang saya mencari pembelaan dan alasan-alasan apakah setiap orang untuk tidak disebut asosial harus menjadi unintrovert dan melakukan banyak adaptasi yang menurut saya rada sulit dan kagok?

Suatu ketika, saya menemukan sebuah video Kio Stark di TEDx soal “why we should talk to strangers”. Saya tercerahkan dalam banyak hal, utamanya soal usaha mengubah diri supaya jadi lebih terbuka dan menerima hal-hal baru. Seringkali, sejak kita kecil, kita dididik untuk tidak mengakrabkan diri terlalu dini dengan orang asing yang kita temui. Stigma itu yang barangkali membuat banyak orang selalu beranggapan buruk terhadap orang asing yang ada di sekitar kita. Sialnya, stigma itu kita pelihara sampai dewasa, sampai pada titik di mana kecurigaan dan ketidakpercayaan memiliki batas dan sekat tersendiri di alam bawah sadar kita.

Maka, ada yang perlu diubah dari cara kita bertinteraksi dengan sesama, khususnya dengan orang-orang baru yang sama sekali belum kita kenali sebelumnya. Sedikit demi sedikit saya belajar untuk mengikuti jejaknya Kio Stark, belajar menyapa orang-orang baru yang duduk bersebelahan di bis, di metro, di kafe, di taksi, di manapun kita punya momentum untuk menyapa. Awalnya memang canggung, tapi sejauh ini selalu berjalan baik-baik saja.

Teman saya namanya Cep Badar, pernah duduk di suatu majelis ilmu lalu membagikan kisahnya kepada saya. Katanya, cobalah untuk tidak tenggelam di layar hape lalu ngobrollah dengan orang di sekitar. Cep Badar praktikkan hal itu di bis 80/ dan saling tegur sapa dengan bapak-bapak yang duduk di sampingnya. Secara otomatis mereka akrab, saling bertanya hal-hal tertuga, membincang kitab dan ulama Azhar, dan pada akhirnya bapak itu memberinya sebuah pulpen sebagai kenang-kenangan.

Di salah satu warung kopi di Abbas Akkad, saya celingukan kehabisan tempat duduk. Seseorang melempar tatap lalu menawarkan kursi kosong di hadapannya. Kami pun duduk berhadapan dan berkenalan. Pertanyaan pertama saya waktu itu adalah, “Enta Mashry?” Ia hanya diam tidak paham. Saya tanyakan itu karena parasnya tidak seperti orang Mesir pada umumnya. Tak lama ia bilang bahwa ia tidak bisa bahasa Arab dan ia bukan orang Mesir. Ia seorang ateis Jerman yang tidak betah dengan panasnya Cairo. Tunggu! Siapa sangka saya akan duduk ngopi dengan seorang ateis, yang selama ini hanya saya tahu keberadaannya dari internet atau diskusi-diskusi. Ia bertanya soal ayat ‘laki-laki lebih utama dari perempuan’, soal perdamaian dan orang-orang yang berperang atas nama agama, dan cerita-cerita singkat soal hidupnya di Cairo. Siapa sangka bahwa obrolan itu menjadi awal pertemanan kami, sekalipun ia telah kembali ke negaranya. Meskipun pada kenyataanya obrolan whatsapp kami setelah pertemuan itu hanya sebatas “how are you?” dan “I’m great”, tapi saya senang pernah bertemu dan menemukan segelas kopi yang bermakna.

Saya sepakat dengan Kio dan teori ‘talk to stranger’ yang ia tawarkan, bahwa dengan saling sapa dengan orang yang tidak kita kenali akan membuat kita lebih terbuka dalam cara berpikir dan memandang sesuatu. Bahkan tak jarang saya temukan orang-orang yang baru kenal langsung percaya untuk mengungkapkan sisi pribadinya. Ada sapaan yang dibalas sapaan, ada pengakuan yang dibalas pengakuan.  

Tahun lalu ketika saya menunggu stand Cutterme di Cairo Int’l Trade Expo, ada seorang kakek-kakek datang ke stand dengan senyum penuh antusias. “You made it by yourself?” katanya pertama kali. Lalu ia pun bertanya tentang proses pembuatan, proses menemukan ide, sampai cara memotong. Setelah semua jawaban diungkapkan, saya giliran bertanya tentang kesibukannya dan tempat tinggal. Hanya dengan dua pertanyaan itu, ia memberi saya lebih banyak hal. Ia cerita anaknya yang baru mendapatkan pekerjaan di bank, soal cucu-cucunya yang berkumpul di rumahnya setiap hari raya, soal masa lalunya sebagai insinyur, dan berakhir dengan nasehat “lakukan banyak hal selagi muda dan produktif! Setelah tua dan pensiun seperti saya, tak banyak yang bisa dilakukan selain menghindari kebosanan dan menunggu kapan mati.”

Seorang tutor kursus bahasa Inggris di pertemuan pertama bilang, kita harus saling kenal satu sama lain karena setiap dari kita seperti partikel air, tak ada yang sama satu sama lain. Untuk saling mengenal keunikan tersebut, kita harus berani bicara. Bicara pada diri sendiri bahwa setiap kita diciptakan berbeda dan harus harus selalu siap dengan perbedaan itu, dan bicara pada lingkungan tempat kamu berada dan berkenalan dengan perbedaan yang ada. Ketika kita hanya diam saja ketika saat itu memungkinkan untuk berbicara dengan orang baru, kita telah melewatkan sesuatu yang bisa jadi sangat berharga.

Saya tidak punya kelas khusus untuk belajar Bahasa Amiyah, sementara saya hidup di negara yang dari Presiden sampai rakyatnya berbicara bahasa Amiyah. Maka untuk menjawab kebutuhan itu harus ada usaha untuk memenuhinya. Bisa dengan lagu, bisa dengan kawan Mesir di kampus, bisa juga dengan praktik ‘talk to stranger’. Misalnya dengan supir Uber. Ada banyak sekali mufrodat yang saya dapatkan dari supir Uber. Dari bahasa Arabnya sabuk pengaman, handuk mandi, sampai nama makanan tradisional Mesir yang dikonsumsi oleh perempuan yang baru melahirkan. Beberapa  kali secara sengaja saya bertanya soal hal-hal yang tidak saya tahu, seperti tradisi pernikahan di Mesir, biaya pernikahan, syabkah (uang hantaran), poligami, bahkan ada juga supir Uber yang memberi tahu Red Light District-nya Cairo. Apakah semua wawasan itu direncanakan sebelumnya? Tentu saja tidak, karena obrolan dengan orang yang baru kita kenal adalah sesuatu yang spontan dan mengalir begitu saja dengan topik apa saja.

Pada akhirnya, mengakrabkan diri di tempat umum dengan orang baru adalah suatu pilihan. Tapi pilihan untuk mengakrabkan diri dengan orang baru, nyatanya cukup menyenangkan. Malahan  mengungkapkan persoalan pribadi kepada orang asing dirasa jauh lebih aman, dibanding curhat ke teman yang diekspektasikan akan memberi solusi tapi malah nikung. Untuk memulai itu, kita bisa mengawalinya dengan berbagi senyum dengan orang yang berpapasan, menyapa dan menanyakan kabar, atau mengomentari sesuatu yang menjadi perhatian kita dan lawan.  Lebih sederhananya, kita perlu lebih mengakrabkan diri dengan teman-teman kita sendiri. Salah satunya dengan tidak selalu memainkan hape ketika momen kumpul bareng, makan bareng, atau diskusi bareng.
Yuk kita kenalan dengan lebih banyak hal baru!

Ramadan, 1438/ 02 Juni 2017


Komentar

  1. Menjadi pribadi yg ramah dan selalu berfikir positif terhadap apa yg terjadi bisa membuat lingkungan sekitar jg berdampak hal yg sama. Itu memang sangat menyenangkan dan mengesankan.

    I like it :))

    BalasHapus
  2. Menjadi pribadi yg ramah dan selalu berfikir positif terhadap apa yg terjadi bisa membuat lingkungan sekitar jg berdampak hal yg sama. Itu memang sangat menyenangkan dan mengesankan.

    I like it :))

    BalasHapus

Posting Komentar